Ritual Mahesa Lawung

Sebagai pusat kebudayaan Jawa, Keraton Surakarta atau Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat masih melestarikan berbagai warisan budaya leluhur, bahkan hingga detik ini. Satu di antaranya Ritual Mahesa Lawung.

Upacara adat Mahesa Lawung dilangsungkan Alas Krendowahono dilaksanakan di Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar.

Alas Krendowahono dikenal angker sejak puluhan tahun lalu. Musababnya, Alas Krendowahono dianggap sebagai penjaga bagian utara Keraton Mataram Islam dalam sistem mancapat kebudayaan Jawa.

Wilujengan Negari Mahesa Lawung di Punden Alas Krendowahono ini, dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur akan keselamatan dan limpahan rejeki yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, untuk membuang kebodohan atau sifat buruk yang ada pada diri manusia, serta diyakini juga sebagai ritual tolak bala.

Sebagaimana disampaikan oleh KGPH Adipati Dipo Kusumo selaku Pengageng Parentah Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, “Konon ritual ini merupakan salah satu ritual adat Jawa kuno karena telah dilakukan sejak Wangsa Syailendra dan Sanjaya dan berlanjut sampai Kerajaan Majapahit yang disebut sesaji Raja Weda,”

Kemudian diteruskan pada zaman Kerajaan Demak oleh para Wali terutama Sunan Kalijaga, dan dilestarikan secara turun-temurun hingga ini yang dikenal dengan Wilujengan Negari Mahesa Lawung. Hutan Krendowahono dipilih untuk menggelar acara Mahesa Lawung karena hutan ini dipercaya sebagai tempat bersemayam Kanjeng Ratu Bathari Kalayuwati, pelindung gaib sisi utara Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Pemilihan Alas Krendawahana sebagai lokasi untuk mengubur kepala kerbau karena terkait posisi Keraton Solo yang berada di tengah empat unsur (pancer). Empat unsur itu yakni Krendowahono di sebelah utara, Gunung Lawu di sebelah timur, Laut Selatan di sebelah selatan, dan Gunung Merapi di sebelah barat. Banyak yang percaya, bahwa Kasunanan Surakarta Hadiningrat masih dilindungi kekuatan gaib, tak kasat mata. Kekuatan itu ada di empat arah mata angin tersebut.

Untuk wilayah selatan dilindungi Kanjeng Ratu Kencanasari atau Ratu Kidul yang beristanakan di Salokadomas/Pantai Selatan. Sebelah barat ada Kanjeng Ratu Mas yang bersemayam di Gunung Merapi. Wilayah timur dijaga Kanjeng Sunan Lawu dengan Keraton di Gunung Lawu.

Sedang area utara dijaga Kanjeng Ratu Bathari Durga (Bathari Kalayuwati) dengan istana di Alas Krendowahono. Meyakini beberapa tempat tersebut dijaga dan dilindungi oleh leluhur-leluhur gaib, maka setiap tahun Keraton Kasunanan Surakarta mengadakan ritual untuk memberi persembahan di empat titik itu.

Baca juga: Tiga Aspek Tasawuf dalam Sadranan

Di Krendowahono, terdapat Punden Bathari Durga di bawah pohon beringin besar nan rimbun yang dijadikan prosesi pelaksanaan Mahesa Lawung. Sementara di sekelilingnya terdapat sendang/sumur dan batu gilang. Berdasar catatan, sendang ini dahulunya menjadi tempat siraman Pakubuwono VI sampai Pakubuwono X saat berada di Alas Krendowahono. Di sini pula ada kepercayaan Pangeran Bangun Tapa atau Pakubuwono VI mendapatkan wahyu.

Air sendang pun dipercaya sebagai penawar berbagai jenis penyakit. Air dari sendang ini juga bisa bikin awet muda dan paling bagus dipakai oleh kalangan perempuan. Selain air sendang, ada pula batu gilang yang dipercaya warga adalah tempat mistis. Batu gilang diceritakan pernah digunakan oleh Pakubuwana VI dan Pangeran Diponegoro. Pakubuwono VI pun membuat siasat alasan berburu di Alas Krendowahono agar tak diketahui mata-mata pihak Belanda.

Wilujengan Nagari Mahesa Lawung

Wilujengan Negari Mahesa Lawung digelar pada hari ke-100 setelah 17 Sura dan selalu dilaksanakan pada hari Senin atau Kamis. Ritual puncak dari upacara Mahesa Lawung adalah mengubur 1 kepala dan 4 kaki kerbau, serta ekor/buntut kerbau di area Punden Hutan Krendowahono, sebagai simbolisasi bahwa menghilangkan atau mengubur kebodohan yang dapat membawa pada kesengsaraan.

