
Pada zaman modern di dunia Islam menandai dengan runtuhnya kekhalifahan Islam pada tahun 1924 M. Pada era ini mulai muncul beberapa gerakan reformasi di sejumlah negara-negara Arab. Pergerakan itu memunculkan motif pemicu kebangkitan sastra di era modern.
Misi atau delegasi keilmuan pergerakan ini ialah memotivasi munculnya kebangkitan sastra Arab di masa modern. Efektivitasnya dimulai setelah penyebaran budaya Prancis dan Inggris di sekolah-sekolah, lembaga-lembaga yang didirikan di daerah Syam dan Mesir. Dari situlah melahirkan beberapa pengajar yang sebagian besar diutus ke Prancis untuk menyempurnakan misi dan kompetensinya dalam berbagai ilmu.
Kemudian setelah itu, muncullah beberapa delegasi pada waktu berikutnya. Kegiatan itu mencakup semua negara-negara Amerika dan Eropa. Delegasi yang pertama kali yaitu dilakukan di Prancis pada tahun 1826 M pada masa pemerintahan Muhammad Ali Pasya. Pada waktu itu, dipilihlah sebanyak 24 mahasiswa dari beberapa mahasiswa kampus Al-Azhar, sementara ketuanya ialah Rifa’ah al-Thahthawi.
Secara umum, beliaulah sebagai pioner kebangkitan sastra Arab pada masa modern. Kemudian situasi itu didukung dengan penerjemahan. Bahwasanya penerjemahan kitab-kitab dari bahasa Prancis dan Inggris ke dalam bahasa Arab mempunyai dampak yang sangat besar dalam kebangkitan sastra Arab.
Baca juga: Adab dalam Berdoa
Gerakan penerjemahan telah dimulai di beberapa negara di Syam di bawah kekuasaan sebagian orang-orang yang didelegasikan dalam urusan agama. Mereka telah menerjemahkan sebagian kitab-kitab yang dibutuhkan dalam proses belajar mengajar.
Dalam aktivitas gerakan terjemahan ini, Rifa’ah al-Thahthawi mempunyai andil dan sumbangsih yang berbobot, dia juga memprakarsai pendirian Madrasah al-Alsun pada tahun 1835 M. Selain itu, gagasan revolusioner ialah membuat percetakan atau al-Thiba’ah. Mesin cetak pertama dengan huruf Arab didirikan di Italia pada tahun 1514 M.
Budaya Modern
Sebagian kitab-kitab yang membahas isu agama seperti Safar al-zabur diterbitkan di sana. Kemudian setelah itu Al-Quran dicetak di Venesia. Adapun di negara-negara Arab, percetakan yang didirikan pertama kali yaitu di Halb tahun 1706 M. Setelah itu disusullah percetakan Al-Syuwair di Lebanon pada tahun 1734 M, lalu sebuah percetakan di Beirut pada tahun 1751 M.
Tatkala Napoleon Bonaparte mengadakan kampanye besar-besaran ke negara Mesir pada tahun 1798 M, dia meletakkan dan menghadirkan sebuah percetakan yang dilengkapi dengan fasilitas huruf-huruf Arab dan Latin. Ada juga setelah itu percetakan Amerika yang didirikan di Beirut pada tahun 1834 M. Kemudian setelah itu muncullah percetakan Al-Jawaaib yang diprakarsai oleh Ahmad Faris Syidyaq di Astana tahun 1861 M.
Perlu diketahui, bahwa ketika negara Prancis berada di bawah kepemimpinan Napoleon Bonaparte, negara Prancis tersebut tercatat sebagai salah satu negara yang pernah menjajah dan memporak-porandakan negara Mesir. Perlu diingat antara tahun 1798 sampai 1801 M, Napoleon Bonaparte diketahui melaksanakan serangkaian kampanye ke wilayah-wilayah Kesultanan Utsmaniyah (Turki Utsmani).
Pembaharuan pada jurnalistik atau pers, perlu diutarakan bahwa menghidupkan percetakan dan menyebarkannya mempunyai pengaruh yang pesat dan masif dalam memunculkan aktivitas jurnalistik
Adapun salah satu wilayah yang menjadi incarannya yaitu Mesir. Kampanye militer Prancis ke Mesir masuk ke serangkaian agenda Kampanye Laut Tengah tahun 1798 M. Pada masa kampanye tersebut, Prancis berhasil merebut negara Mesir yang pada saat itu dikuasai oleh Turki Utsmani (Mongolia). Pendudukan dan penjajahan Prancis di wilayah Mesir merupakan suatu usaha dalam rangka mempertahankan kepentingan ekonomi negara.
Gerakan ihya’ al-turots, hal itu terjadi karena pengaruh pertalian dengan dunia Barat, sementara orang-orang Timur juga mengambil ilmu dan kebudayaan dari dunia Barat beserta tokoh-tokohnya. Kejadian tersebut memicu para cendekiawan negara Timur untuk mengkampanyekan terkait gerakan ihya’ al-turots al-‘arabi dan persebarannya.
Perlu diketahui bersama bahwa Ali Mubarok ialah orang yang mendirikan organisasi atau perkumpulan dalam menyebarkan manuskrip-manuskrip Arab klasik dengan ketuanya yaitu Rifa’ah al-Thahthawi. Gerakan ihya’ al-turots ini memberikan manfaat bagi para orientalis terkait kitab-kitab turots Arab yang mereka sebarkan.
Selain itu pembaharuan pada jurnalistik atau pers, perlu diutarakan bahwa menghidupkan percetakan-percetakan dan menyebarkannya mempunyai pengaruh yang pesat dan masif dalam memunculkan aktivitas jurnalistik. Hal ini yang menjadi kesepakatan bersama bahwa al-shihafah al-‘arabiyyah telah muncul di negara Mesir sebelum munculnya al-shihafah yang lain.
Napoleon pernah mendirikan koran Al-Tanbih, sementara itu ketika Muhammad Ali datang ke Mesir, dia mendirikan jurnalistik Arab yang diberi nama dengan Jurnal al-Khudaiwi dengan bahasa Arab dan Turki pada tahun 1822 M. Lalu setelah itu muncullah al-Jawaaib di Istanbul, Nafiir di Suriah, al-Zuwara’ di Irak, al-Ahram dan al-Muqoththom di Mesir.
Baca juga: Kaligrafi Sebagai Seni Rohani dan Identitas Kesalehan
Perlu ditekankan di sini bahwa al-shuhuf al-‘Arabiyyah pada awal-awalnya dianggap mempunyai kata-kata yang longgar, gayanya didominasi oleh al-muhassinat al-badii’iyyah, seperti saja’, jinas dan thibaq. Kemudian setelah berjalannya waktu, gaya bahasanya semakin lembut, para penulisnya menjauhi hiasan atau ornamen yang sifatnya tambahan, serta menjauhi adanya al-hasywu.
Mereka fokus pada ketelitian dan kejelasan makna, sehingga bahasanya berada di tengah-tengah atau moderat antara bahasa fushah dan bahasa ammiyyah. Itulah beberapa faktor-faktor yang memicu munculnya kebangkitan sastra Arab di masa modern kala itu. Pelopornya yang terkenal yaitu Rifa’ah al-Thahthawi, seorang pendiri Madrasah al-Alsun pada tahun 1835 M.