
Indonesia dengan keanekaragaman suku, agama, dan adat istiadatnya memiliki makna kedalamanan budaya yang tak ternilai harganya. Setiap daerah memiliki kisah unik dan makna yang tersembunyi dalam sejumlah tradisi dan budayanya.
Salah satu bentuk warisan budaya unik di Indonesia adalah ritus Petirtaan Dewi Sri. Pertirtaan tersebut terletak di Desa Simbatan, Magetan, Jawa Timur. Situs Petirtaan adalah sumber air yang disucikan dan dianggap keramat, yang digunakan dalam ritual keagamaan umat Hindu.
Secara historis, masyarakat setempat mempercayai petirtaan Dewi Sri merupakan warisan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno. Sebuah bangunan petirtaan yang sekarang bagian atas strukturnya terkubur di bawah permukaan tanah yang di dalamnya menyimpan kisah menarik. Narasi dari ritus inilah yang menarik untuk dibahas lebih lanjut sebagai khasanah warisan di masa lalu.
Petirtaan secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta yaitu tirtha yang berarti sebuah pemandian suci, air suci, sungai, tempat suci, tempat penziarahan, dengan imbuhan konfiks pa – an. Sedangkan nama Dewi Sri, juga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti kemakmuran, kekayaan, kesehatan, kecantikan, dan keberuntungan.
Melansir publikasi dari laman kemendikbud, pihak Kolonial Belanda memuat laporan yang terangkum dalam ROC (Rapporten van den Oudheidkundige Commissie) pada tahun 1913, situs ini disebut dengan nama Sendang Beji. Sedangkan mengacu tinjauan arkeologis, tampak bahwa beberapa komponen petirtaan ini memiliki persamaan dengan tinggalan arkeologi di Petirtaan Belahan dan Jolotundo.
Baca juga: Mithet: Teknik Unik Gamelan Jawa
Petirtaan-petirtaan ini kemungkinan besar memiliki keterkaitan dan dibangun dalam satu masa yaitu pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh – Airlangga pada masa abad X – XI Masehi. Masyarakat Simbatan sangat menjaga kelestarian situs ini. Hal itu terlihat dari konsistensi masyarakat setempat menggelar secara rutin tiap tahunnya ritus tersebut. Gelaran kebudayaan ini tercatat mulai dilakukan secara kolektif sejak tahun 1983, sebelumnya hanya dilakukan sederhana.
Festival Dewi Sri
Sejak tahun tersebut, tiap hari Jumat pada pertama bulan Suro, secara kolosal kebudayaan ini dibingkai menjadi serangkaian festival budaya yang terdiri dari tradisi upacara adat bersih desa dan festival Dewi Sri.
Pagelaran Petirtaan ini terbagi menjadi beberapa tahapan, di antaranya bersih lingkungan Desa Simbatan, upacara sesaji bersih desa, slametan dan dipungkasi dengan pertunjukkan Tayub.
Tahapan pagelaran yang menarik perhatian di tradisi ini terletak pada di tahapan slametan. Di mana tahap ini dilakukannya pengurasan air secara berkala di situs Petirtaan Dewi Sri. Saat dilakukannya pengurasan, akan terlihat keindahan arsitektur kuno dan artefak berharga yang tersembunyi di bawah permukaan air.
Saat musim hujan tiba, Petirtaan ini berubah menjadi kolam alami yang mempesona. Namun, ketika musim kemarau tiba, seluruh struktur lapisan Petirtaan akan terlihat dengan jelas, menunjukkan keberadaan arca Dewi Sri dan bangunan-bangunan kuno yang terendam air. Dengan demikian, fenomena ini menunjukkan perpaduan unik antara aspek arkeologis dan kepercayaan masyarakat terhadap Dewi Sri sebagai Dewi kesuburan.
Masyarakat mempercayai bahwa Dewi Sri adalah dewi kesuburan dan kemakmuran yang memberikan berkat kepada mereka. Oleh karena itu upacara ini dilakukan sebagai wujud bakti rasa terima kasih kepada Dewi Sri.
Upacara Bersih Desa
Masyarakat Desa Simbatan secara turun menurun sudah melaksanakan tradisi upacara bersih desa sebagai bentuk penghormatan kepada Dewi Sri. Ritual ini bertujuan untuk memohon keselamatan bagi seluruh warga desa serta sebagai ungkapan syukur atas panen yang melimpah.
Upacara bersih desa di Desa Simbatan melibatkan serangkaian kegiatan yang dimulai dari rapat desa jauh hari sebelum acara. Rapat ini bertujuan untuk mempersiapkan segala keperluan upacara. Selanjutnya, warga desa secara sukarela melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan desa. Salah satu bagian penting dari upacara ini adalah penyiapan sesaji.
Menurut Bapak Sumiran, sesaji ini diadakan dengan harapan agar warga desa terhindar dari bahaya dan malapetaka. Sesaji dianggap sebagai syarat penting dalam upacara bersih desa, dan tanpa sesaji, dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Setelah penyiapan sesaji, rangkaian upacara bersih desa dilanjutkan dengan kenduri desa.
Kenduri ini dilaksanakan di halaman situs petirtaan Dewi Sri pada malam Kamis malam Jumat Pahing di bulan Suro. Seluruh warga desa, baik laki-laki maupun perempuan, hadir dalam acara ini. Keesokan harinya, pada hari Jumat pagi, dilaksanakan penyembelihan kambing sebagai simbol rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus menjadi pelengkap sesaji yang telah disiapkan sebelumnya.
