Ilustrasi dari kendalmu.or.id

Seperti pada umumnya, tradisi yang kerap kali dilanggengkan oleh masyarakat Indonesia pada bulan Syawal tepatnya setelah Hari Raya Idulfitri adalah halal bihalal. Halal bihalal bagi masyarakat muslim Indonesia dijadikan sebagai momentum untuk merekatkan tali kasih kekerabatan bahkan sosial. di samping itu, halal bihalal menjadi ajang silaturrahmi tahunan yang wajib kiranya dilaksanakan di setiap daerah, institusi pemerintah, institusi pendidikan bahkan oleh kelompok-kelompok organisasi tertentu.

Di Madura khususnya Kabupaten Sumenep, halal bihalal dalam pengamatan saya dilaksanakan dalam dua tingkat hubungan. Pertama hubungan kekerabatan (internal), pada taraf hubungan kekerabatan ini setiap individu diikat oleh darah yang berasal dari buyut atau sesepuh (sama) sebelumnya baik yang masih hidup atau pun yang sudah wafat. Hubungan kekerabatan ini tidak dibatasi hanya pada saudara dekat atau pun sepupu dekat, namun lebih dari itu. Tolak ukur hubungan kekerabatan ini mengacu pada silsilah keturunan atau nasab yang diturunkan oleh buyut.

Secara implementatif, pelaksanaan halal bihalal pada tingkat hubungan kekerabatan ini dilakukan di satu rumah kerabat tertentu yang telah ditentukan bersama sebelumnya dan sifatnya bergilir setiap tahun. Momentum ini berupaya menyegarkan kembali hubungan persaudaraan dan menghimpun saudara yang telah bermukim di tempat yang jauh atau luar Madura. Karena indikator hubungan kekerabatan ini berdasar pada silsilah keturunan buyut, maka peserta halal bihalal pada kategori kekerabatan ini bisa sampai mencapai puluhan orang.

Baca juga: Berburu Kertas di Hari Raya

Uniknya lagi, pelaksanaan halal bihalal pada tingkat hubungan kekerabatan ini tidak hanya berkumpul -kumpul saja atau salaman bermaaf-maafan semata. Namun acara halal bihalal tersebut biasanya dilakukan secara seremonial diawali dengan membaca tahlil yang dihadiahkan kepada para sesepuh yang sudah meninggal dunia dan juga pembacaan shalawat Nabi.

Kategori kedua ialah halal bihalal pada tingkat hubungan sosial (eksternal). Halal bihalal pada tingkat ini mencakup hubungan persaudaran bahkan kemanusiaan yang luas, berbeda dengan halal bihalal pada kategori pertama yang terbatas pada lingkup hubungan kekerabatan dan silsilah keturunan. Halal bihalal kategori ini mengandaikan kontribusi personal dalam upaya harmonisasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Praktik religius halal bihalal yang berlangsung secara kontinu dan mentradisi di tengah masyarakat Indonesia sebenarnya berdampak pada tatanan kehidupan masyarakat. Praktik halal bihalal mencerminkan suatu kebersamaan dan keterlibatan setiap individu dalam membentuk keteraturan dan perekatan sosial

Tradisi masyarakat Madura dalam melaksanakan halal bihalal tingkat sosial ini biasanya dilakukan dalam hubungan ketetanggaan yang sifatnya fleksibel. Selain itu, halal bihalal pada tingkat sosial juga terkadang dilakukan secara seremonial dalam lingkup himpunan warga Rukun Tangga (RT) Rukun Warga (RW) bahkan tingkat desa. Fenomena ini merefleksikan kepada kita bahwa halal bihalal yang pada awalnya bagian dari momentum Idulfitri dapat menciptakan harmoni sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Sejalan dengan hal tersebut, Emile Durkheim seorang sosiolog modern yang pernah melahirkan karya masterpiece-nya The Elementary Forms of Religious Life (1912) menyatakan “Religion is an expression of, and a way of creating social order.” Secara sederhana pernyataan tersebut bisa kita pahami bahwa agama merupakan ekspresi dan cara dalam menciptakan tatanan sosial.

