
Malam Minggu, kadang ditunggu-tunggu oleh sebagian orang. Untuk mengisinya, kita tidak melulu jalan-jalan, melihat tontonan, atau memadu kasih dengan pujaan hati. Malam akhir pekan itu berhak pula diwarnai oleh kegembiraan yang mendalam, bersama banyak orang.
Peristiwa bahagia nan semarak tercermin pada kegiatan warga Dusun Kwaren, Ngawen, Klaten, Sabtu (02/09/2023) kemarin. Gelaran Malam Kebudayaan ini menangkap lanskap kemajemukan antarwarga Kwaren. Sebuah acara puncak dari rangkaian peringatan HUT Ke-78 RI dan Saparan—istilah untuk memeriahkan hajat di bulan Safar.
Malam itu, alunan alat musik saling berdentang. Dentuman bas, dayu melodi, dan lengking vokalis mengundang warga untuk segera hadir. Seperti mengumumkan ada hajatan yang tak boleh dilewatkan—dalam diam, sunyi senyap. Karpet-karpet sudah tergelar rapi, pertanda siap menjadi alas sila para penonton.
Baik tua maupun muda tumpah ruah berkumpul di pekarangan rumah seorang warga. Mereka bergegas, berduyun-duyun memenuhi tempat acara. Lalu secara khidmat menghayati sesi demi sesi Malam Kebudayaan ini terlaksana.
Seni Jantur atau janturan menjadi suguhan utama acara ini. Sepintas, janturan memang bagian dari seni wayang. Namun, ruang ceritanya lebih beragam dan tidak mengandalka acuan pada kisah-kisah kuno seperti kisah wayang umumnya; Mahabarata atau Ramayana.
Uniknya, janturan yang dibawakan grup ini memadukan musik tradisional dengan kontemporer. Saron, kendang, bonang, kenong, suling, dan beduk berdampingan merdu bersama nyaring melodi gitar dan debam bas. Orkestrasi dari jenis keduanya memunculkan warna musik baru dalam lingkup kesenian masyarakat.
Mula-mula acara dipandu dua orang pewara yang lumayan atraktif. Mereka ramah menyambut hangat sapa seluruh penonton, sekaligus melontarkan lelucon-lelucon. Mata acara digamblangkan secara ringkas dan padat.
Baca juga: Reformulasi Pemikiran Islam
Diawali Budi Santoso, sekretaris Desa Kwaren, yang memberi sepatah sambutan. “Saya bangga dan berterima kasih pada pemuda-pemudi Dukuh Kwaren atas ide kreatif dan inovatif lewat perayaan kegiatan ini. Bekal ini perlu terus dikembangkan dan diwariskan ke generasi berikutnya agar Desa Kwaren dicontoh oleh desa-desa lainnya di Klaten,” sambutnya.
Sebelum beringsut pada acara inti, dua penari membuka Malam Kebudayaan menjadi tambah meriah. Anggi dan Afrida, namanya, bergajak penuh hayat meliuk-liukkan tubuh sesuai irama. Mereka cukup luwes dan lincah dalam mengentakan kaki dan menyabet sinjang yang diikat di pinggangnya.
Pentas janturan dimulai ketika pengiring mulai menempati area depan panggung. Sebagai pengiring, Gardian, Adi, Bege, Ari, Sofia, Rio, dan Daniel mesti rela memeras kreativitasnya. Musababnya, mereka bakal memikul kunci penting apakah janturan memikat perhatian masyarakat Kwaren atau tidak.
Mbah Bimo, selaku dalang, mewanti-wanti agar warga menikmati pentas secara santai. Perlahan dengan nada serius, ia membocorkan alur cerita yang hendak dibawakannya. Persoalan pelik soal lingkungan ia tekankan demi memahamkan generasi-generasi milenial.
Di awal, beberapa tembang Jawa dilantunkan. Lengking suara Sofia, sang sinden, menggenapi silir angin yang berembus malam itu. Cengkok khasnya seakan menyihir penonton untuk lebih sregep menonton.
Seni dan Siratan Pesan
Tokoh utama lakon janturan bernama Entit. Cerita ini mengisahkan ekosistem air di suatu dukuh yang semakin langka. Entit hadir pada sebuah adegan menjadi orang yang sengsara.
Ia bahkan tak tahu malu meminta sesepuh dukuh itu untuk menjadikannya anak angkat. Istri sesepuh, Nyai, menerimanya sebagai anak angkat setelah sekian perdebatan dengan anak-anak kandungnya. Entit pun akhirnya resmi menjadi anak angkat. Sesepuh dukuh bersikap sangat nurut pada orang tua angkatnya, terutama Nyainya.
