Dokumentasi Pribadi

Pada 02 Agustus 2025, sinaran matahari sore yang cerah, secerah kembalinya diskusi tentang sejarah yang diadakan oleh Progresif Institute. Segerombolan pemuda/i silih berganti berdatangan. Mencari tempat dan menunggu pesanan datang. Menambah suasana di kedai megah semakin bergemuruh. Ucapan salam dilontarkan, menunjukkan bedah buku “Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945” karya Sidik Kertapati akan di mulai.

Memulai dan memilih bulan Agustus bukan tanpa alasan. Pertama, bulan ini sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Kedua, memperkenalkan penulis dan tokoh penting saat detik-detik proklamasi dikumandangkan. “Masih banyak tokoh yang tersembunyi dan disembuyikan dalam sejarah, sedangkan mereka memiliki kontribusi dan berperan penting, sehingga harapan dari diskusi bedah buku ini dapat memperkenalkan dan bisa menjadi bahan refleksi”, ungkap M. Eko Nugroho.

Eko sapaan akrabnya, menyadari bahwa menolak lupa terhadap sejarah jangan sampai muncul dalam benak generasi pemuda khususnya di Lamongan. “Seperti semboyan yang dikatakan oleh Ir. Soekarno “JAS MERAH” (jangan sekali-kali melupakan sejarah),” tambahnya sekaligus pendiri Progresif Institute itu.

Baca juga: Rambak.co: Memposisikan Media sebagai Nalar Kritis Kaum Muda

Buku karya Sidik Kertapati ini merupakan buku bacaan penting untuk mengetahui sejarah kemerdakaan Indonesia. Mengingat, Sidik adalah pelaku. Sehingga peristiwa-peristiwa sangat melekat pada ingatannya. Tidak heran, bila buku “Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945” ini banyak dijadikan rujukan oleh banyak peneliti sejarah.

Terdapat buku lain yang juga merekam peristiwa sekitar proklamasi yaitu Mohamad Roem berjudul “Pentjucilakn, Proklamasi dan Penilain Sedjarah” (1970) dan karya Muh. Hatta berjudul “Sekitar Proklamasi” (1970). Namun karya tersebut kurang begitu berhasil dalam merekam gerakan-gerakan revolusioner semasa pergolakan melawan fasisme.

Dadang mengajak para peserta untuk tidak sekadar membaca, tetapi juga merenungi perjuangan para pendahulu yang terlukis dalam buku tersebut

Di bawah sorot cahaya kuning lampu yang berjajar rapi di langit-langit ruangan, Dadang Wiratama tampil sebagai pembedah buku yang berlangsung khidmat dan penuh semangat. Dengan suara serak yang khas, ia menyampaikan pemaparannya, sesekali mengarahkan pandangan ke arah para hadirin, lalu kembali menunduk menatap halaman demi halaman buku yang berada di tangannya. Dalam sorotan matanya tersirat kesungguhan dan penghayatan mendalam atas isi buku yang tengah dibahas.

Dadang, yang akrab disapa demikian oleh rekan-rekannya, menyoroti secara tajam bagaimana buku karya Sidik Kertapati berhasil menyuguhkan narasi yang menggugah mengenai dinamika ideologis organisasi-organisasi revolusioner di masa penjajahan. Menurutnya, karya ini bukan hanya dokumentasi sejarah, tetapi juga sebuah pengungkapan berani tentang bagaimana jejaring gerakan bawah tanah saat itu bekerja secara sistematis dan terorganisir demi menyusun siasat perlawanan terhadap kekuatan fasis yang menindas.

Baca juga: Muktamar Ilmu Pengetahuan PWNU Jateng: Melihat Kembali NU sebagai Penggerak Civil Society

“Buku ini mampu memetakan dengan detail bagaimana ideologi-ideologi perlawanan bertumbuh dan berkembang di tengah tekanan zaman,” ujar Dadang, menyiratkan kekaguman pada penulis dalam mengangkat sisi-sisi yang selama ini jarang tersorot oleh sejarah.

Lebih jauh, Dadang mengajak para peserta untuk tidak sekadar membaca, tetapi juga merenungi perjuangan para pendahulu yang terlukis dalam buku tersebut. Ia menegaskan bahwa rekam jejak perjuangan itu bukan hanya bagian dari masa lalu, melainkan cermin untuk merefleksikan kembali makna kecintaan terhadap tanah air di tengah dinamika
kebangsaan hari ini.

Bagikan
Alumni Mahasiswa S1 Manajemen ITBAD Lamongan, Aktivis Sosial, Peracik Kopi, Anggota HPKPH PDPM Lamongan Periode 2023-2027, Pegiat Literasi di Progresif Institute.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here