Ilustrasi dari binus.ac.id

Digitalisasi di zaman sekarang, telah merambah ke semua usia, mulai dari kecil hingga lansia. Perkembangan teknologi AI yang membludak bagaikan tsunami di tengah peradaban dunia. Terlebih dengan adanya telepon atau sekarang disebut dengan smartphone sebagai sumber munculnya era baru, sehingga kata digitalisasi sendiri telah menjadi istilah yang sangat universal saat ini.

Ditambah dengan adanya kehadiran yang tak diundang, namun menjadi pemicu perubahan dunia secara besar tidak lain adalah Covid-19. Wabah ini bagaikan kunci pembuka gerbang menuju dunia baru yang mengubah cara pandang manusia dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dibidang pendidikan. Pendidikan sebelum dan setelah Covid-19 terdapat perubahan yang signifikan tak terkecuali di kalangan mahasiswa.

Perubahan yang membawa kita menuju era digitalisasi yang kental, bahkan pendidikan sekarang lebih ditekankan dalam memanfaatkan kemajuan smartphone dan internet yang semakin digempar-gemparkan. Memang tak bisa dipungkiri dengan adanya digitalisasi, apalagi saat ini telah memberikan banyak keuntungan, salah satu yang utama adalah akses informasi yang lebih cepat dan mudah.

Perubahan Nyata

Dengan munculnya sebuah alat baru yang bernama Artificial Intelligence (AI). Kehadiran yang dianggap sebagai kecerdasan buatan ini kian merasuk ke dalam berbagai aspek kehidupan kita tak terkecuali pendidikan. Bahkan terdapat pernyataan dari Mendisdasmen bahwa peran alternatif AI adalah untuk menambah kecerdasan manusia dan membantu manusia dalam melakukan kegiatan pembelajaran yang efektif dan efisien. Dari pernyataan ini dapat artikan bahwa AI adalah sebuah inovasi baru yang digunakan untuk meningkatkan kualitas dalam dunia pendidikan.

Baca juga: Djokolelono, Fiksi Sains, dan Sastra Anak

Namun, realita berkata lain. AI yang awalnya diciptakan untuk mencerdaskan manusia justru melemahkan manusia. Karena seharusnya proses belajar adalah tentang perjalanan intelektual yang mendalam, namun berubah menjadi sekadar mengklik tombol dan menerima jawaban instan.

Bahkan di kalangan mahasiswa yang dulunya buku dijadikan sebagai literatur utama, namun sekarang beralih ke AI, sekelas search engine pun kalah sekarang. Lalu, apakah jendela pengetahuan kita saat ini telah beralih yang awalnya buku berakhir ke AI?

Perkembangan inilah yang mengakibatkan menurunnya nalar kritis seorang mahasiswa. Parahnya mereka sampai benar-benar terlalu mengandalkan informasi mentah dari AI tanpa menelaah atau mengkritis informasi tersebut. Melihat hal itu terutama di lingkungan ruang kelas, di mana mahasiswa jika diberikan sebuah beban tugas oleh dosen pasti selalu diselesaikan dengan AI tanpa dukungan literatur lain seperti buku.

AI yang awalnya diciptakan untuk mencerdaskan manusia justru melemahkan manusia. Karena seharusnya proses belajar adalah tentang perjalanan intelektual yang mendalam, namun berubah menjadi sekadar mengklik tombol dan menerima jawaban instan

Presentasi di kelas pun tak luput dengan AI bahkan lebih parah sekitar 90% mengandalkannya mulai dari pencarian, pembuatan, dan penyusunan materi presentasi. Paling boomnya saat presentasi pun bagian sesi tanya jawab yang biasanya dijadikan panggung diskusi kritis antar mahasiswa, tetapi sekarang malah berubah menjadi pertunjukan AI dalam mengelola algoritma perintah yang diberikan antar audiens dengan presentator.

Bukankah hal ini sangat lucu untuk dilihat, bagaimana tidak jika mahasiswa yang dulunya memproses pertanyaan dan jawaban menggunakan otak dengan analisis mendalam, namun sekarang malah pertanyaan dan jawaban tersebut dibebankan ke sebuah alat yang bahkan hasilnya template.

