Penyandang Disabilitas

Isu disabilitas sebenarnya tak jauh-jauh amat dari hidup saban hari. Sayangnya, narasi ini seolah jarang—untuk tidak menyebutnya “tak pernah”— menguat dan menjadi perbincangan publik atau bahan diskusi yang menarik atensi pelbagai kalangan. Jika dibanding dengan persoalan agama, gender, skena seni, dan identitas budaya populer era kiwari, tentu saja disabilitas merupa soalan paling periferi. 

Muhammad Khambali, penulis sekaligus seorang pengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB), menerbitkan buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan untuk turut mengetengahkan narasi minor ini. Buku ini berisi kumpulan esai yang, beberapa di antaranya pernah tayang di media massa, dan terikat satu benang merah, yakni perihal disabilitas.

Buku ini pun agaknya dapat mengisi celah yang kosong dalam perbincangan kita, saat isu disabilitas bukan dipandang sebagai masalah komunal dan, segala hal kian melaju cepat, menerabas-meninggalkan apa-apa yang sepintas—tanpa bekas. 

Hadirnya buku ini dapat menjadi kritik konstruktif dan genderang pembangkit kesadaran pada isu disabilitas. Sebuah isu yang Muhammad Khambali sebut-sebut sebagai “isu bersama”.  

Sekian esai dalam buku ini, pada dasarnya mengajak kita memberi perhatian terhadap beberapa hal yang mungkin luput dari pengamatan, spesifiknya dari aspek bahasa. Pasalnya, dari bahasa bisa lahir sebuah diskriminasi. Muhammad Khambali menegaskan hal ini cukup intens di dalam esai-esai awalnya. Kita ditarik untuk lebih peka dan memahami bahwa masih ada segregasi dan label negatif sejak dalam bahasa. 

Hal ini dengan sangat jelas bisa disimak dari tautan linguistik dari kata “cacat”. Muhammad Khambali menulis, “penyandang cacat sebagai subjek yang ‘mengalami derita’ nampak menggunakan perspektif medis dan berasosiasi negatif dan stereotip” (hlm. 9) Melalui pelabelan yang melekat—lebih tepatnya dilekatkan—ini, banyak prasangka maupun anggapan normalitas yang boleh dibilang masih miring. Dari sini, bisa kita melihat bahwa bahasa bisa jadi sangat politis. Tak ada yang tak netral. 

Baca juga: Kuasa Media Sosial

Di esai kedua, sebuah tulisan dengan judul yang kemudian menjadi judul buku ini, Muhammad Khambali menelusuri susur galur bagaimana narasi ketidaksetaraan tercipta dan bekerja. Muhammad Khambali mundur ke masa yang lampau, menilik epos pewayangan dan membuka lembaran-lembaran sejarah modern Indonesia. 

Narasi yang sangat bias ini, rupanya merupakan warisan kolonialisme yang menjadi kepingan sejarah dalam perjalanan negara-bangsa Indonesia. Cara pandang tersebut muncul, menurut Muhammad Khambali, tepatnya “ketika kolonialisme datang membawa ide-ide taksonomi rasial serta memperkenalkan medikalisasi yang mendakwa difabel dalam kacamata medis atau penyakit.” Klasifikasi saintifik inilah yang membuat mereka berada dalam posisi minor. Hal yang sangat berbanding terbalik dengan apa-apa yang ada di lingkungan keraton Jawa masa silam. 

Sebagai negara-bangsa poskolonial, tentu saja warisan ini masih langgeng sampai sekarang. Asumsi buruk dan fasilitas pendukung yang minim hanya selapis—sekali lagi, hanya selapis—dari bertumpuk-tumpuk persoalan dalam wacana disabilitas. Padahal ya, semestinya mereka mendapat penghormatan yang memadai, baik di ruang publik maupun tempat privat, supaya tak lagi jadi warga negara kelas dua atau yang-liyan

Perihal Aksesibilitas 

Satu di antara beberapa hal yang Muhammad Khambali tawarkan dalam buku ini, sebagai upaya untuk membangun inklusivitas yang setara & semartabat, adalah dengan menyerukan aksesibilitas. Akses tersebut bisa mewujud dalam infrastruktur di ruang-ruang publik, seperti ramp maupun guiding block di sekolah, taman, toilet, angkutan umum, dan seterusnya. Tata ruang ini niscaya bisa membantu penyandang disabilitas melakukan orientasi & mobilitas—yang selayaknya terus diperluas. 

Selain sarana fisik, akses yang tak kalah mendasar lagi adalah buku bacaan. Muhammad Khambali menuturkan bahwa penyediaan buku braille dan audio bagi penyandang netra itu mendesak. 

Sebab pada umumnya, “buku-buku braille yang tersedia adalah buku-buku bantuan dari lembaga nonprofit. Tak ada penerbit arus utama yang mencetak dan menerbitkan buku braille” (hlm. 73)

Baca juga: Catatan Historis dalam Balutan Mistis Dunia Semar Lembu 

Bayangkan saja, jika kaum penyandang disabilitas tunggal maupun majemuk mudah mendapat akses, khususnya teks-teks literer, tentu saja ini menjadi langkah suportif untuk memberi jalan & mengoptimalkan kemampuan penyandang disabilitas — bukan malah membatasi apalagi mengabaikan mereka dalam narasi yang kadung jamak tertanam di benak, yaitu narasi ableism

Pada akhirnya, tulisan-tulisan di buku ini menyadarkan siapa saja, para pembaca, untuk turut bersama-sama menggapai wacana inklusif. Muhammad Khambali pun menunjukkan kepada kita–dengan gaya ucap naratif dan sesekali menghantam, pun dengan jangkar referensi yang kaya–bahwa isu disabilitas bukan isu individual, tetapi isu bersama yang berkait-kelindan dengan persoalan struktur sosial dan lanskap politik. 

Judul : Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan

Penulis : Muhammad Khambali

Penerbit : Anagram 

Cetakan :  Pertama, Desember 2024

Tebal : xii + 90 halaman 

ISBN : 978-623-99244-9-2

Bagikan
Pengajar bahasa Inggris dan peresensi buku. Sekarang ia sedang menyiapkan buku himpunan esai pertamanya. Bisa disapa via instagram @dibbaroya atau surel adib.baroya@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here