Ilustrasi dari dompetdhuafa.org

Di sebuah pagi, saat mataku masih berat dan belum sepenuhnya terjaga, terdengar suara lirih yang familiar berbisik di telingaku. Seketika, alam bawah sadarku tersentak bangun. Dengan sisa kantuk yang masih melekat, ibu memaksaku untuk segera bangkit dari tempat tidur. Ada kegelisahan dalam nada suaranya—besok sudah Hari Raya Idulfitri, dan ternyata ada satu hal yang terlupa.

Jika tidak segera ditangani, tradisi yang bisa dibilang baru yang ingin kami jalani tahun ini bisa terlewat begitu saja. Tradisi berburu kertas, yang dulu tak begitu massif, sekarang menjelma sebagai sebuah keharusan yang dijalankan.

“Pergi ke pasar, cari uang receh,” katanya padaku, dengan nada yang terdengar kesal. Uang pecahan rupanya menjadi salah satu hal penting yang wajib disiapkan saat Hari Raya. Bahkan, keberadaannya seolah mengalahkan makanan tradisional yang biasanya meramaikan perayaan, seperti Rengginang, Godril, Nastar, Khong Guan, dan Jenang.

Belakangan ini, ternyata di kampung halaman saya kesusahan mencari tempat penukaran uang pecahaan. Jika pun ada, nilai tukarnya mahal. Tiap nilai tukar seratus ribu, dikenakan potongan lima belas ribu. Padahal banyak orang yang ingin menukarkan uang pecahan dengan jumlah banyak.

Baca juga: Silaturahmi, dari Tutur Kata ke Lubuk Hati

Dirasa nilai tukarnya cukup mahal, ibu lebih memilih menukar uang pecahan ke koleganya di pasar. Di sana tidak dikenakan bunga sebagai pengganti jasa. Solidaritas sosial masih dikedepankan di ruang pasar tradisional. Tidak melulu soal transaksional semata. Perkawanan di pasar tradisional sejauh ini masih memiliki nilai-nilai kolektif sosial.

Sesampainya di pasar, ibu berencana menukar uang lima ratus ribu dengan uang pecahan lima ribu dan sepuluh ribu. Uang itu diproyeksikan bisa menjangkau semua tamu yang akan di datang saat silaturahmi. Syukur-syukur cukup sampai lebaran ke tiga atau ke empat. “lima ratus ribu nopo boten kebanyakan toh, Buk?”, tanya saya sebagai gurauan. “Soal duwet ki ra ono kurange nek bodo”. Jawabnya dengan nada sedikit ketus.

Lebaran tahun lalu, untuk uang pecahan ibu menukar tiga ratus ribu. Sehari uang tersebut berhasil ludes. Mengingat sanak saudara banyak yang masih berumur di bawah tujuh belas tahun. Keketusannya sangat berdasar, bahwa perihal uang tidak ada kata kurang. Tinggal bagaimana individu mengelola uang sesuai dengan kapasitasnya.

Pemberian uang di Hari Raya tidak hanya terbatas pada sanak saudara saja. Sekarang sudah merambah pada siapa pun yang datang. Hal ini yang membuat pengeluaran semakin membengkak saat perayaan Hari Raya Idulfitri.

“Saiki uang luweh di luru daripada jajan toplesan. Opo meneh jajan gawenan dewe. Gak ono seng nyandak blas”, ujar kegerutuannya. Dulu, sekira sepuluh tahun ke belakang, saat menjelang Hari Raya, ibu mempunyai kebiasaan membuat berbagai makanan tradisional sebagai sajian Hari Raya. Seperti, agar-agar, rangin, peyek kacang hijau, jenang, dan masih banyak lagi ragam makanan yang dibuatnya.

Nampaknya, kebiasaan itu lamat-lamat terkikis, bahkan tak dilakukan lagi. Tahun lalu saya pernah bertanya padanya. “Boten ndamel jajan toh, Buk?”. “Wis gak payu. Gak ono peminate”. Jawabnya. Jawaban ini yang membuat saya cukup berpikir keras. Sebenarnya ibu tidak enggan lagi membuat jajan tradisional untuk disajikan di Hari Raya. Tapi, orang-orang yang anjangsana tidak lagi menyentuh makanan itu. Alasan itu yang mendasari keengganan ibu untuk melanggengkan kekuasaannya.

Ancaman Materialisme

Sayup-sayup suara takbir sudah menggema sejak adzan magrib hingga pagi hari. Toa-toa masjid saling bersahutan satu dengan yang lain. Beragam ekspresi ditunjukkan masyarakat dalam merayakan hari kemenangan. Terlebih ekspresi masyarakat pedesaan. Lebaran Idul Fitri menjadi momen membahagiakan.

Sehingga, tiap kali lebaran terjadi eksodus masyarakat urban untuk kembali ke kampung halaman. Tak pelak, Hari Raya juga menjadi ajang pembuktian diri bagi beberapa orang yang mengais rezeki di tanah rantau. Saat pulang, menampilkan kesuksesannya atas jerih payahnya yang sudah dilakukan.