Pengaruh Mesin

Akhirnya presentasi pun bukan mahasiswa antara mahasiswa tetapi AI dengan AI. Dari hal tersebut apakah pernyataan menambah kecerdasan manusia masih bisa tervalidasi? bukankah hal ini malah seperti bumerang bagi mahasiswa untuk menjadi tumpul dan malas?

Melansir dari Tempo.co, pernyataan dari Jeff Hinton atau dikenal sebagai “Godfather of AI” menganggap bahwa AI mengadopsi sebuah sistem bernama ’garbage in, garbage out’ atau “sampah masuk, yang keluar sampah juga”, berarti kalau data yang masuk itu kualitas rendah atau data itu hanya diputer-puter di situ aja maka yang keluar pun pasti tidak akan bagus.

Hal ini menunjukan bahwa informasi dari AI itu belum tentu berkualitas bahkan bisa saja jawaban tersebut hanya bualan dari sebuah algoritma. Akibatnya, kemampuan critical thinking dan problem solving mahasiswa menjadi tumpul seperti pernyataan dari seseorang bernama Sawitri dalam acara Peluncuran Laporan Eksklusif terbaru Decoding Global Talent 2024: GenAI Edition di kantor JobStreet Jakarta, yaitu “Dan ide semuanya pakai AI, lama-lama ide kita tumpul. Kita enggak tahu mana yang bagus, mana yang enggak, pokoknya semua dari AI bagus. Nah itu yang sangat disayangkan”.

Sebenarnya permasalahan ini bisa timbul juga dikarenakan beberapa indikator pemicu yang ada. Selain faktor perkembangan zaman yang memberikan kemudahan akses informasi yang didapatkan juga ada indikator lain, yaitu kebisuan dari dosen pengampu. Banyak dosen yang hanya diam saat mahasiswa melakukan hal ini.

Sebenarnya mereka pasti tau bahwa mahasiswanya mengerjakan tugas, presentasi, bahkan penelitian menggunakan AI yang bahkan isi dari apa yang dikerjakan belum tentu mereka tahu. Namun, hal ini hanya dianggap sebagai cultural biasa yang bahkan kata biasa ini sangat berdampak pada kemampuan intelektual dan karakter mahasiswa sendiri.

Kebudayaan AI yang muncul di dunia pendidikan adalah sebuah pertanda bahwa zaman telah berubah, yang awalnya sesuatu itu perlu adanya perjuangan namun sekarang bisa secara praktis diterima. Awalnya jendela pengetahuan adalah sebuah buku, tetapi sekarang sudah dilengserkan dengan AI sebagai juara satu.

Baca juga: Panggilan Buku dan Daya Magis Membaca

Sehingga perlu adanya tindakan perubahan untuk memperbaiki kebudayaan AI yang kedepannya dapat mengancam generasi emas. Jangan menormalisasikan kebiasaan ini terus-menerus bahkan berkelanjutan. Karena jika diteruskan generasi emas yang diimpikan bisa pupus bagaikan debu, terutama pada mahasiswa yang notabetnya generasi siap lepas landas ke dunia nyata.

Pemahaman dan pembentukan pola pikir mahasiswa sangat diperlukan terlebih era digitalisasi saat ini. Peran dosen diperlukan dalam aksi tersebut, buatlah mahasiswa itu untuk lebih memperbanyak literatur lain yang pasti. Kurasi dan seleksi sangat disarankan dalam meninjau tugas yang diperikan. Interaksi yang aktif dan diskusi dibiasakan dalam ruang pembelajaran.

Terakhir budaya non HP di perlukan serta dibiasakan dalam ruang kelas demi membentuk lingkungan yang produktif. Selama mahasiswa berhasil menerapkan upaya tersebut besar kemungkinan pula peningkatan, pengasahan pola pikir kritis mahasiswa.

Serta besar kemungkinan pula pengurangan ketergantungan mereka dalam penggunaan AI yang tidak efektif. karena jika hal ini terus dibiarkan tanpa ada langkah penanggulangan lebih lanjut dijamin akan berdampak pada eksistensi makna generasi emas yang berubah menjadi generasi cemas. Sungguh miris!

Bagikan
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Raden Mas Said Surakarta. Alamat rumah Slogo, Tanon, Sragen. Media sosial Instagram @afinmaul.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here