Masyarakat Adat
Ilustrasi dari hukumonline.com

Indonesia adalah bangsa multikultural, terbukti dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, pengakuan terhadap masyarakat adat justru menjadi pengecualian, dan bukan termasuk perhatian penuh kasih dari pemerintah. Pihak pemangku kebijakan malah menjalankan siasat sehingga masyarakat adat, yang sudah lama menghuni tempat-tempat di penjuru Indonesia, termarjinalkan.

Di dalam konstitusi Indonesia, adat sesungguhnya merupakan suatu faktor yang penting dan diatur dalam undang-undang. UU No. 6 Tahun 2014 Pasal 96 berbunyi “Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa Adat.” Pasal ini mengartikan pemerintah mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. 

Namun, pada kenyataannya, penataan kesatuan masyarakat hukum adat dipakai hanya memadukan aspek ekonomi saja. Proses ini tak memperhatikan aspek lingkungan hidup dan sosial-kultural yang mengakibatkan ketimpangan alam; hutan-hutan adat dihabisi, rawa ditimbun, pabrik-pabrik memuntahkan limbahnya dengan sembarangan, lahan-lahan adat diambil paksa dengan mesin-mesin diesel yang menghadang. 

Dengan kondisi yang miris ini, para penguasa dan pebisnis kelas kakap telah menjarah apa-apa yang ada di bumi Indonesia tanpa menyertakan pertimbangan ekologis yang matang. Sampai di sini, bukan hanya masyarakat lokal yang kena dampak, melainkan juga alam lingkungan yang ada di sekitar mereka, yang sudah lama mereka jadikan tempat hidup dan hidupi. Beberapa kasus yang menimpat masyarakat adat di Indonesia menjadi cermin nyata dari problematika yang pelik ini. 

Baca juga: Kondisi Iklim, Keberlanjutan Ekologi dan Kritik (lewat) Musik

Selanjutnya, ketika terjadi perubahan bentang alam yang mengakibatkan bencana, barulah muncul kepedulian-kepedulian kolektif manusia lainnya, inspektor-inspektor berhamburan mendatangi makam manusia yang terkubur oleh alam yang murka. 

Lalu, muncul pertanyaan. Bagaimana sebenarnya hukum bisa mempermulus suatu kepentingan kapitalis yang memperkayanya dirinya? Seperti apa hidup dalam keadaan yang tandus sementara matahari terus memberi vitamin kepada alam yang hijau. Namun, ketamakan atas diri melebihi kemanusiaan itu sendiri. Makam manusia tak terelakan lagi, ketika sifat dzalim dan culas di luar dari kemanusiannya

Di beberapa kawasan hijau di Indonesia, pohon-pohon palem lekas berubah menjadi beton. Apakah hukum dengan begitu mudahnya dipermainkan? Semacam ada dorongan kuat bagi mereka untuk mengusai dunia. Apakah mereka lupa dengan sang pencipta alam yang meyuburkan tanah, menurunkan hujan dengan cukup, lalu memberi mereka rezeki dari tanaman-tanaman yang lebat dan meneduhkan. Seakan-akan manusialah pemilik tunggal planet bumi ini? 

Kemudian, bayangkan saja jutaan ruh–yang telah menjadi korban sifat serakah manusia sebelumnya–mengadu pada Tuhan atas kedzaliman yang dilakukan oleh makhluknya kepada sesama. Hakim–yang konon menjadi tangan kanan Tuhan–memukulkan palunya setelah menggembol uang penuh di sakunya, pabrik-pabrik tertawa, rakyat-rakyat menangis. Sampai sini, hukum tak pelak menjadi produk kepentingan kapitalis.

Prinsip equality before the law pensiun, hanya jadi angan-angan indah belaka. Kita tidak perlu bersusah payah menuntut kesetaraan dan mempelajari keadilan yang ada di sana. Kita hanya perlu mencuci tangan, lalu masuk ke brankas dan tidur dengan senyenyak mungkin.

Kerangka Kerja

Di dalam UUD 1945 pasal 28A berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Dalam mengatasi hal ini dibutuhkan peran aparat penegak hukum yang jujur, adil dan tegas. Demikian juga masyarakat yang harus bersama-bersama menjunjung hukum dan kemanusiaan. Pasalnya, menurut Savigny “Hukum bukanlah hanya sekedar ungkapan yang terdiri dari sekumpulan peraturan”. Artinya, ada suatu ikatan antara hukum dengan kondisi sosial masyarakat setempat.

Berbicara penegakkan hukum nasional, sejatinya hal tersebut menjadi acuan bagaimana keseriusan pemerintah membenahi wajah peradilan yang sudah sangat kusam. Benar-benar tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Pada akhirnya, menajamkan mata pisau di semua sisi menjadi tantangan yang harus dihadapi bangsa Indonesia.

Baca juga: Ajakan Peduli Krisis Iklim

Sebagai penutup, penulis ingin mengatakan bahwa potret pemulihan penegakkan hukum nasional harus memiliki kerangka kerja (framework) yang disusun sistematis dan padu. Dalam upaya tersebut, diharapkan asas-asas hukum tak hanya menjadi retorika semata, melainkan dapat dilakukan sebagai wujud nyata sinergitas berbagai pihak baik akademisi, praktisi hukum serta pemerintah yang pada akhirnya mencipta sistem pemulihan yang adil lagi bijaksana. 

Penegakkan hukum harus menyentuh secara holistik, konsisten dan kohesif sebagai implementasi prinsip mulia equality before the law

Bagikan
Lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan. Seorang Mahasiswa Hukum di Kota Palembang yang sedang tertarik mempelajari hukum, lingkungan, adat dan budaya.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here