Sistem Millet Utsmani
Illustrasi dari kisahmuslim.com

Sepanjang sejarah peradaban Islam, keberagaman kerap menjadi ujian terberat, bahkan titik rawan. Hal ini terjadi karena mengelola perbedaan berarti menyeimbangkan Syariat dengan realitas sosial yang majemuk. Keberhasilan dalam mengelola dan menyeimbangkan antara syariat dan realitas sosial majemuk pernah berhasil di masa Kesultanan Turki Utsmani. Salah satu  imperium Islam terlama dan terluas, yang hadir membawa solusi brilian yang cukup dikenal dengan sebutan sistem millet.

Sistem ini bukan sekadar toleransi pasif yang membiarkan perbedaan muncul, tetapi mengalir di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sebuah kerangka hukum dan sosial yang aktif memberdayakan komunitas non-Muslim. Komunitas tersebut mencakup Kristen Ortodoks, Armenia, dan Yahudi. Mereka semua diminta menjalankan otonomi komunal di bawah naungan Kesultanan Turki Utsmani.  

Oleh katenanya, tulisan ini bertujuan menyingkap bagaimana Millet berfungsi sebagai perwujudan kebijaksanaan dalam bingkai politik Islam. Sebagai tambahan, menjadikannya model dakwah kemanusiaan yang relevan untuk konteks Indonesia. Meninjau kembali praktik keberagaman yang telah diwariskan oleh Turki Utsmani – juga sebagai penanda bahwa Islam tidak hanya agama yang identik dengan kekerasan, tetapi juga penghargaan atas keberagaman – tulisan ini diharapkan pembaca dapat menemukan pelajaran berharga tentang bagaimana prinsip-prinsip keislaman berpadu harmonis dengan realitas sosiokultural.

Makna Sistem Millet Utsmani

Millet secara harfiah berarti “bangsa” atau “komunitas agama” dalam konteks Utsmani. Struktur ini dilembagakan untuk mengakui status legal komunitas non-Muslim, yang dikenal sebagai Ahl al-Dzimmah (kaum yang dilindungi). Setiap Millet, tanpa kecuali, memiliki hak mendasar pertama, mengelola Urusan Internal mencakup hukum keluarga, pernikahan, perceraian, pewarisan, dan pendidikan, berdasarkan hukum mereka. Kedua, pada aspek kepemimpinan agama menyatakan bahwa setiap Millet dipimpin oleh seorang pemimpin agama tertinggi sesuai dengan kepercayaanya masing masing baik itu Patriark, Rabai Agung, atau Katolikos, yang sama-sama bertanggung jawab langsung kepada Sultan. Para pemimpin ini juga bertindak sebagai perwakilan politik sekaligus spiritual komunitasnya.

Namun, di balik penerapan sistem Millet ini, sebenarnya prinsip-prinsip Syariat Islam masih menjadi akar perlindungan kaum non-Muslim. Seperti dengan kewajiban tradisional berupa pembayaran jizyah (pajak perlindungan).  

Gabungan konsep tersebut, baik otonomi dan jizyah, menegaskan letak kejeniusan Utsmani: melembagakan perlindungan yang tadinya umu menjadi sistem administrasi terstruktur dan terpusat. 

Baca juga: Striker dari Pulau Buru

Sejarawan seperti Halil İnalcık mencatat Millet sebagai adaptasi cerdas. Sebuah kebijakan yang menggabungkan tradisi hukum Islam dengan kebutuhan pragmatis kekaisaran yang heterogen, memastikan stabilitas dan loyalitas populasi yang ditaklukkan.

Praktik Sistem Millet adalah manifestasi nyata dari dakwah kemanusiaan Utsmani. Fokusnya sangat jelas: hak komunitas untuk melanggengkan identitas, tradisi, dan “kearifan lokal” mereka, bahkan di bawah pemerintahan kaum Muslim. 

Kita bisa melihat contohnya di bidang keagamaan. Komunitas Kristen Ortodoks Yunani, misalnya, tetap diizinkan menggunakan bahasa liturgi mereka, merayakan hari raya keagamaan, dan mendirikan gereja, bahkan di pusat kekuasaan di Konstantinopel setelah penaklukan tahun 1453. Begitu pula dengan komunitas Yahudi Sefardim yang melarikan diri dari Inkuisisi Spanyol pada akhir abad ke-15, menemukan suaka dan otonomi di bawah Kesultanan Utsmani. Perlindungan ini bukan sekadar toleransi, melainkan jaminan kemanusiaan. 

Warisan Penting

Mengacu studi Karen Barkey, otonomi nekankan bahwa ini bukan hanya kebijakan belas kasihan. Ini adalah strategi politik (inklusif) yang efektif. Dengan mendelegasikan tanggung jawab internal kepada pemimpin agama, pihak Sultan berhasil menjaga ketertiban, menghindari intervensi langsung dalam masalah sensitif dengan non-Muslim, dan yang terpenting, mengakui kearifan lokal komunitas sebagai cara yang sah untuk hidup berdampingan. Sistem ini menciptakan “pelangi di bawah satu langit” sekumpulan identitas yang berbeda namun hidup dalam satu bingkai perlindungan kekaisaran.

Sistem ini secara nyata mengajarkan bahwa menjaga stabilitas & harmoni pluralisme tak mesti dilakukan dengan menyamaratakan, tetapi justru dengan memberdayakan perbedaan. Di Indonesia, kita bisa melihat relevansi ini pada pengakuan terhadap hukum adat, tradisi lokal, dan hak komunitas agama minoritas untuk mengelola urusan internal mereka, meskipun kerap kali intervensi dari otoritas pelaksana tak terhindarkan dan menyulut konflik. Penting untuk ditekankan: dakwah kultural tidak berarti Islamisasi budaya, melainkan memastikan nilai-nilai Islam (keadilan dan perlindungan) beroperasi dalam konteks budaya yang ada.

Baca juga: Mengetengahkan Narasi Minor, Menggapai Wacana Inklusif

Sistem Millet Utsmani menegaskan bahwa misi utama dakwah, terutama bagi negara multikultural, adalah kemanusiaan. Dengan menjamin hak-hak sipil dan agama komunitas non-Muslim, Utsmani menyebarkan pesan Islam bukan melalui paksaan, melainkan ihsan (kebajikan) dan perlindungan. 

Narasi ini sejalan dengan konsep Gus Dur tentang pribumisasi Islam dan konsep M. Natsir tentang dakwah bil hal (dakwah melalui perbuatan baik), di mana nilai-nilai Islam diterjemahkan menjadi kebijakan publik yang adil dan humanis. Hal ini pun selaras dengan gagasan Fiqh al-Muwaṭanah (fikih kewarganegaraan) yang kini menjadi diskursus penting dalam Islam moderat di Indonesia. 

Pada akhirnya, sistem Millet Utsmani adalah bukti sejarah bahwa penggabungan antara komitmen terhadap ajaran Islam (dakwah) dan pengakuan terhadap keragaman lokal (kearifan lokal) dapat menghasilkan stabilitas dan kemakmuran. Model ini membuktikan bahwa perlindungan dan otonomi komunal bagi komunitas non-Muslim adalah bentuk tertinggi dari implementasi nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam.

Bagikan
Guru sejarah kebudayaan Islam, MAN 1 Klaten

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here