Foto Pribadi

Malam itu, Masjid Pondok Pesantren Darussalam Kartasura tampak berbeda. Serambi Masjid yang biasanya dipenuhi lalu-lalang santri, kini menjadi ruang perjumpaan ide tentang bumi, agama, dan masa depan. Di serambi ini menjadi saksi keseharian pondok, para santri, fasilitator, dan komunitas literasi duduk melingkar, seolah menegaskan bahwa percakapan tentang lingkungan adalah percakapan bersama lintas umur, lintas disiplin, dan lintas pengalaman.

Di tengah perubahan iklim yang kian terasa, kegiatan bertema “Integrasi Ekoteologi dan Moderasi Beragama dalam Gerakan Lingkungan oleh Organisasi Sosial-Keagamaan” digelar pada 10 November 2025. Bukan sekadar agenda akademik, kegiatan ini adalah sebuah ajakan untuk kembali menengok relasi manusia dengan alam melalui kearifan agama.

Sambutan pembuka yang disampaikan Muhammad Zaenuri, M.Pd., menjadi pemantik kesadaran kolektif. Dengan suara tenang namun tegas, ia mengajak seluruh peserta melihat lingkungan bukan sebagai objek yang tunduk pada manusia, melainkan sebagai partner kehidupan yang harus dijaga.

“Perubahan iklim adalah bukti bahwa lingkungan tidak lagi baik-baik saja,” ujarnya sambil memandang para santri satu per satu. Di hadapan mereka, ia menegaskan peran sebagai khalifah bukanlah mandat untuk menguasai, melainkan untuk merawat dan menumbuhkan kehidupan.

Baca juga: Memahami Tafsir Ekologis

Zaenuri juga mengingatkan tentang tasawuf dimensi spiritual yang menghaluskan rasa manusia. Dalam pandangannya, tasawuf bukan hanya perjalanan batin, tetapi juga cara manusia memperlakukan dunia dengan penuh hormat.

“Etika ekologis tidak lahir dari rumus, tetapi dari kesadaran bahwa alam adalah amanah,” tambahnya. Di ruang pesantren yang kental nilai religius, gagasan itu menemukan tempatnya. Alam bukan sekadar latar, ia adalah teks yang terus dibaca ulang.

Membaca Krisis Lingkungan dari Kacamata Keimanan

Materi inti yang disampaikan oleh Islakhul Muttaqin membuka ruang perenungan baru: bagaimana agama memandang krisis ekologis. Di depan para santri, ia membedah berbagai masalah lingkungan, seperti eksploitasi sumber daya, alih fungsi lahan, kerusakan hutan dan menunjukkan bahwa akar dari semua itu seringkali adalah pola pikir modern yang memisahkan manusia dari alam.

Islakhul mengajak peserta kembali pada nilai-nilai dasar agama: harmoni, keseimbangan, dan tanggung jawab. “Ekoteologi tidak lagi bisa dipandang sebagai wacana,” katanya. “Ia adalah kebutuhan zaman. Kita melihat demonstrasi masyarakat akibat kerusakan lingkungan hampir setiap hari. Ini panggilan moral dan spiritual.”

Baginya, merawat bumi adalah ibadah. Moderasi beragama, yang selama ini sering dipahami sebagai sikap toleran dan seimbang dalam berhubungan sosial, kini diberi makna baru—keseimbangan manusia dengan lingkungan.

Ruang Diskusi: Saat Gagasan Santri Mengalir

Usai penyampaian materi, suasana berubah menjadi lebih cair. Para santri dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil bersama fasilitator. Di sinilah percakapan yang lebih intim terjadi.

Beberapa santri mengangkat masalah sampah yang menumpuk di sekitar pondok. Ada yang bercerita tentang hilangnya ruang hijau di kampung halaman mereka. Ada pula yang menyinggung betapa sulitnya menjaga gaya hidup ramah lingkungan di tengah budaya konsumtif yang kian marak.

Fasilitator kemudian menantang mereka untuk mengaitkan masalah itu dengan perspektif ekoteologi. Bagaimana agama memandang sampah? Apa arti moderasi beragama bagi mereka yang bergantung pada air bersih yang semakin sulit?

Di meja-meja kecil itu, muncul gagasan-gagasan yang jujur dan penuh semangat. Mereka bukan hanya mengeluh, tetapi mulai merumuskan solusi. Sebagai tindak lanjut, para peserta diminta menulis esai selama satu minggu, sebuah latihan literasi yang mengajak mereka menyuarakan keresahan sekaligus harapan melalui tulisan.

Baca juga: Kondisi Iklim, Keberlanjutan Ekologi dan Kritik (lewat) Musik

Kegiatan ditutup dengan sesi foto bersama. Namun lebih dari sekadar dokumentasi, momen itu adalah simbol dari tekad kolektif: bahwa suara santri bisa menjadi bagian dari solusi ekologis.

Pesantren selama ini dikenal sebagai pusat pendidikan moral dan spiritual. Kini, melalui kegiatan ini, peran itu diperluas: pesantren menjadi pusat gerakan ekologi yang memiliki basis nilai keagamaan. Di tangan para santri, ajaran agama tidak berhenti pada kitab yang mereka pelajari, tetapi hidup dalam tindakan menjaga bumi.

Integrasi ekoteologi, moderasi beragama, dan budaya literasi, tiga pilar yang bertemu. Kegiatan ini menghadirkan optimisme baru. Sebuah keyakinan bahwa generasi pesantren mampu menjadi agen perubahan yang menempatkan keberlanjutan sebagai bagian dari ibadah dan kemanusiaan.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here