
Surah Quraisy merupakan salah satu dari sekian banyak surat Makiyah yang tersebar di bagian akhir dari Al-Qur’an. Surat tersebut berisi ayat yang relatif sedikit.
Ada banyak faktor mengapa surat Makiyah itu berisi ayat-ayat yang lebih sedikit dan redaksi yang lebih singkat, jika dibandingkan dengan ayat Madaniyah. Sebagaimana penjelasan para mufassir. Secara budaya, masyarakat Mekah masa itu terkenal dengan tradisi syairnya, bahkan ada beberapa kompetisi guna mencari penyair paling unggul. Ada pula yang berasumsi bahwa masyarakat Mekah adalah orang-orang mutaqaddimin dalam menerima Islam, maka tidak diberi ayat-ayat panjang agar mudah diterima-dipahami.
Secara substansial, surat Quraisy sendiri berisi anugerah yang diberikan Allah SWT kepada suku Quraisy sebagai qabilah yang masyhur di jazirah Arab, salah satunya dengan amanah merawat Ka’bah.
Di luar pemahaman general tersebut, ternyata surat—yang hanya memuat empat ayat—itu menyimpan pesan moral amat fundamental.
Melalui tulisan ini, saya akan sedikit mengulas perihal fenomena tersebut: tentang bagaimana prinsip-prinsip menuju sukses ala tafsir Quraisy dalam berbagai bidang muncul dari makna yang tersampaikan secara implisit dalam surat Quraisy.
لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍۙ اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هٰذَا الْبَيْتِۙ الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ ࣖ
Artinya: [1] Disebabkan oleh kebiasaan orang-orang Quraisy, [2] (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas (sehingga mendapatkan banyak keuntungan, [3] maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah (Ka’bah) ini, [4] yang telah memberi mereka makanan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.
Keempat ayat di atas menghimpun kiat-kiat dalam mewujudkan kesuksesan seseorang. Berikut adalah penjelasan atas prinsip-prinsip sukses ala tafsir Quraisy:
Pertama, adalah tercermin pada kalimat لِاِيْلٰفِ pada ayat 1 yang bermakna kebiasaan. Syeikh Wahbah Zuhaili dalam tafsir “Tafsir Al-Munir” menyebut kata tersebut merupa masdar dari kata allafa, dan dalam bahasa Indonesia bisa dimaknai ‘menekuni sesuatu’. Makna serupa juga dikemukakan mufassir lain seperti Sayyid Thanthawi Jauhari dan Quraish Shihab.
Baca juga: KH Salman Dahlawi: Penyebar Dakwah Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyyah di Popongan
Berkaca dari penafsiran tersebut, rumus paling general dalam menuju kesuksesan adalah harus mulai membangun kebiasaan “habit” positif yang berorientasi pencapaian. Selain itu, perlu ketekunan sebagai kunci kesuksesan sebagaimana dicontohkan oleh orang-orang Quraisy yang rajin dalam berdagang. Pasalnya, keberhasilan tentu tak bisa diraih secara instan.
Raihan sukses ala tafsir Quraisy ini juga berkaitan dengan laku hidup sehari-hari, baik dalam pikiran dan perbuatan. Seseorang yang sudah overthinking dan selalu bersikap tercela niscaya menghadapi pelbagai hambatan dalam menuju sukses. Dengan ini, Margaret Thatcher pun mengatakan bahwa kita harus memperhatikan apa yang kita pikirkan. Sebab, semua ucapan, tindakan, dan kebiasaan bisa menjadi karakter yang melekat pada diri.
Kedua, yakni terdapat pada kata قُرَيْشٍۙ. Kata ini masih termaktub dalam ayat pertama. Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa suku Quraisy merupa suku yang kondang di daratan Arab dan memiliki beberapa keistimewaan.
Keistimewaan itu tersurat dalam salah satu hadits Nabi saw riwayat Imam al-Bukhari yang menyebutkan tujuh keistimewaan suku Quraisy, yakni Nabi saw berasal dari kabilah tersebut, begitu juga para khalifah, para penjaga pintu Ka’bah, (al-Hijabah), dan para pemberi minum jama’ah haji (as-Siyaqah), diselamatkan dari pasukan gajah, menyembah Allah selama tujuh tahun ketika qabilah lain menentang-Nya, dan diturunkannya satu surat dalam al-Qur’an yang tidak ada satupun qabilah yang disebut namanya selain mereka.
Ketujuh keistimewaan tersebut mencerminkan citra nan elok dari suku Quraisy. Memiliki harapan sukses tentu mesti membangun citra baik, salah satunya dengan membiasakan diri dengan hal-hal baik, seperti laku suku Quraisy. Dengan ini, kita akan dipandang orang dengan tatapan baik. Orang lain pun akan percaya kepada kita.
Baca juga: Akulturasi Islam-Jawa: Sedekah Bumi, Seni, dan Kirab Budaya
Ketiga, yakni tentang mobilitas yang dinyatakan dengan kata rihlah (رِحْلَةَ). Al-Maraghi mengartikan kata tersebut dengan bepergian, dan rute pelancongan orang Quraisy tidak hanya berkutat pada wilayah domestik saja, melainkan sampai jauh seperti Yaman dan Syam.
Hal ini yang dapat kita simpulkan bahwa meningkatkan mobilitas adalah salah satu kunci penting demi meraih kesuksesan. Mobilitas ini dapat dipahami sebagai seorang pelajar bahwa jangan pernah dia merasa nyaman jika belum menguasai suatu ilmu.
Secara lebih umum, jangan pernah merasa baik-baik saja jika belum bisa. Seseorang harus selalu penasaran dalam mereguk ilmu dan menjumpai hal-hal baru.
Keempat, kata asy-Syita’ wa ash-Shoif (الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِ) yang menggambarkan bagaimana orang Quraisy sangat memahami situasi dan kondisi. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka bepergian untuk berbisnis ke Yaman ketika musim dingin (الشِّتَاۤءِ) dan ke Syiria pada waktu panas (الصَّيْفِ).
Mufassir kontemporer, Wahbah az-Zuhaili menambahkan latar belakang dari kebiasaan tersebut. Pasalnya, Yaman adalah negeri yang panas dan negeri Syiria memiliki iklim yang dingin. Sehingga, saat musim dingin mereka pergi ke Yaman sementara musim panas ke Syiria. Penerapan dari nilai ini adalah menjadi sukses perlu paham akan situasi, kondisi, dan posisi.
Kelima, orientasi ketuhanan dengan ungkapan (فَلْيَعْبُدُوْا). Semua yang sedang atau akan dilakukan harus berlandaskan ibadah kepada Allah SWT. Sebab, dalam Islam dikenal dua istilah, yakni ikhtiar dan tawakkal. Prinsip ini juga disebutkan dalam ayat lain, yakni akhir surat Al-Baqarah ayat 186 yang berbicara tentang keterkaitannya antara ikhtiar dan doa.
Saya punya analogi sederhana, usaha tanpa doa itu bagaikan bermain layangan tanpa angin, sementara berdo’a tanpa adanya usaha apapun sama dengan embusan angin tapi tidak punya layangan. Maka, keduanya akan selalu berkaitan satu sama lain dan wajib ada.
Oleh karenanya, sebagai penutup, kita perlu bersungguh-sungguh dalam mewujudkan segala impian menjelang sukses. Pun, dalam ayat terakhir dari surat Al-‘Ankabut, disebutkan bahwa janji Allah swt kepada orang yang bersungguh-sungguh adalah akan dimudahkan jalannya.