Besarnya amplop, menjadi salah satu indikator masyarakat di kampung halaman saya dalam menilai kesuksesan seseorang. Hal ini juga berpengaruh pada mental berburu kertas di Hari Raya. Anak-anak akan lebih antusias datang ke rumah tersebut dibanding ke rumah para sesepuh kampung yang tidak menyediakan uang untuk para tamu.

Hari Raya, baik Idulfitri, sejatinya merupakan momen suci yang sarat dengan makna spiritual dan kebersamaan. Tradisi saling memaafkan, berkumpul dengan keluarga, dan mempererat tali silaturahmi menjadi inti dari perayaan ini.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fenomena baru muncul dan menggeser nilai-nilai luhur tersebut. Maraknya pemberian uang saku—atau yang kerap disebut “uang lebaran”—saat berkunjung ke rumah sanak saudara atau tetangga.

Uang yang dibungkus rapi dalam amplop warna-warni atau bahkan diberikan secara langsung telah menjadi semacam “kewajiban” yang dinanti-nantikan, terutama oleh anak-anak. Tak jarang, mereka berlomba-lomba “berburu kertas” dari satu rumah ke rumah lain, seolah-olah tujuan utama silaturahmi bukan lagi kehangatan pertemuan, melainkan seberapa banyak uang yang bisa dikumpulkan.

Fenomena ini tidak hanya mengubah esensi Hari Raya, tetapi juga mencerminkan pergeseran budaya yang lebih dalam, dari nilai-nilai kebersamaan dan ketulusan menjadi materialistik dan transaksional.

Degradasi Budaya

Selesai menjalani Salat Ied, para anggota keluarga di rumah saya menyiapkan segala keperluan untuk menyambut tamu. Satu per satu makanan ditata rapi, diletakkan berjajar di atas meja. Lebaran kali ini tidak banyak makanan tersaji di meja.

Pengalaman lebaran tahun lalu, makanan yang dibeli untuk Hari Raya tak kunjung habis. Bahkan masih tersisa hingga bulan Muharram. Sehingga, lebaran kali ini nampaknya antusias membeli makanan semakin berkurang. Kini tak lebih dari delapan aneka makanan yang tersaji di meja.

Di kamar, ibu dibantu dengan saudara saya yang lain, mereka memasukkan satu persatu uang pecahan ke dalam angpau berwarna merah dengan desain masjid dan bertuliskan selamat Hari Raya Idulfitri. Pecahan sepuluh ribu nantinya diperuntukkan anak-anak dalam kategori saudara dekat. Sedangkan pecahan lima ribu diperuntukkan anak-anak yang tidak memiliki hubungan darah.

Angpau Hari Raya ternyata tidak menyasar mereka yang usianya di bawah tujuh belas tahun. Ibu juga menyiapkan uang lima puluh ribu dan seratus ribu. Uang ini, belakangan baru saya ketahui sebagai pengganti budaya weweh (budaya memberi nasi beserta lauk pauk sebelum Hari Raya) kepada saudara dekat, baik saudara dari bapak maupun ibu.

Kesaksian ini diungkapkan oleh bapak. Bahwa budaya weweh lambat laun sepi peminat. Praktisnya diganti dengan uang, yang sering disebut mentahan. Padahal budaya ini dahulu sangat populer. Sebelum budaya materialistik menyerang, budaya weweh menjadi hari-hari yang sangat dinanti oleh kami semasa kanak-kanak.

Ketika uang menjadi tolok ukur kebahagiaan, nilai-nilai spiritual dan kebersamaan perlahan tergantikan. Anak-anak bisa tumbuh dengan pemahaman bahwa kebahagiaan identik dengan kepemilikan materi, bukan hubungan antar manusia

Budaya weweh, dilakukan sejak puasa menginjak hari ke-21 oleh masyarakat di kampung halaman saya. Saya sering menyebutnya masak besar. Aktivitasnya dimulai dari sejak subuh, di siang sampai sore hari, kami sebagai anak-anak ditugasi mengantarkan makanan ke sanak saudara. Bahkan makanan ini juga didistrIbusikan hampir ke semua rumah yang berada di satu Rukun Tetangga (RT).

Kini, budaya itu hampir menjadi cerita belaka. Tak banyak lagi masyarakat yang menjalankan. Keberadaannya tergeser juga oleh pundi-pundi rupiah. Padahal, budaya tersebut syarat akan nilai sosial. Sebagai ajang perekat persaudaraan dan juga sedikit lebih ekonomis dibanding dengan budaya kertas. Jangkauannya pun lebih menyeluruh. Sehingga budaya itu mampu menjalin secara sosial maupun emosional antar masyarakat.