Tahap selanjutnya adalah pengurasan situs petirtaan Dewi Sri. Masyarakat Simbatan meyakini bahwa pembersihan petirtaan Dewi Sri memiliki makna yang sama dengan membersihkan rumah.
Puncak Ritual
Usai membersihkan petirtaan Dewi Sri, keseruan berlanjut dengan perburuan ikan lele. Warga desa berbondong-bondong menangkap ikan lele di area petirtaan. Lele yang berukuran paling besar akan dipilih untuk menjadi bintang utama dalam tarian sakral, tarian ikan lele.
Hiburan tayub, yang selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi ini, menambah semarak suasana. Alunan musik gamelan yang mengiringi nyanyian dan tarian menciptakan harmoni yang memikat hati.
Pertunjukan tarian ikan lele menjadi puncak acara tradisi upacara bersih desa.
Menurut masyarakat Simbatan, tarian ini memiliki makna simbolis yang mendalam, yaitu kedamaian. Bapak Sudirman, seorang tokoh masyarakat setempat, yang diungkap pada penelitian bahwa “tarian ikan itu adalah wujud dari kedamaian desa ini. Warga di sini semua meyakini kalau sudah diadakan tarian ikan bakal menjadikan desa Simbatan ayem tentrem.”
Sebagai warisan leluhur yang turun menurun, upacara bersih desa simbatan bukanlah sekadar rangkaian tradisi yang telah usai, tetapi juga menjadi denyut nadi kehidupan yang mengalirkan nilai-nilai luhur dari generasi ke generasi
Dengan demikian, tarian ikan lele tidak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga menjadi simbol harapan dan keyakinan akan terciptanya kedamaian serta ketentraman di Desa Simbatan.
Tarian Simbolik
Saat tarian ikan lele berlangsung, para penari dengan hati-hati memegang ikan lele di bagian bawah siripnya untuk menghindari patil, bagian yang tajam dan berbahaya pada ikan lele. Dengan lincah, mereka menggoyangkan ikan lele ke kanan dan ke kiri mengikuti irama musik gamelan yang mengalun, sesekali mengangkat kaki mereka. Para penari ikan lele ini menunjukkan kelihaian dan kemahiran mereka dalam melakukan tarian ini.
Sebagai penutup dari upacara bersih desa, ikan lele yang telah ditarik kemudian dilepaskan kembali ke tempat asalnya di situs petirtaan Dewi Sri. Para penari ikan lele berjalan menuju petirtaan dan melepaskan ikan lele tersebut. Setelah ikan lele dilepaskan, para wanita desa Simbatan dengan suka cita menaburkan beras kuning dan bunga mawar merah sebagai simbol pemberian makan kepada ikan lele.
Baca juga: Tradisi Sebaran Apem di Klaten
Meminjam analisis peneliti sastra Jawa, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, ritus budaya masyarakat Simbatan merupakan simbol implementasi budaya masyarakat desa dalam mengungkapkan rasa syukur atas keberkahan yang didapatkan dari kekayaan alam.
Konsep Dewi Kesuburan
Dewi Sri, sejak zaman klasik keberadaanya sudah ada dengan bingkaian ritual pengkultusan dan kepercayaan masyarakat terhadap tokoh simbolik Dewi Sri. Cerita masa lalu memang selalu menghubungkan Dewi Sri dengan tumbuh-tumbuhan khususnya padi dijumpai dalam kitab Tantu Panggelaran yang terdapat pada abad 15 – 16 Masehi.
Maka konsep dari Dewi Sri sebagai dewi kesuburan pada abad ke 15 – 16 Masehi oleh masyarakat sudah dikenal, sehingga masyarakat melakukan penghormatan karena pada masa klasik masyarakat menggantungkan hidup di sektor pertanian. Maka pelaksanaan upacara bersih desa di situs Petirtaan Dewi Sri diadakan setiap bulan Suro atau Muharram merupakan warisan masa lalu yang melekat pada kebudayaan masyarakat agraris.
Ditambah, pelaksanaan yang dilakukan pada bulan Muharram ini merupakan akulturasi budaya Hindu-Budha dengan Islam. Bulan ini merupakan hari besar dalam agama Islam yang bermakna sebagai bulan penuh musibah, bulan penuh bencana, dan bulan yang sangat sakral, sehingga masyarakat di Desa Simbatan melakukan kegiatan upacara bersih desa dengan tujuan mencari keselamatan atas warga desa.
Sebagai warisan leluhur, upacara bersih desa simbatan bukanlah sekadar tradisi semata, tetapi juga denyut nadi kehidupan yang mengalirkan nilai-nilai luhur. Sebagai warisan leluhur yang tak ternilai harganya upacara ini menjadi cerminan harmoni antara manusia dan sang pencipta. Masyarakat mengungkapkan rasa syukurnya kepada tuhan yang maha esa atas segala berkat dan Rahmat yang telah diberikan.
Masyarakat meyakini bahwa Dewi Sri adalah manifestasi dari kekuatan Ilahi yang memberikan kesuburan dan kemakmuran bagi desa mereka. Selain itu, upacara ini juga menjadi sarana untuk mempererat tali silaturahmi, menjaga kearifan lokal yang adiluhung, serta melestarikan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Dengan demikian, upacara bersih desa di desa simbatan memiliki dimensi spiritual, sosial, dan budaya yang sangat vital bagi masyarakat setempat.