
Agama dan politik adalah dua elemen yang saling terkait dalam kehidupan masyarakat. Identitas agama dan politik begitu kuat pengaruhnya terhadap konstruksi berpikir kita, bertindak, maupun dalam wilayah berinteraksi satu dengan yang lain. Agama telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia sejak agama samawi diturunkan.
Agama memberikan panduan etika dan moral, aturan hidup, dan pemahaman tentang tujuan hidup. Agama juga telah menjadi sumber inspirasi dan dukungan spiritual bagi individu. Termasuk, agama pun juga dapat digunakan dalam wilayah politik, kepentingan politik atau hanya sebatas mempengaruhi kehidupan politik suatu negara. Itu semua yang kira-kira kemudian melahirkan istilah politik identitas.
Politik identitas sendiri ialah hal-hal berkaitan dengan pengorganisasian, mobilitas kelompok etnis, agama, atau budaya dalam politik. Politik identitas mengacu pada sebuah ciri atau identitas sebuah kelompok tertentu, seperti misalnya ras, agama, etnisitas, gender, atau orientasi seksual, yang kemudian menjadi dasar landasan peradaban pembentukan persepsi politik mereka.
Baca juga: Hukum dan Rasionalitas
Bahkan, politik identitas sering kali digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu, bersamaan dengan kepentingan bersama dalam upayanya memperjuangkan hak dan kebijakan yang dampaknya dapat mempengaruhi eksistensi kelompok mereka.
Itu artinya, bahwa hubungan antara agama dan politik identitas menandakan tidak selalu positif. Buruknya, kadang-kadang justru agama malah digunakan sebagai alat untuk memperkuat politik identitasnya,–yang kemudian melahirkan berbagai konflik dan ketegangan sosial.
Seperti misalnya, ketika ada satu kelompok agama tertentu yang menggunakan dasar kehidupannya dalam wilayah keyakinan dan nilai-nilai mutlak untuk membenarkan tindakannya secara ekstrem atau bernilai intoleransi terhadap kelompok-kelompok lain. Hal ini, tentu dapat menimbulkan ketegangan, gesekan, yang berakibat pada ketidakstabilan, kedamaian dalam suasana heterogenitas negara.
Kehadiran Negara
Tetapi perlu telaah secara mendalam, bahwa kita tidak dapat mengabaikan hak individu dalam memilih keyakinan agama (mereka), termasuk berpartisipasi dalam politik identitas. Sebab, kebebasan beragama adalah sebuah hak asasi manusia yang telah diakui secara ketatanegaraan dan dunia internasional. Itu sebabnya, setiap individu memiliki hak untuk mengidentifikasi diri dengan kelompok agama tertentu dalam politik identitas kelompoknya.
Contoh kongkritnya, misalnya, dalam suasana Pilpres, agama selalu difungsikan sebagai identitas-identitas dalam kelompok mereka. Belum lagi, dalam wilayah terkecil dalam agama, seperti organisasi-organisasi agama juga begitu kentara lekat dengan kelompok-kelompok mereka.
Oleh sebab itu, penting kiranya dalam rangka tercapainya keseimbangan yang tepat antara agama dan politik identitas, maka negara harus memiliki jembatan strategis agar wajah identitas kelompok, politik, atau agama itu tidak melahirkan gesekan, bahkan perpecahan.
Faktanya dalam banyak negara, agama dan politik identitas telah menjadi isu yang begitu sensitif dan sering menjadi sumber berbagai konflik. Namun, manakala agama dan politik identitas digunakan secara positif, keduanya dapat menjadi elemen penting dalam penguatan kerukunan sosial, harmoni keberagaman, bahkan dalam wilayah kemajuan masyarakat kita. Sebab, bagaimana pun agama dapat memberikan dukungan dengan nuansa moral etis yang diperlukan untuk mendorong partisipasi politik yang positif.
Sementara politik identitas, dapat menjadi sebuah alat strategis untuk memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas yang terpinggirkan. Sisi ini yang perlu kita tabayyunkan serta jernihkan. Itu sebabnya, dalam rangka upaya itu, perlu kiranya memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan toleransi terjaga dengan baik dalam praktik agama termasuk politik identitas kita kini.
Maka, sikap menghargai dan menerima keberagaman agama dan identitas politik, serta aktivitas promosi dalam berbagai dialog baik dan pemahaman yang saling menghormati menjadi tanggung jawab bersama dalam sebuah negara dan harus menjadi sebuah keharusan.
