KH Salman Dahlawi adalah sosok yang menyebarkan agama melalui ajaran tasawuf. Sebab, keberhasilan penyebaran agama Islam di Indonesia pun tak lepas dari perkembangan ilmu tasawuf. Penyebaran dakwah melalui ilmu tasawuf tampak diterima secara signifikan dalam kultur-budaya masyarakat Jawa, terutama dalam ruang lingkup pesantren.

Ilmu tasawuf sendiri merupakan ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun lahir dan batin, serta untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi.

Pada praktiknya, untuk memahami konsep dalam ilmu tersebut diperlukan “tarekat” atau secara harfiah dapat disebut “jalan.” 

Di Indonesia, sejak abad ke-13, perkembangan ilmu tasawuf mengalami fase kejayaan. Alkulturasi dakwah dengan metode spiritualitas tarekat ini kemudian dapat menyatu dengan budaya lokal. Harmonisasi ilmu tasawuf dan budaya lokal yang menerima konsep-konsep ajaran ilmu tarekat mulai berkembang dan banyak diajarkan para ulama (Martin van Bruinessen: 1994).

Salah satunya di Jawa Tengah, tepatnya di pondok pesantren Al-Manshur Popongan yang menjadi pusat tarekat Naqsabandiyah Khalidiyyah. KH Salman Dahlawi (1936-2013) atau yang sering disebut Mbah Salman dahulu merupakan salah satu mursyid tarekat sekaligus pengasuh pondok yang senantiasa mencerminkan karismatik dan bersahaja. 

Mbah Salman Dahlawi

Mbah Salman merupakan putra dari KH Muhammad Muqri dan Hj. Masfuah, ia cucu dari KH Muhammad Manshur, putra Syekh Muhammad Hadi dari Girikusumo, Mranggen, Demak.

Sejak menjadi pengasuh di pesantren Popongan Klaten, dan dibaiat sebagai mursyid tarekat oleh kakeknya (Mbah Manshur), Mbah Salman Dahlawi menjalankan metode dakwah pendidikan di pesantren secara humanis dan inklusif. Cerita-cerita humanisme Mbah Salman ketika mengajarkan dakwah dapat kita ketahui melalui cerita para santri yang masih berkembang di lingkungan pesantren sampai sekarang.

Konon, Mbah Salman dapat mengetahui dengan sendirinya santri-santri yang sedang merasa kesusahan, kemudian para santri yang mengalami kesusahan langsung dibantu oleh Mbah Salman.

Tidak hanya itu, Mbah Salman juga senantiasa memberikan uang jajan kepada para santrinya yang berziarah di makam di dekat pesantren ketika selesai salat idul fitri (wawancara, Rohmad).   

KH Salman Dahlawi
Terdapat foto KH .Salman Dahlawi di Ponpes Nurussalman, Mutihan, Laweyan Surakarta (dok. Taufik Kustiawan)

Kedekatan guru dan murid inilah yang diajarkan Mbah Salman bahwa tanggungjawab mengajarkan ilmu etika, akhlak, fikih kepada para santrinya begitu penting.  Mengajarkan mengaji Al-Quran dan kitab-kitab kepada santrinya telah menjadi rutinitas Mbah Salman sebagai pengasuh di pondok pesantren Al-Manshur Popongan. Tetapi ia juga mengajari santri untuk mandiri dengan bercocok tani.

Di kampung Popongan, Klaten memang menjadi salah satu desa lumbung tani di Jawa Tengah. Dengan hasil tani tersebut, Mbah Salman dan para santrinya dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Pengalaman bertani ini pernah disampaikan santrinya Mbah Salman, bernama kiai Muhammad Rosyid Ridwan. Kiai Rosyid kini dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Nurussalman, Mutihan, Laweyan Surakarta. 

Kiai Rosyid mengatakan bahwa dahulu Mbah Salman sangat berjasa terhadap dirinya. Ia mengatakan bahwa Mbah Salman telah membelikan tanah di Mutihan dan diberikan kepada Kiai Rosyid untuk menyebarkan dan mengajarkan syiar agama Islam di sana.

Daerah Mutihan ini dipilih lantaran masyarakat setempat masuk kategori masyarakat yang awam ilmu agama. Tidak hanya banyak pemabuk dan penjudi, tetapi masyarakat setempat kebanyakan belum bisa mengaji dan menjalankan rutinitas salat wajib (wawancara, Kiai Muhammad Rosyid Ridwan).