Ritual puncak dari upacara Mahesa Lawung adalah mengubur 1 kepala dan 4 kaki kerbau, serta ekor/buntut kerbau di area Punden Hutan Krendowahono, sebagai simbolisasi bahwa menghilangkan atau mengubur kebodohan yang dapat membawa pada kesengsaraan.

Dengan mengubur kepala kerbau lewat ritual tersebut, Keraton Solo ingin menunjukkan bahwa orang Jawa harus bisa memendam nalar kebodohannya. Ritual ini konon sudah ada sejak zaman Mataram Hindu.

Mulanya, di Pagelaran Kraton Surakarta ratusan abdi dalem dan para sentana dalem berdatangan. Sentana dan abdi dalem disalami oleh pengageng sentana yang juga menantu PB XII Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Edy Wirabumi.

Baca juga: Membaca Simbol Budaya di Pasarean Ki Ageng Pengging Sepuh

Busana peserta prosesi sesaji Krendo Wahono nyaris seragam. Atasan beskap, kain jarik cokelat sebagai bawahan, blangkon di kepala, berkalung samir kuning keemasan, lengkap dengan keris di belakang pinggang. Sementara sentana memakai beskap putih, maka para abdi dalem mengenakan beskap hitam. Semuanya tidak ada yang mengenakan alas kaki atawa nyeker.

Ritual adat sakral ini diawali dengan acara wilujengan di Bangsal Maligi, Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kemudian seluruh sesajen yang terdiri dari bunga sekar setaman, setangkai bunga matahari, setangkep pisang raja, buah-buahan 7 rupa, aneka macam umbi-umbian, jajanan pasar, sambel goreng urip-urip, ikan lele sejodho, arak, kutu walang ataga (berbagai jenis belalang)—sebagai simbol rakyat kecil—dan beberapa macam makanan olahan, lalu yang utama adalah kepala Mahesa Lawung/kerbau yang masih perjaka dan belum pernah dipekerjakan beserta empat telapak kakinya, serta ekor/buntut kerbau dibawa menuju ke Sitinggil Lor untuk diadakan wilujengan kembali.

Semuanya menyimbolkan makna-makna tertentu, dalam mana sesaji ini dimaksud juga sebagai wilujengan nagari. Dengan adanya ritual ini diharapkan keamanan dan ketenteraman negara akan terjaga.

Ritual dilakukan dengan memendam kepala kerbau yang sudah dibalut dengan kain kafan itu sebelumnya didoakan di Sitinggil Keraton Surakarta. Seluruh kerabat, abdi dalem hingga sentana dalem (kerabat raja) mengikuti doa yang dipimpin oleh tetua adat. Selain doa, tetua adat juga merapal puji-pujian yang berbahasa Arab serta mantra berbahasa Jawa. Selain mantra berbahasa Jawa, ada pula bacaan berbahasa Arab dan juga salawat Nabi.

Seluruh kerabat, abdi dalem hingga sentana dalem (kerabat raja) mengikuti doa yang dipimpin tetua adat. Selain doa, tetua adat juga merapal puji-pujian berbahasa Arab serta mantra Jawa. Selain mantra Jawa, ada pula bacaan berbahasa Arab dan juga salawat Nabi.

Usai wilujengan di Sitinggil yang dipimpin oleh Ulama Karaton dan Lembaga Dewan Adat (LDA) tersebut, pertama-tama rombongan berangkat dari Gondorasan menuju Siti Hinggil Ler Kraton Surakarta—bersamaan dengan prosesi arak-arakan yang membawa seluruh keperluan upacara sesaji.

Kemudian seluruh rombongan melasanakan doa bersama yang diikuti ratusan abdi dalem dan sentono dalem. Rombongan membawa uba rampe atau perlengkapan yang akan digunakan untuk proses sesaji di hutan utara Kota Solo itu. Seluruh sesajen dimasukkan ke dalam kendaraan untuk dibawa menuju punden Alas Krendowahono Alas atau hutan ini jaraknya sekitar 15 km dari pusat kota Solo. Di sana nanti berkumpul di pendapa untuk sekali lagi membaca doa bersama dan mendengarkan sejarah ritual Mahesa Lawung.

Usai wilujengan di punden Alas Krendowahono, para abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan sigap mulai melakukan upacara penguburan kepala kerbau beserta kaki dan ekor/buntutnya.

Gelaran Mahesa Lawung tahun 2022 ini juga ditujukan untuk mendoakan SISKS. Pakubuwana XIII, Prameswari Dalem GKR. Pakubuwana, serta seluruh komponen Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat agar senantiasa diberi sehat-selamat. Upacara Wilujengan Nagari Mahesa Lawung pun ditutup dengan kenduri bersama.

Ya, seperti itulah sekelumit kisah tentang tradisi wilujengan di daerah Gondangrejo, Karanganyar, tepatnya di Alas Krendowahono. Sekian.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here