Politik Nabi Muhammad
Dari analisis uraian di atas, saya akan berikan sikap Kanjeng Nabi Muhammad SAW., sebagai manusia suri tauladan kita bersama terhadap persoalan ini. Nabi Muhammad SAW telah memainkan peran yang begitu penting dalam khasanah sejarah Islam, termasuk juga dalam dunia politik. Kita sama-sama tahu, bahwa beliau tidak hanya menjadi pemimpin agama, tetapi juga menjadi pemimpin negara nan bijaksana. Bagaimana Nabi Muhammad menyikapi dan memberikan teladan dalambernegara?
Baca juga: Relasi Islam di Panggung Sejarah
Seperti ulasan di atas, bahwa politik identitas secara sederhana dimaknai sebagai sikap yang dapat digunakan untuk memperkuat kesamaan, mempertahankan hak-hak individu atau kelompok tertentu.Nabi Muhammad SAW., sebagai pewaris risalah dan wahyu dalam kitab Al-Quran, mengajarkan umat Islam untuk tidak terjebak dalam politik praktis.
Bagaimana, ketika beliau misalnya menekankan pentingnya persaudaraan dan persatuan di antara umat Muslim. Dalam pidato terkenalnya di bukit Arafah, Nabi Muhammad menyatakan dengan tegas, bahwa tidak ada perbedaan yang mendasar antara bangsa Arab dan non-Arab, hitam dan putih, atau orang kaya dan orang miskin. Kita semua adalah hamba Allah yang setara di hadapan-Nya.
Bahwa politik identitas tidak boleh digunakan sebagai alat untuk membagi, memecah, bahkan sampai memperlemah kesatuan masyarakat. Tetapi justru politik identitas harus difungsikan sebagai wasilah dalam upaya memperkuat kebersamaan, merawat hak-hak individu dan hal positif lainnya.
Nabi Muhammad juga memberikan contoh nyata dalam menyikapi politik identitas. Beliau menerima konversi banyak orang yang tidak memiliki latar belakang Arab, seperti Salman al-Farisi, Bilal bin Rabah, dan Suhaib ibn Sinan. Beliau memperlakukan mereka dengan hormat, serta memberikan hak-hak yang sama kepada mereka.
Dalam sebuah catatan hadis, menurut hemat saya, Nabi Muhammad juga mengingatkan umat Muslim bahwa Allah hanya melihat kebaikan hati dan tidak membedakan berdasarkan ras atau status sosial. Artinya, bahwa Nabi Muhammad SAW., begitu menentang praktik negatif diskriminasi atau penindasan.
Dalam Perjanjian Madinah juga, misalnya, beliau membangun kerjasama dalam upaya perdamaian antara suku-suku yang berbeda itu di Madinah. Beliau ingin memastikan bahwa semua warga kota, terlepas dari latar belakang mereka, memiliki hak yang sama dan dilindungi oleh hukum. Atau dengan kata lain, mungkin beliau ingin mengindahkan sikap inklusif dan eksklusif dari fakta kehidupan bersama dalam heterogentias waktu itu.
Dari contoh-contoh di atas, kita bisa melihat dengan jelas, bahwa Nabi Muhammad SAW., begitu mendorong persatuan, kesetaraan, serta keadilan dalam kehidupan politik (negara). Beliau menunjukkan bahwa politik identitas tidak boleh digunakan sebagai alat untuk membagi, memecah, bahkan sampai memperlemah kesatuan masyarakat. Tetapi justru politik identitas harus difungsikan sebagai wasilah dalam upaya memperkuat kebersamaan, merawat hak-hak individu dan hal positif lainnya.
Sebagai pungkasan, bahwa kita semua adalah umat manusia, baik dalam wilayah warga negara maupun wilayah warga dunia. Maka teladan prinsip-prinsip Nabi Muhammad SAW. dapat menyikapi politik identitas untuk harus tetap dan terus diwarisi oleh kita semua.
Apalagi dalam dunia yang serba kompleks ini, lengkap dengan politik identitasnya yang acapkali melahirkan berbagai ketegangan dan konflik seperti di atas tadi, solusi kongkritnya ialah dengan memiliki kesadaran untuk mengadopsi pendekatan yang sudah diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sehingga keadilan serta harmonisitas dalam keberagaman dapat kita ciptakan dengan baik dan bijaksana. Sebab, tanggung jawab kita ialah untuk memahami perbedaan identitas guna pembangunan peradaban dunia yang baik untuk generasi mendatang. Semoga!