Melalui pernyataan di atas dapat kita kontekstualisasikan bahwa praktik religius halal bihalal yang berlangsung secara kontinu dan mentradisi di tengah masyarakat Indonesia sebenarnya berdampak pada tatanan kehidupan masyarakat. Praktik halal bihalal mencerminkan suatu kebersamaan dan keterlibatan setiap individu dalam membentuk keteraturan dan perekatan sosial.

“Praktik religius halal bihalal yang berlangsung secara kontinu dan mentradisi di tengah masyarakat Indonesia sebenarnya berdampak pada tatanan kehidupan masyarakat. praktik halal bihalal mencerminkan suatu kebersamaan dan keterlibatan setiap individu dalam membentuk keteraturan dan perekatan sosial.”

Penyebutan istilah halal bihalal sendiri sebenarnya menyerap dari bahasa Arab hallla-yahallu yang berarti mengurai dan melepaskan. Secara definitif halal bihalal dapat dipahami sebagai sebuah upaya untuk mengurai kembai hubungan persaudaraan yang kusut dengan cara silaturahmi dan bermaaf-maafan di momen Idulfitri. Oleh sebab itu, halal bihalal menjadi rangkaian pada hari-hari Idulfitri dan bulan Syawal.

Keyakinan Terhadap hari Nahas

Selain bermaaf-maafan, pada momentum halal bihalal terdapat banyak hal yang diperoleh, mulai dari rekatnya rasa persaudaran sampai pada nasehat dan petuah yang diterima dari orang yang dituakan dalam lingkup kekerabatan. Sering kali kita merasakan kehangatan obrolan panjang (ngalor-ngidul) dengan topik yang sangat beragam. Obrolan jamak dimulai dengan saling berbagi pengalaman yang telah dilalui. Bagi kerabat yang perantau biasanya juga menyampaikan cerita-cerita kehidupan yang dirasakan di perantau.

Seminggu setelah lebaran, kebetulan gubuk saya dirawuhi oleh guru ngaji sewaktu masa kecil dulu. Sebagaimana tahun tahun sebelumnya, saya biasanya merutinkan diri untuk untuk nyabis (sowan) datang ke dhalem guru ngaji yang dulu mengajarkan saya mengeja alif untuk pertama kalinya. Tidak banyak yang saya mau, sekadar ingin ngalab berkah, mencium tangan dan meminta nasehat. Namun, Idulfitri kali ini tidak seperti biasa, saya ditelpon oleh guru ngaji saya bahwa beliau ingin silaturrahim ke gubuk saya.

Dengan sumringah saya mempersilahkan sambil merapikan taplak meja dan menata jajan lebaran dengan rapi. Sesampainya di rumah kami pun sekeluarga menyambutnya, kemudian bercengkrama sembari saling menanyakan kabar. Dalam pergantian menit ke jam kami pun berbincang panjang, ada beberapa potongan cerita menarik yang beliau sampaikan.

Dalam kisahnya, suatu waktu guru ngaji saya didatangi seorang tamu dengan satu pertanyaan yang dibawanya. Tamu tersebut bercerita bahwa belakangan ini orang Madura terlalu mempercayai hari baik dan hari sial (nahas) dalam melakukan aktivitas, lantas ia melayangkan pertanyaan; apakah hari Nahas itu ada dalam Islam dan Al-Qur’an? Jika ada, apakah berpengaruh pada proses laku hidup manusia?

Lantas guru ngaji saya menjawab dengan pertanyaan; apakah anda yakin terhadap hukum alam (sunnatullah)? Apakah anda muslim dan membaca serta memahami Al-Quran? Sejurus beliau mejelaskan dengan gamblang bahwa dalam kehidupan ini Allah memiliki ketentuan dan hukum yang diberlakukan atas semua makhluk.

