Gaji Hakim dan Amanah Keadilan Ekologis
Ilustrasi dari Kompas.id

Pemerintah telah resmi menaikkan gaji hakim secara signifikan melalui Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2024. Peraturan tersebut berasal dari revisi PP No 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim di Bawah Mahkamah Agung. Sebagai contoh gaji pokok hakim golongan III yang sebelumnya berada di kisaran Rp 2,7 juta kini meningkat jadi Rp 7,7 sampai 12 juta.

Besaran gaji hakim tersebut ditentukan dengan melihat pangkat jabatan dan masa kerja. Perlu diingat bahwa kenaikan gaji hakim tentu saja belum dapat dipastikan sepadan dengan kinerja hakim. Bahkan, tidak bisa menjamin adanya penyimpangan praktik korupsi karena sebelumnya sudah pernah terjadi, berulang-ulang kali. 

Presiden RI Prabowo Subianto menegaskan bahwa kenaikan gaji hakim tersebut merupa upaya meningkatkan kesejahteraan para hakim. Ketua DPP Partai Gerindra, Heri Gunawan, mengatakan bahwa hal ini sebagai bukti dukungan Presiden Prabowo terhadap peradilan yang independen.

Berbeda dengan pendapat dari peneliti Centra Initiative, Erwin Natosmal Oemar, yang mengatakan bahwa kenaikan gaji hakim tersebut bukan karena kesejahteraan, tetapi diharapkan menjadi jaminan agar hakim tidak korupsi. Namun, kenaikan gaji ini terjadi di tengah ketidakpercayaan publik terhadap integritas peradilan, krisis ekonomi, dan rendahnya kinerja pengawasan etik terhadap kinerja hakim. Sehingga kebijakan ini menyebabkan adanya ketimpangan yang tak logis.

Baca juga: Jejak Budaya dan Nurani Manusia

Kinerja lembaga peradilan pun belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan signifikan bahkan masih terdapat kasus penyimpangan seperti korupsi. Dilansir dari kompas.com dalam kasus sebelumnya yaitu pada tahun 2011-2023 terdapat 26 hakim terlibat kasus korupsi. Misalkan saja, kasus yang paling mencolok yaitu PN Jakarta Barat Dede Suryaman dengan nominal Rp 300 juta.

Ditambah dengan kasus korupsi sepanjang 2024 hingga April 2025, Komisi Yudisial mencatat sedikitnya tujuh hakim terjerat kasus suap. Seperti dalam kasus korupsi minyak kelapa mentah dengan kisaran besar jumlah korupsi sebesar Rp 22,5 miliar. Sebanyak tujuh hakim yang melibatkan ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuyanta beserta jajarannya.

Kinerja hakim dalam penegakan hukum kurang maksimal. Dalam kasus buron besar seperti Harun Masiku yang tidak kunjung mendapatkan ketegasan hukum sehingga masih dibebaskan sejak 2020. Putusan ringan terhadap korupsi besar seperti Harvey Moeis hanya mendapatkan hukuman 6,5 tahun penjara dengan sejumlah denda.

Hal riil tersebut menjadi bukti lemahnya—untuk tidak menyebutnya “tumpul”—penegakan hukum di tangan aparat peradilan. Ironisnya, di saat yang sama, rakyat kecil yang mencuri ayam demi mencukupi perut yang lapar dihukum lebih berat daripada merampok uang negara. Dengan realitas jungkir balik seperti ini, wajar saja publik mempertanyakan kenaikan gaji ini sebanding tidak dengan perbaikan kualitas peradilan yang abnormal.

Data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2024 menunjukkan skor 37, menempatkan Indonesia di posisi ke-99 dari 180 negara di seantero dunia. Skor tersebut mencerminkan tingginya persepsi publik terhadap praktik korupsi di sektor publik, termasuk peradilan. Narasi bahwa kenaikan gaji dapat mencegah korupsi juga dinilai keliru oleh berbagai pihak.

Baca juga: Memiskinkan Koruptor?

Menurut Dr. Herman, dari Universitas Negeri Makassar (UNM), gaji besar tanpa pengawasan etik hanya akan memperbesar peluang penyimpangan kekuasaan. Presentase melakukan tindak tercela semakin lebar menganga. Anggota Komisi Yudisial, Mukti Fajar Dewanta, memperkuat pendapat tersebut dengan menegaskan bahwa kesejahteraan hakim harus disertai penguatan sistem pengawasan dan komitmen moral yang jangan hanya omong-kosong.

Kritik terhadap kebijakan ini pun mencuat dalam berbagai forum diskusi dan kanal media sosial. Salah satunya dalam forum akademik yang diselenggarakan PUKAT UGM. Dalam forum diskusi tersebut, para pembicara menyoroti urgensi reformasi struktural dalam lembaga peradilan.

Di bentuk-bentuk yang lain, seperti keberanian warga, aktivis, maupun akademisi untuk menyuarakan ketidaksetujuan terhadap kenaikan gaji hakim mencandrakan tumbuhnya kesadaran kolektif, yang meskipun tak menyeluruh, untuk mempertanyakan otoritas kebijakan negara. Dalam konteks ini, keberanian mengkritik justru mencerminkan kecintaan, atau setidak-tidaknya kepedulian, terhadap keadilan dan masa depan demokrasi.

Maka, dapat dipahami kenaikan gaji hakim bukanlah solusi utama dan satu-satunya dalam memberantas korupsi dalam lingkaran putusan peradilan. Kebijakan ini justru dikhawatirkan menjadi ilusi keadilan jika tidak disertai penguatan sistem, transparansi kinerja, dan reformasi menyeluruh di tubuh lembaga yudikatif. Harapan publik bukan hanya tentang angka dalam slip gaji, pastinya. Tapi tentang hadirnya keadilan substantif yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat, tanpa pandang bulu.

Bagikan
Mahasiswa Psikologi Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here