
Dakwah dalam Islam merupakan sarana untuk mengajak bukan mengejek, merangkul dan bukan memukul. Dalam melihat sejarah penyebaran agama Islam di Nusantara, Islam masuk dengan ramah tanpa adanya peperangan. Dengan manhaj atau metode yang digunakan para wali songo dahulu penyebaran Islam di nusantara dengan budaya.
Oleh karena itu manhaj atau metode pengajaran seperti inilah yang dibutuhkan masyarakat. Dakwah sendiri harus dilandasi dengan konsep alladzina yanduruna ilan Naas bi Ainirrahmah (memandang manusia itu dengan pandangan kasih sayang).
Islam mengajarkan kita untuk agar bersikap lemah lembut kepada setiap umat, tidak memandang itu muslim ataupun non muslim, bahwasanya Islam itu adalah Rahmatan lil ‘Alamin. Maka dari itu tujuan dakwah sendiri adalah menyampaikan seruan Allah untuk umatnya supaya umat saling menghargai orang lain.
Baca juga: Adab dalam Berdoa
Namun akhir-akhir ini banyak dai yang ceramahnya menyuarakan gagasan yang berbau SARA. Maka dari itu seorang dai harus memiliki manhaj yang baik dan bermanfaat, dan harus menjauhi sifat keras. Karena sifat keras bisa mengakibatkan tertolaknya kebenaran.
Dakwah Moderat
Mengutip bukunya Haidar Bagir yang berjudul Isam Tuhan Islam Manusia Agama dan Spiritual di Zaman Kacau (2017). Bahwa pengertian Islam sendiri adalah agama cinta. Memahami amar ma’ruf nahi munkar itu bukan dengan kekerasan, namun dengan cinta. Dan sebaliknya masalah surga dan neraka itu adalah hak preogratifnya Allah.
Dari persoalan inilah yang harus diperhatikan dalam mempelajari epistemologi dan dekontruksi dakwah yang Islami. Bahwasanya Rasulullah dalam berdakwah tidak pernah menggunakan kekerasan, mencaci maki maupun mengkafirkan agama lain.
Rasulullah lebih mengajarkan dakwah yang ramah dan toleran. Persoalan dakwah yang ramah dan toleran saat ini tampaknya mulai bergeser paradigma yang intoleran pada zaman postmodern. Kita seolah melupakan pelajaran dalam kitab ta’lim muta’alim yang mengajarkan kita selalu menjaga adab.
Namun sebenarnya persoalan perkembangan dakwah yang beragam aliran pernah dikritik Abdurahman Wahid (Gus dur). Kritik metode dakwah Islam dijadikan ladang bisnis untuk memenuhi komoditas hidup dan sebagai legitimasi politik.
Pemikiran Gus Dur
Gus Dur dalam menulis esainya yang berjudul Dakwah Harus Diteliti? dalam buku Tuhan Tidak Perlu Dibela (2017).Bahwa Gus Dur menanggapi akhir-akhir ini banyak firqoh yang dakwahnya tidak memiliki korelasi keagamaan yang ramah. Namun lebih mementingkan egonya dalam menyuarakan dakwah yang provokatif.
Dari persoalan inilah yang harus diperhatikan dalam mempelajari epistemologi dan dekontruksi dakwah yang Islami. Bahwasanya Rasulullah dalam berdakwah tidak pernah menggunakan kekerasan, mencaci maki maupun mengkafirkan agama lain
Dakwah Gus Dur yang fenomenal dan kontroversial dengan watak kepribadianya, jarang dimiliki orang kebanyakan. Terkadang dakwahnya membuat firqoh lain tidak menyukainya tentu itu bukan masalah bagi Gus Dur. Karena apa? Gus Dur itu lebih mengutamakan memperjuangkan persatuan umat dibanding kepentingan pribadi.
Di samping itu, Gus Dur juga memiliki integritas yang tinggi dan konsisten untuk memperjuangkan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian contoh karakteristik dakwah inilah yang semestinya patut untuk diterapkan, yaitu: Tawassuth, Tasammuh, Tawazun.
Pertama, Tawassuth (moderat) merupakan bagaimana masyarakat yang tidak ekstrim, baik itu tidak ekstrim dalam pemikiran atau tidak ekstrim dalam pergerakan.
Baca juga: Pengaruh Eksternal dalam Karya Sastra Arab
Kedua, Tasammuh (Toleran) merupakan bagaimana masyarakat mempunyai sikap yang saling menghargai satu sama lain, baik itu dalam perbedaan pendapat ataupun agama. Misalkan saja kita tidak menghakimi orang lain itu adalah salah satu contoh aplikasi tasammuh sederhana.
Ketiga, Tawazun (Sikap seimbang) merupakan salah satu konsep yang tidak berat sebelah dan tidak berlebihan dalam korelasi antar golongan. Maka dari kesemua karakteristik dakwah yang seperti inilah yang menjadikan umat saling menghargai satu sama lain.
Oleh karena itu konsep Islam Nusantara juga tidak terlepas dengan kebudayaan masyarakat. Karena, Islam masuk dengan budaya. Contoh konkret dakwah dengan budaya adalah wayang. Dengan berkembangnya pewayangan di tanah Nusantara, maka kemudian disisipi nilai-nilai keislaman. Dengan demikian dakwah dengan pendekatan budaya jelas bukan bagian agama.
Maka dari itu dakwah dalam konteks Indonesia adalah suatu keharusan untuk menjaga umat dari paham radikalisme, karena apa? Dalam mengajarkan syariat Islam yang perlu diutamakan adalah memperkuat persatuan. Oleh karena itu konteks dakwah Islam Nusantara menjunjung tinggi kebudayaan yang ada di Indonesia, “Sebab dakwah dengan pendekatan budaya tidak pernah lepas dari konsep dasar qul huwallahu ahad.