Beberapa di antara sunnatullah seperti siklus pergantian siang dan malam, hukum gravitasi, rotasi bumi, siklus air, fenomena awan, kehidupan tumbuhan dan hukum sebab akibat. Al-Quran dalam beberapa ayat sebenarnya telah menjelaskan beberapa contoh sunnatullah tersebut bahkan juga di-amini secara saintifik. Surat Az-Zumar ayat 5 misalnya telah menjelaskan tentang perubahan siang dan malam sebagai akibat dari rotasi bumi pada porosnya.

Kemudian fenomena awan yang dapat mengeluarkan air dan es serta bentuknya bertindih-tindih seperti yang dijelaskan dalam An-Nur ayat 43. Fenomena awan ini juga dibuktikan secara saintifik oleh Abercromby dan Hilderbransond (1887) yang kemudian mengklasifikasi awan tinggi, menengah dan awan rendah. Selain itu juga awan diklasikasi dari segi jarak sehingga kemudian muncul penamaan terhadap awan yaitu awan cirrus, cirrostratus, nimbostratus, strakomulus dan lain sebagainya.

Satu hal yang kadang manusia lupa yaitu dalam memahami fenomena tumbuhan, sehingga manusia cenderung merusak lingkungan dengan menebang pohon-pohon dan tidak menghiraukan penghijauan. Pada akhirnya menimbulkan bencana yang menimpa manusia sendiri, padahal Al-Quran telah mewanti wanti untuk tidak merusak lingkungan sebagaimana disebut dalam Shad ayat 28.

Sesekali meneguk teh, guru ngaji beralih menjawab mengenai hari nahas. Ungkapnya, “nahas” itu adalah istilah yang diserap dari Al-Quran tepatnya dalam Surat Al-Qomar ayat 19. Pada ayat tersebut direpresentasikan dengan kata yaumi nahsin sebagai hari sial yang menimpa kaum ‘Ad saat itu karena meraka tidak mengimani Al-Quran dan tidak mengambil pelajaran dari bahtera yang dibuat oleh Nabi Nuh bahwa akan datang banjir bandang.

Kemudian, guru ngaji mencontohkan salah satu hari nahas dalam keyakinan masyarakat Madura yaitu pada 1 Muharam (di Jawa dikenal dengan sebutan 1 Suro). Pada tanggal 1 Muharam ini terdapat pantangan untuk melakukan beberapa aktivitas karena dianggap hari nahas (sial), seperti aktivitas membangun rumah, melakukan perjalanan jauh, melakukan pernikahan dan lain sejenisnya.

Lanjutnya, keyakinan hari nahas pada tanggal 1 muharram ini bukan anggapan tanpa dasar. Akan tetapi ini merujuk pada masa kehidupan Nabi yang diusir oleh masyarakat Mekkah sehingga Nabi hijrah ke Madinah. Bukan hanya mengusir, bahkan masyarakat Mekkah saat itu bertindak kasar kepada Nabi. Oleh sebab itu, meyakini 1 muharram sebagai hari nahas adalah bentuk tabarruk (ngalab berkah) kepada Nabi dengan ikut meratapi dan mengambil hikmah dari perjalanan hidupnya.

Meyakini hari nahas sama saja meyakini sunnatullah yang berlaku baik yang sudah terjadi pada masa-masa orang terdahulu maupun yang terjadi saat ini. Obrolan saat itu ditutup dengan nasehat guru ngaji saya, bahwa dimanapun kita berada baik di daerah sendiri atau pun di perantauan sebagai muslim kita tidak boleh bertindak semena-mena kepada lingkungan sekitar kita baik tumbuhan atau pun hewan, lebih lebih kepada sesama manusia. Menjadi insan kamil harus memadukan pengetahuan dan tingkah laku yang baik, karena hukum Allah berlaku bagi setiap makhluk di alam semestas ini

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here