Ilustrasi dari sejarahsumatra.com

Hijab memang menjadi gaya perempuan muslimah terbalut budaya pop islami yang kini lebih di gandrungi. Berhijab tak hanya lekat dengan makna menutup aurat, namun juga melekat untuk mempercantik diri.

Kecantikan bisa kita rasakan dengan melihat berbagai perkembangan model hijab yang digunakan para tokoh inspirasi, penyanyi, pemain sinetron, fashion designer, model, bahkan mahasiswi. Peran hijab tak melulu sebagai penutup aurat namun mampu mempercaya diri bagi kaum perempuan terkini.

Membumikan hijab pernah tulis Muhammad Assad berjudul 99 Hijab Stories A Beautiful Spiritual Journey (2013). Buku itu mengisahkan perjalanan 99 perempuan cantik mengenakan gaya berhijab bersanding make-up lalu memaknainya sebagai bentuk hijrah atas pilihan mereka. Perempuan yang hadir dalam buku tersebut memiliki tiga kategori “Tokoh Inspiratif, Figur Publik, Ragam Profesi” sebagai pilihan untuk memperkenalkan perkembangan hijab mutakhir.

Beberapa perempuan dalam buku itu Euis Saedah (Dirjen IKM, Kementrian Perindustrian RI), Ratu Atut Chosiyah (Gubernur Banten), Andriani Marshanda (Motivartist), April Jasmine (presenter), Avi Basalamah (Model), Dewi Sandra (Penyanyi) dan Irna Mutiara (Fashion Designer) di antaranya yang membintangi.

Baca juga: Menunda Jadi Laut(an): Keluh-Kisah Seorang Nelayan

Pemaknaan berhijab melalui perjalanan dan perjuangan kehidupan yang mereka alami, seperti Euis Saedah mengatakan “Hijab Memperlancar karier”, Andriani Marshanda mengatakan “Hijab Mengubah Hidup Saya!”, dan Irna Mutiara mengatakan “Hijab Memajukan Ekonomi Rakyat”.

Kita menjadi mafhum, bahwa buku tersebut tak mampu mengantarkan pembaca untuk mengenali hijab melalui kesadaran hati, akan tetapi justru memperlihatkan sisi berhijab lebih di gandrungi oleh kalangan remaja, orang dewasa maupun orang tua sebagai sarana kecantikan. Pemaknaan berhijab kemudian tak melulu mendekatkan hati terhadap Tuhan, namun bisa menjadi urusan agama, ekonomi, politik, dan kecantikan tubuh perempuan.

Hijab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka, memiliki arti “dinding yang membatasi hati manusia dan Tuhan”. Kita bisa memafsirkan bahwa hijab tak hanya berperan menutupi aurat perempuan dari tampilan luar, tetapi juga mampu menjadi perisai hati dalam setiap penggunanya agar selalu dekat terhadap sang ilahi.

Pandangan Cendikiawan

Seiring perkembangan gaya busana, peran hijab menjadi berjuta makna. Kita bisa melihat pemaknaan para artis tatkala berhijab dalam dunia industri perfilm-an menjadi tak sakral, sebab terkesan hanya penuh sensasi dan terindikasi pada ranah komodifikasi. Berhijab dan berkosmetik (make-up) menjadi alat mempercantik di dunia profesi industri dengan kehadiran pakaian bersensasi guna memperlihatkan bentuk tubuh para remaja.

Namun kita bisa melihat pemaknaan hijab oleh Murtadha Muthahhari dalam buku berjudul Hijab Gaya Hidup Wanita Islam (1988) dengan perspektif yang berbeda. Murtadha memaknai hijab secara filosofis, psikologis dan sosio-historis. Secara filosofis, berhijab mampu mengangkat derajat kemuliaan kaum perempuan dan sebagai pencegahan agar mereka tidak senantiasa terhina pada masa dahulu.

Hijab tak hanya berperan menutupi aurat perempuan dari tampilan luar, tetapi juga mampu menjadi perisai hati dalam setiap pengguna agar selalu dekat terhadap sang ilahi

Berhijab menurut Islam bertujuan menjadi alat senjata perempuan untuk melindungi diri dari seluruh bentuk pemuasan seksual dalam jiwa seseorang. Berhijab juga mampu menjadi pembeda dalam kesejarahan peradaban Islam dan Barat.

Gaya hidup Islam membatasi etika pergaulan seksual melalui hijab sebagai pelindung bagi kaum perempuan. Begitu berbeda dengan kehidupan peradaban Barat tanpa membatasi etika pergaulan seksual antara perempuan dan laki-laki dengan penuh kebebasan.

Baca juga: Mitos Menjembatani Tradisi dan Pemahaman Modern (1)

Namun, meskipun begitu peradaban Barat kini mampu menciptakan produk kecantikan agar bersanding dengan hijab. Kita bisa menyebut berbagai produk Barat hadir melalui kosmetik (make-up) dan menjadi budaya dalam gaya berhijab Islam masa kini.

Kehadiran kosmetik (make-up) merupakan salah satu penghasil uang dan pemburuan pemenuhan nafsu seksual yang lahir di kalangan kapitalis barat. Kosmetik (make-up) menjadi senjata yang mereka gunakan untuk memanipulasi masyarakat Islam menjadi konsumen dari produk kecantikan yang mereka lahirkan (Murtadha Muthahhari, hlm. 33).

Menjadi cantik memang lekat terhadap perempuan berhijab dan berkosmetik. Kecantikan diperoleh hanya sebatas pujian, lirikan mata serta godaan yang hadir dari setiap mata melihat. Makna berhijab tak lagi menjadi penuh kesakralan antara hati hamba terhadap Tuhan.

Bagikan
Editor Damarku.id & Pengacara LBH MHH Aisyi'yah Jawa Tengah. Alumni Akademi Mubadalah 2025.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here