
Sejak pewacanaannya, moderasi beragama mengalami perkembangan yang cukup masif di Indonesia. Moderasi selalu disuarakan dalam berbagai panggung pemerintah, forum kampus, sekolah, pesantren, bahkan menjangkau bilik-bilik masyarakat akar rumput.
Bukan tanpa alasan, suara-suara moderasi yang terus terbentang merupakan respon traumatik atas paham-paham radikal dan peristiwa tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Moderasi digaungkan sebagai jurus perlawanan atas ekstremisme yang menjadi momok bagi keutuhan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Urgensi pemahaman moderasi beragama diupayakan secara merata dan meluas ke tengah-tengah masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, kampanye moderasi dilakukan dalam berbagai media baik cetak maupun daring.
Dalam konteks media online, kampanye moderasi mengalami perkembangan yang intens dalam berbagai platform media sosial, seperti Instagram, Facebook, dan Twitter. Tingkat intensitas kampanye moderasi beragama tentu akseleratif, sejalan dengan gelombang informasi media sosial yang cepat menyebar.
Jika dilihat dari fungsi awalnya, media sosial identik dengan sebuah aplikasi yang dimanfaatkan untuk memfasilitasi aktivitas-aktivitas komunikasi secara umum (tidak berkenaan dengan hal keagamaan).
Seiring perkembangan media sosial, tak sedikit media sosial tersebut digunakan untuk menyampaikan konten-konten agama yang dikemas dalam beragam unggahan, baik berupa audio-visual, gambar beserta keterangannya, meme, dan lain sebagainya. Fenomena ini kemudian oleh Martin Slama disebut sebagai social media and islamic practice, atau menurut bahasa Goran Larsson sebagai muslims and the new media (2011).
Media sosial dan Konten Keagamaan
Media sosial—yang kadang disebut media baru—merupakan sebuah keniscayaan teknologis yang perlu diapresiasi dan disadari. Fenomena pergerakan konten keagamaan ke dalam media sosial adalah bentuk dialektika umat beragama atas kehidupan sosial yang sedang berkembang. Menurut David Morgan dalam buku Key Words in Religion, Media and culture (2008), integrasi agama dan media sosial mengandaikan penyebaran pesan keagamaan yang dapat mempengaruhi spiritualistik para audien.
Tidak berhenti di situ, signifikansi media sosial dan agama dapat mengonstruksi ideologi dan gagasan keagamaan. Sejalan dengan hal ini, Martin Slama menandaskan dalam Social Media and Islamic Practice: Indonesian ways of being digitally pious (2018), media sosial memberi peluang lebar bagi umat Islam untuk menampilkan—baik secara visual maupun tekstual—bentuk-bentuk praktik atau ritual agama yang dapat menjangkau khalayak.
Baca juga: Puisi untuk Nabi Muhammad
Media dan agama secara integral mengartikulasikan evolusi praktik dan pemahaman keagaman secara daring. Artinya, agama dan media tidak hanya mengacu pada konten agama semata. Akan tetapi, hal ini mencandrakan bagaimana media sosial mempengaruhi dan dipengaruhi realitas praktik keagamaan. Sebagai suatu konsep, hal tersebut memungkinkan umat beragama untuk menggambarkan kondisi keagamaan saat ini melalui platform digital.
Berkaitan dengan hal tersebut, wacana moderasi beragama mengambil peran di dalam media sosial. Pesatnya sebaran moderasi beragama di ruang maya dapat dieksplorasi melalui penelusuran tagar #moderasi, #wasathiyah, dan #moderasiberagama.
Beberapa tagar tersebut setidaknya jadi penanda mengenai postingan-postingan yang berhubungan dengan topik moderasi beragama. Selain, penanda tersebut menyuguhkan aneka deskripsi-narasi perihal moderasi beragama, entah dengan intonasi positif maupun negatif.
Ragam Interpretasi
Sebagaimana disinggung di atas, moderasi merupakan wacana tandingan atas radikalisme agama. Moderasi, yang secara harfiah dimaknai sebagai keseimbangan, pertengahan dan adil mengandaikan sikap ideal yang harus diimplementasikan umat beragama di Indonesia. Keseimbangan ini menanggulangi sikap berlebihan (ektrem) dalam beragama.
Posisi tengah (the middle path) moderasi menganggap stabilitas dari dua kutub di sekitarnya yang biasa disebut ifrath dan tafrith.