Kebudayaan kian terdegradasi dengan bentuk-bentuk budaya transaksional. Disadari atau tidak, terjadi penurunan atau memudarnya nilai-nilai budaya dalam memaknai Hari Raya. Berburu kertas menjadi budaya baru yang bertentangan dengan nilai-nilai tradisional.

Asal-Usul Pemberian Uang Saku

Pemberian uang atau hadiah di Hari Raya sebenarnya bukan hal baru. Dalam banyak budaya, termasuk di Indonesia, tradisi memberi “uang angpau” atau “salam tempel” sudah ada sejak lama, terutama di kalangan Tionghoa. Namun, dalam konteks lebaran, kebiasaan ini awalnya bersifat sederhana. Yaitu sebagai bentuk kasih sayang orang tua kepada anak-anak atau kerabat yang lebih muda.

Seiring waktu, tradisi ini berkembang menjadi lebih masif dan komersial. Faktor ekonomi dan gaya hidup modern turut memengaruhi. Orang tua yang mampu merasa perlu memberi lebih banyak sebagai bentuk kebanggaan. Sementara anak-anak mulai membandingkan jumlah uang yang mereka terima.

Budaya komersial atau transaksional, kita bisa menengok berbagai konten yang termuat di berbagai kanal sosial media. Terdapat sebuah video yang melewati berada Instagram saya, di mana video tersebut menampilkan uang hasil berburu kertas pada Hari Raya. Hasilnya sangat fantastis, satu anak mendapat berkisar empat juta rupiah dari hasil angpau lebaran.

Kanal TikTok juga banyak memuat konten cara membagikan uang lebaran dengan berbagai jenis gaya. Sehingga media sosial memperparah situasi ini. Dengan banyaknya unggahan yang memamerkan “hasil buruan” lebaran, seolah-olah nilai seseorang diukur dari seberapa banyak uang yang ia dapatkan.

Silaturahmi Kian Terkikis

Menginjak hari kedua lebaran, stok angpau ibu berhasil ludes. Pecahan uang itu hanya mampu bertahan satu hari. Padahal saudara yang tempat tinggalnya jauh belum berdatangan. Biasanya mereka datang di hari kedua atau ketiga lebaran. Alhasil, stok uang pecahan harus kembali dicari dan diisi.

Silaturahmi, yang seharusnya menjadi momen untuk mempererat hubungan, kini berisiko berubah menjadi ajang transaksi. Ketika uang menjadi fokus utama, kunjungan ke rumah saudara bisa berubah menjadi sekadar formalitas.

Anak-anak mungkin hanya bersemangat datang karena iming-iming uang, bukan karena ingin bertemu keluarga. Bahkan, ada yang dengan terang-terangan menanyakan, “Ada uangnya nggak?” sebelum memutuskan untuk berkunjung.

Yang harus disadari, bahwasannya tidak semua keluarga mampu memberikan uang dalam jumlah besar. Bagi yang kondisi ekonominya pas-pasan, tradisi ini bisa menjadi beban. Anak-anak dari keluarga kurang mampu mungkin merasa minder ketika menerima uang lebih sedikit dibandingkan teman-temannya. Hal ini berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan anak-anak.

Baca juga: Polemik Makna Hijrah

Ketika uang menjadi tolok ukur kebahagiaan, nilai-nilai spiritual dan kebersamaan perlahan tergantikan. Anak-anak bisa tumbuh dengan pemahaman bahwa kebahagiaan identik dengan kepemilikan materi, bukan hubungan antar manusia.

Influence of Consumerism Culture, mungkin menjadi istilah yang tepat untuk menilik yang membuat tradisi berburu kertas di Hari Raya semakin mengakar. Marieke K. de Mooij, menelisik faktor dalam masyarakat kapitalistik, kebahagiaan sering dikaitkan dengan konsumsi dan kepemilikan. Uang Lebaran menjadi bagian dari pola pikir ini.

Kemudian terdapat faktor Social Pressure, di mana para orang tua sering merasa “tidak enak” jika tidak memberi uang, khawatir dianggap pelit atau tidak perhatian. Lack of Alternative Traditions, juga ikut berperan dalam budaya transaksional. Minimnya inisiatif untuk mengganti kebiasaan ini dengan aktivitas bermakna lain, seperti berbagi cerita atau kegiatan sosial.

Berburu kertas di Hari Raya mungkin terlihat seperti tradisi yang menyenangkan, tetapi jika tidak dikelola dengan bijak, ia bisa menggerus nilai-nilai luhur silaturahmi. Uang memang penting, tetapi kebersamaan, kasih sayang, dan keikhlasan jauh lebih berharga.

Hari Raya sebagai momen untuk memperkuat hubungan, bukan sekadar mengejar materi. Sebab, pada akhirnya, yang tersisa dari setiap pertemuan bukanlah berapa banyak uang yang kita dapat, tetapi kenangan hangat dan ikatan yang tak ternilai

Bagikan
Tukang Foto di Komunitas Serambi Kata & Pengelola Damarku.id

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here