Baca juga: Simbol Budaya Pesarean Ki Ageng Sepuh

Langkah-langkah dakwah demikian yang diajarkan dan dilaksanakan oleh Mbah Salman. Masih banyak cerita-cerita seputar metode dakwah progresif dalam memadukan alkulturasi dakwah yang diajarkan Mbah Salman di pesantren Popongan, Klaten.

KH Salman Dahlawi
Makam KH. Salman Dahlawi & KH. Muhammad Manshur, Popongan, Klaten.

Dakwah Tarekat

Jejak tarekat Naqsabandiyah di Indonesia dalam silsilahnya bermula dari sahabat Abu Bakar al-Shiddiq sampai Syaikh Bahauddin al-Naqsyabandy (Jawa Timur). Dakwah tarekat kian menyebar hingga di Jawa Tengah.

Di Ponpes Al-Manshur, Popongan inilah yang menjadi pusat tarekat Naqsabandiyah Kholidiyyah. Setelah generasi Mbah Salman, turun kepada putranya yang bernama KH. Multazam al-Makki (Gus Multazam) yang kini menjadi mursyid tarekat. Mursyid tarekat merupakan orang yang menunjukkan jalan yang benar (guru spiritual).

Baca juga: Sastra Jendra, Sedulur Papat dan Insan Peneka

Pada umumnya, dakwah tarekat merupakan metode belajar membersihkan hati dari sifat-sifat yang rendah, dan menghiasi sifat-sifat yang terpuji (keterangan kitab Al-Ma’aarif al-Muhammadiyah). Dalam tarekat mu’tabarah, para santri tarekat biasanya diberikan amalan-amalan spiritualnya untuk senantiasa dzikir dan wirid. Sehingga para santri tarekat yang sudah dibaiat, wajib mengamalkan dzikir dan wirid untuk memenuhi janji (KH. A. Aziz Masyhuri: 2006).

Keutamaan tarekat Naqsabandiyah Khalidiyyah ialah berdzikir untuk senantiasa mengingat Allah supaya menciptakan suasana hati yang bersih dan dihindarkan dari bisikan setan dan godaan dunia.

Keutamaan tarekat Naqsabandiyah Khalidiyyah ialah berdzikir hati untuk senantiasa mengingat Allah supaya menciptakan suasana hati yang bersih dan dihindarkan dari bisikan setan dan godaan dunia.

Menurut Gus Multazam, orang yang ingin belajar atau mendalami tarekat adalah orang yang sudah tidak menginginkan jabatan di dunia.

Orang yang masih menginginkan jabatan dunia, sulit untuk dapat menjadi santri tarekat. Jika seseorang yang sudah memiliki jabatan, misal PNS dan ingin menjadi santri tarekat, niscaya ia memiliki sikap berhati-hati dalam bertindak. Orang tersebut seperti lebih mengutamakan sikap kejujuran karena senantiasa mengingat Allah dalam setiap bekerja (wawancara Gus Multazam).     

Proses dzikir atau wirid tidak hanya dilakukan sendiri oleh santri tarekat. Terdapat waktu tertentu santri tarekat berkumpul untuk membaca dzikir atau wirid bersama. Peristiwa tersebut dilaksanakan pada bulan ramadhan di Ponpes Al-Manshur Popongan.

Dzikir atau wirid bersama juga dapat disebut “suluk.” Suluk dapat diartikan jalan ke arah kesempurnaan batin dalam mendalami ilmu tasawuf. Dalam pagelaran suluk ini bersifat rahasia dan tidak diketahui oleh seseorang yang tidak mengikuti santri tarekat.

Perkembangan ilmu tasawuf melalui metode ilmu tarekat Naqsabandiyah Khalidiyyah inilah yang sampai sekarang diteruskan oleh Gus Multazam.

Kehadiran dakwah tarekat semata-mata hanya bertujuan mengharap ridha dari Allah sang Maha Pencipta. Kehadiran perkembangan ilmu tasawuf membawa alkulturasi dakwah dapat menyebar ke seluruh tataran Jawa.

Perkembangan ini terjadi dalam relasi kuasa di Pesantren yang masih mempertahankan eksistensi dakwah kultural untuk kemaslahatan umat di masyarakat.      

Bagikan
Editor Damarku.id & Pengacara LBH MHH Aisyi'yah Jawa Tengah. Alumni Akademi Mubadalah 2025.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here