Wacana moderasi sebagai hajat keharmonisan negara-bangsa kencang dinarasikan dalam unggahan-unggahan media sosial disertai penggunaan tagar yang berjumlah ribuan. Tidak sedikit akun media sosial berada pada posisi sejalur dalam pewacanaan moderasi beragama sebagai fitrah kehidupan yang harus dipegang, lebih-lebih dalam kehidupan masyarakat yang majemuk, plural.
Akun Facebook @ImamNakha’i misalnya, pada unggahannya (09/11/22) memberi deskripsi tentang moderasi bergama sambil mengutip dalil Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 143; “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Baginya, ayat ini serta merta gamblang menjelaskan bahwa bersikap adil dan moderat merupakan kehendak Allah yang harus dilaksanakan. Hal ini jelas disebutkan dengan istilah ummatan wasathan yang mengartikulasikan umat bergama harus di-moderasi (bukan agamanya), sebab manusia memiliki potensi pada sikap yang selalu berlebihan alias tamak.
Baca juga: Ziarah dalam Perspektif Sosial
Senada dengan postingan tersebut, akun Instagram @lensamu (13/02/20) memberi keterangan pada kontennya bahwa wasathiyah merupa sikap dasar keagamaan yang memliki pijakan kuat pada Al-Baqarah ayat 143. Sikap moderat adalah cerminan dari umat terbaik (khairu ummah) sebagaimana direpresentasikan Nabi Muhammad SAW. Nabi mendakwahkan kepada umatnya agar bersikap adil, bijak, dan seimbang serta menghidari sikap ghuluw (ekstremitas). Dengan begitu, kehidupan masyarakat mencapai kohesi sosial yang harmonis.
Wacana moderasi beragama ini patut untuk diterima dan disyiarkan secara luas kepada semua kalangan, khususnya kalangan muda terpelajar. Ini persis digaungkan akun @muslimah_kalteng (06/03/21), dalam postingan visualnya yang menampilkan sekelompok pelajar, ia memberi aksentuasi bahwa moderasi mesti kian kencang didaras di madrasah-madrasah.
Bukan tanpa sebab, anak muda yang digambarkan oleh para pelajar memegang estafet generasi penerus bangsa. Atas dasar ini, moderasi beragama harus digalakkan dalam dunia pendidikan agar para generasi bangsa tidak terkontaminasi dengan paham-paham garis keras.
Namun demikian, secara faktual narasi moderasi beragama di media sosial tidak hanya beresonansi positif. Beberapa akun media sosial melontarkan interpretasi yang beda dalam memahami moderasi. Ini menjadi konsekuensi logis mengingat karakter media sosial yang sangat bebas terbuka bagi penggunanya. Dari sini, wacana moderasi beragama mengalami kontestasi.
Berbeda dengan beberapa akun di atas dalam memahami moderasi beragama, akun Instagram @mustanir.info (01/09/23) lantang memberi tajuk postingannya dengan “Moderasi Agama: Proyek Global Menyerang Islam.”
Melalui caption yang cukup panjang, ia menjabarkan moderasi beragama yang dicanangkan di Indonesia punya maksud dan tujuan politis. Baginya, moderasi merupakan paham yang diadopsi dari Barat dan sesuai selera Barat. Oleh sebab itu, sebenarnya moderasi beragama dilesatkan untuk mendegradasi ajaran Islam.
Suara yang sama didengungkan oleh akun @muslimahjakartaofficial (19/11/22), secara keras menolak moderasi beragama dan menganggapnya sebagai wacana yang nyeleneh bahkan berbahaya. Menurutnya, moderasi beragama mencoba memecah umat Islam dan parahnya lagi sikap tengah mencerminkan aktualisasi ajaran Islam yang tidak total.
Narasi tersebut disetujui oleh unggahan @matasyifa.id (24/06/23) yang dibungkus dengan video pendek, bahwa moderasi mereduksi standar ajaran Islam yang benar. Umat Islam mengalami krisis identitas akibat pengambilan sikap tengah, mengambil sebagian ajaran Islam dan meninggalkan sebagian lain.
Tiga postingan terakhir tentang moderasi di media sosial secara argumentatif tidak mendasarkan pada dalil ayat wasathiyah yang valid lagi memadai. Hal ini berakibat pada kurangnya pijakan teologis sampai salah kaprah dalam memaknai moderasi.
Moderasi memiliki tujuan pada kebijaksanaan dalam beragama dengan tidak ifrath atau tafrith. Puncaknya moderasi membentuk keseimbangan diri umat beragama, di mana keseimbangan tersebut mencerminkan suatu perspektif stabil dan kokoh atas beragam aspek kehidupan, meliputi keyakinan, sosial-kemanusiaan, dan kesetaraan.