Suatu hari, Entit disuruh Nyai untuk menanam beberapa pohon. Usaha ini dituju agar pasokan air di dukuh tidak lagi darurat. Dengan menanam pohon, orang-orang berharap dukuh akan kembali asri dengan sumber-sumber air yang jernih dan terjaga.
Krisis air benar-benar membuat risau bahkan sampai mencekik para petani. Seakan partikel-partikel air tak lagi merestui runduk-runduk padi. Dari hari ke hari, mereka telah mengerahkan tenaga. Tetapi tak satu pun tanamannya tumbuh. Mata air surut digenapi, sungai-sungai pun menyusut.
Singkat cerita, dukuh itu pun kembali makmur sentosa. Air menghambur di mana-mana. Sawah dan ladang kembali terhidupi, tak lagi kering kerontang. Rerimbun pepohonan kembali meneduhkan dukuh mereka dengan asri. Orang-orang menyambutnya dengan gegap gempita, sorak-sorai di mana-mana.
Dukuh mereka pelan-pelan semakin maju. Stereotip orang-orang kota (urban) terhadap mereka sebagai warga desa (rural) perlahan berubah. Kehidupan desa awalnya dituduh tertinggal dan jauh dari akses kemajuan. Sementara di kota, segalanya ada dan akses untuk mendapatkannya begitu mudah.
Sampai suatu hari, seorang warga kota datang ke dukuh tempat Entit tinggal. Perpindahan satu warga kota ke dukuh ini bukan tanpa sebab. Kondisi kota yang semakin buruk jadi alasan utama. Warga kota itu ingin kotanya bisa seasri dan sesesubur dukuh yang Entit huni. Ia pun bertanya, “siapakah yang telah mengubah dukuh ini menjadi sedemikian indahnya?”
Maka dari beberapa informasi yang didapat, orang kota itu datang ke rumah ibu dan bapak angkat Entit. Karena memang berkat Nyailah dukuh ini berubah sedemikian rupa. Akhirnya, orang kota tersebut ingin memboyong Nyai ke kota yang sudah silang sengkarut agar mengubah kondisinya seperti dukuh ini.
Bapak dan saudara-saudara angkat Entit tak mengizinkan bila Nyai mereka dibawa orang kota, cabut dari dukuhnya. Orang kota bahkan telah menyiapkan sebongkah emas untuk membeli Nyai, tetapi Entit beserta keluarga bersikeras menolak tawaran itu.
Dan, terjadilah perebutan antara warga dukuh dan kota. Warga dukuh berperang untuk mempertahankan harga diri, terutama keluarga Entit. Sementara orang kota ngotot dengan tujuan awal ingin mendapat ide-ide dari Nyai. Cerita pun tamat dengan perkelahian demi junjungan martabat dan ego sepihak—lengkap dengan iringan musik tegang nan berdepak membuncahkan suasana.
Etos Menjaga
Relasi manusia dengan alam, sudah lama ada dalam kaidah-kaidah sejak lama. Keduanya sama-sama mutualisme (saling menguntungkan). Namun, terkadang manusia tergoda nafsu kemaruk dan mengingkari janjinya sebagai penyeimbang ekosistem alam. Segenap tingkah polah malah berujung merugikan, bahkan mengancam alam.
Hubungan kisah antara manusia dan alam (khususnya air) ini bisa kita lihat lewat film pendek berjudul Mistis Telaga Buret: Undang-Undang tak Tertulis garapan Watchdoc Image. Telaga Buret, menurut penuturan Karsi Nerro Sutarmin, pegiat TB, bisa mengairi area sawah empat desa dengan tiga kali panen dalam setahun. Empat tersebut yaitu Ngentrong, Sawo, Gendangan, dan Gamping.
Baca juga: Islam dan Kebudayaan di Banten
Kisah Entit dalam janturan cukup representatif untuk memahami kondisi mutakhir di Indonesia. Banyak masyarakat belum sadar akan konservasi lingkungan. Padahal lingkungan inilah yang setiap hari ditempati, memberi rasa aman, bahkan tak henti meneteskan manfaat kepada manusia.
Dari sana, kita bisa membawa ibrah bahwa rekapan persoalan-persoalan sosial dan ekologis butuh solusi yang tidak instan. Perlu ada pikiran, tenaga, bahkan pengorbanan jiwa demi menuntaskannya. Bahwa di kisah Entit di dusun yang kecil di daerah terpencil pun, bila secara komunal dan bergotong royong mengerjakannya, niscaya jalan keluar serta-merta menghampirinya.
Sampai detik ini, seni pertunjukkan layaknya janturan masih menjadi ruang apresiatif yang pantas dan memberi pesan sosial bagi khalayak. Bukankah yang diharapkan—selain imajinasi yang meletik di luar persoalan estetik—adalah siratan “pesan” yang terkandung di dalamnya.
 
		





