
Ilmu hukum harus menjadi alat pembebasan bagi rakyat kecil
Status hukum dosen Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam menjalankan profesi advokat telah lama menjadi polemik dalam praktik penegakan hukum nasional. Perdebatan tersebut tidak hanya menyentuh aspek kompetensi profesi, melainkan berkaitan langsung dengan isu mendasar mengenai pemenuhan akses terhadap keadilan (access to justice), aktualisasi kewajiban pengabdian akademik, serta rekonstruksi fungsi profesi hukum dalam kerangka negara kesejahteraan.
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 150/PUU-XXII/2024, Mahkamah memberikan legitimasi konstitusional bahwa dosen PNS diperbolehkan menjalankan praktik advokat secara cuma-cuma (pro bono) sepanjang memenuhi persyaratan formil pengangkatan advokat berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Dalam perspektif teori hukum dan etika profesi, putusan ini bukan sekadar perubahan norma, tetapi mencerminkan pergeseran paradigma dari model profesi hukum yang eksklusif menuju konstruksi profesi hukum sebagai sarana rekayasa sosial untuk memperluas perlindungan hukum bagi kelompok rentan.
Baca juga: KUHAP Baru dan Polisi Superkuasa
Amanat moral tersebut ditegaskan oleh Gus Mustain Nasoha, pakar hukum sekaligus Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam (PUSKOHIS) UIN Raden Mas Said Surakarta. Menurutnya, “Ilmu hukum harus menjadi alat pembebasan bagi rakyat kecil.
Ketika keadilan hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu membayar jasa advokat, maka keadilan telah menyimpang dari orientasi filosofisnya. Pernyataan tersebut menekankan bahwa fungsi profesi hukum bukan hanya teknis, tetapi juga etis dan humanistik.
Secara historis, hukum positif Indonesia menempatkan status PNS dan profesi advokat dalam dua ruang normatif yang saling menegasikan. Advokat diposisikan sebagai profesi dengan independensi absolut dari intervensi struktural, sedangkan PNS berada dalam struktur birokrasi pemerintahan yang hierarkis.
Dikotomi itu tercermin dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Advokat yang melarang pengangkatan advokat terhadap individu yang masih berstatus pegawai negeri/pejabat negara, serta Pasal 20 ayat (2) yang melarang advokat menjalankan profesi lain apabila menurunkan independensi profesi advokat.
Membaca Konstitusi
Putusan MK 150/PUU-XXII/2024 melakukan rekonstruksi terhadap paradigma tersebut. Mahkamah menilai bahwa kegiatan advokasi cuma-cuma oleh dosen tidak memenuhi karakteristik profesi komersial, melainkan merupakan ekspresi konstitusional dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pilar pengabdian kepada masyarakat.
Oleh karena itu, unsur transaksional dan kepentingan ekonomi yang berpotensi mengganggu independensi advokat tidak melekat dalam praktik advokasi oleh dosen PNS. Keberadaan advokasi tanpa honorarium menghilangkan potensi conflict of interest dan menjaga posisi advokat tetap independen.
Implikasinya, Putusan MK mengafirmasi tiga prinsip yuridis utama: pertama, dosen PNS dapat menjalankan profesi advokat sepanjang bersifat pro bono dan tidak menerima kompensasi dalam bentuk apa pun; kedua, praktik advokasi oleh dosen bukan merupakan pekerjaan sampingan, melainkan bagian integral dari kewajiban pengabdian akademik; ketiga, independensi profesi advokat tetap terpelihara karena tidak terdapat motif ekonomi dalam pelayanan hukum kepada klien.
Ketika keadilan hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu membayar jasa advokat, maka keadilan telah menyimpang dari orientasi filosofisnya
Dengan demikian, Putusan MK tidak hanya mengubah redaksi undang-undang, tetapi mengubah kerangka pikir mengenai kedudukan advokat: dari profesi privat berbasis remunerasi menuju instrumen pelayanan publik dalam negara hukum (rechtsstaat). Profesi advokat ditegaskan bukan hanya berorientasi imbalan jasa, tetapi memikul fungsi sosial dalam mewujudkan keadilan substantif.
Dalam konteks Tri Dharma, advokasi cuma-cuma oleh dosen memaksimalkan fungsi pengabdian masyarakat dan memperkaya pendidikan hukum berbasis praktik. Pendampingan perkara memberikan pembelajaran empirik bagi mahasiswa: bagaimana norma diuji dalam persidangan, bagaimana argumentasi hukum dikonstruksikan, dan bagaimana realitas sosial berpengaruh terhadap putusan.
Pada titik ini adagium ubi societas ibi ius menjadi relevan, karena hukum tidak hanya tertulis dalam teks, tetapi dijalankan dalam kehidupan. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Roscoe Pound mengenai hukum sebagai tool of social engineering, di mana ilmu hukum harus fungsional dan responsif terhadap problem sosial. Gus Mustain merumuskannya secara tegas: “Keadilan tidak cukup diajarkan, keadilan harus diperjuangkan.”
Dalam praktik, kewajiban advokat memberikan bantuan hukum gratis sebagaimana Pasal 22 UU Advokat belum berjalan optimal karena keterikatan profesi advokat pada struktur pendapatan berbasis honorarium.
Putusan MK hadir sebagai koreksi sistemik dengan menghadirkan dosen PNS sebagai sumber daya baru untuk pelayanan bantuan hukum bagi kelompok rentan. Kebijakan tersebut memperkuat implementasi UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan merealisasikan prinsip equality before the law sebagai jantung perlindungan konstitusional.
Baca juga: Residu Etika Aparat Penegak Hukum
Meski demikian, sejumlah agenda regulatif masih harus diselesaikan. Hingga kini belum terdapat pedoman teknis nasional mengenai tata cara pelaksanaan advokasi oleh dosen PNS, belum terdapat kepastian lembaga pengawasan etik, belum ada batasan beban kerja advokasi, serta belum tersedia mekanisme perlindungan hukum bagi dosen yang menangani perkara sensitif tanpa kompensasi. Tanpa kepastian regulatif tersebut, implementasi advokasi pro bono oleh dosen berpotensi berjalan tidak seragam dan mengandung ketidakpastian hukum.
Oleh sebab itu, rumusan kebijakan lanjutan menjadi kebutuhan historis dan normatif. Regulasi turunan diperlukan untuk mengatur prosedur, kode etik, batasan kewenangan, dan skema perlindungan hukum. Perguruan tinggi perlu membangun Lembaga Bantuan Hukum internal sebagai wadah advokasi institusional.
Di sisi lain, hubungan antara organisasi advokat dan perguruan tinggi harus dibangun pada pola kolaborasi komplementer: advokat profesional menjalankan layanan berbayar, sedangkan dosen PNS berfokus pada pembelaan kelompok miskin dan termarjinalkan.
Dengan penguatan regulasi dan kelembagaan tersebut, Putusan MK tidak berhenti menjadi perubahan norma, tetapi berkembang menjadi motor reformasi sistem bantuan hukum nasional untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya menjadi slogan legal, tetapi keadilan substantif yang hadir dan dirasakan oleh mereka yang paling membutuhkan perlindungan.






