Kontekstualisasi Tafsir Al-Qur'an

Dialektika dalam konteks kehidupan yang kita hadapi hari ini, tampaknya berbeda dengan para ulama masa lalu. Dinamika sosial yang semakin kompleks dengan berkembangnya teknologi menuntun peradaban manusia serba cepat. Kelak, kondisi semacam ini juga akan mempengaruhi kontekstualisasi tafsir Al-Qur’an.

Segala bentuk informasi, afirmasi, tesis dan anti tesis atas suatu isu berjalan dalam hitungan setiap detik. Beragam informasi dari yang mengandung esensi sampai yang tanpa makna terus saja diproduksi, disebarluaskan, dan dikonsumsi oleh kalangan masyarakat.

Sampai hasilnya, banyak cara pandang seseorang terbentuk oleh dualisme realitas. Al-Quran pada dasarnya menjadi pedoman seorang muslim untuk dapat memahami segala persoalan zaman. Kontekstualisasi tafsir Al-Qur’an niscaya menjadi hal yang mengandung urgensi.

Perkembangan realitas menuntun perluasan pemahaman tafsir Al-Quran yang lebih mutakhir. Pembaharuan pemikiran dalam wilayah metodologi penafsiran merupakan solusi serta jembatan untuk menghadapi persoalan sosial yang terjadi.

Sebagaimana kita diketahui, bahwa tafsir merupakan produk pembacaan seseorang atas teks kemudian dikontekstualisasikan dalam ruang dan waktu tertentu. Hal ini sangat berpengaruh dalam membentuk cara pandang seseorang untuk menjalani kehidupan di negara mayoritas umat muslim.

Aswab Mahasin dalam bukunya berjudul Korban Tabrak Lari Hawa Nafsu Sendiri (2020) mengatakan, bahwa persoalan yang dihadapi umat muslim di Indonesia dari tahun ke tahun berputar dalam isu politik, ekonomi, toleransi, dan pendidikan-pengajaran. Seakan-akan, Indonesia masih jauh dari idealisme keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca juga: KH Salman Dahlawi: Penyebar Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyyah di Popongan

Hal senada juga disampaikan Sahiron Syamsuddin di dalam bukunya berjudul Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (2017). Ia mengatakan, bahwa keadilan gender dan konflik keagamaan merupakan isu yang selalu diperdebatkan.

Berbagai masalah itu tampaknya masih simpang siur dan bersifat kompleks. Dampaknya angka kriminalitas jauh lebih melejit, daripada hal-hal yang positif yang dilakukan umat muslim, seperti pengakuan atas perbedaan dan dialog antarumat beragama.

Berbagai masalah itu tampaknya masih simpang siur dan bersifat kompleks. Dampaknya angka kriminalitas jauh lebih melejit, daripada hal-hal yang positif yang dilakukan umat muslim, seperti pengakuan atas perbedaan dan dialog antarumat beragama.

Sebab, argumentasi agama mendapat posisi yang responsif oleh umat muslim di Indonesia. Namun, mengapa realitas kita berbicara demikian? Apabila kita memahami secara cermat persoalan yang paling mendasar adalah etika dalam beragama. Banyak dari kita yang terkungkung cara berpikir yang sempit.

Dalil-dalil agama dijadikan justifikasi kekafiran bagi seseorang, ceramah-ceramah justru memberikan doktrin-doktrin eksklusivisme terhadap jama’ah. Persoalan tersebut menjadi fatwa yang memiliki standardisasi kesalehan di ruang publik.

Hal ini yang bisa dikatakan memicu banyak pemikir sekularisme ingin memisahkan keterlibatan agama dan negara. Sebab, agama bukan menjadi alat untuk berpolitik yang sering menciptakan otoritarianisme.

Justru pemikiran fundamentalisme agama yang menjadi faktor pola pikir umat muslim terjebak dengan tradisi-tradisi lama, mengagungkan masa kejayaan masa lampau, menjadi tertutupnya pintu berijtihad.

Dalam pengamatan al-Jabiri, misalnya, ia memotret kegagalan kebangkitan Islam yang bersifat eksklusif atas keilmuan modern. Sehingga turas dianggap final dan otoritatif menjawab persoalan. Problem tersebut tampaknya berhasil membentuk cara pandang seorang muslim terjebak dalam dunia memorial dan kelewat jauh dari realitas.

Baca juga: Waktu dan Kejadian

Farid Esack dalam bukunya The Qur’an a User’s Guide A Guide to Its Key Themes, History and Interpretation (2005) menyatakan: “Tradisional Tafsir activity has, however, always been categorized and these categories; Shi’ite, Mu’tazilite, Abbasaid, Ash’arite, etc. Are acknowledge to say something about the affiliations, ideology, period, and social horizons of the comentator.”

Pernyataan Esack menjadi penguat bahwa horison tafsir terdahulu hanya berbicara teologis dan terjebak dalam ideologi mufassirnya dengan suatu motif tertentu.

Pasalnya, Al-Qur’an secara fungsional menjadi petunjuk dan rahmat bagi manusia bahkan alam semesta. Untuk itu dalam memahaminya di era modern, diperlukan beragam disiplin ilmu. Tidak hanya keilmuan dalam Ulumul Quran, tafsir Al-Quran, melainkan ilmu-ilmu seperti antropologi, sosial, filologi, fenomenologi, dan lain sebagainya.

Pembaharuan cara pandang terhadap metodologi dan pendekatan tidak sedang mempertanyakan otentisitas teks Al-Quran melainkan penafsirannya yang harus memiliki pembaharuan sesuai kontekstualisasi zaman. Mengutip pendapat Rasyid Ridho bahwa sejatinya tafsir menunjukkan kebahagiaan dunia hingga akhirat, sedangkan kajian yang meliputinya hanya sebagai alat untuk mencapainya.

Upaya ini dapat diaplikasikan melalui pengembangan epistimologi secara konstruktif. Transisi tafsir Al-Qur’an di era sekarang tidak hanya disampaikan dalam bentuk teks dan lisan, melainkan juga bertranformasi dalam bentuk tafsir Al-Quran digital.

Hardirnya digitalisasi Al-Quran semata-mata demi menghidupkan nilai-nilai dalam suatu bentuk tradisi serta menghasilkan berbagai jawaban atas persoalan sosial.

Tafsir tidak hanya berbicara konteks normativitas dan teologis yang menyudutkan beberapa pihak, melainkan harus memperhatikan aspek-aspek filosofis-humanistik. Sebab realitas persoalan ini memerlukan jawaban melalui tafsir Al-Quran sebagai pemahaman bagi umat muslim untuk memahami berbagai peristiwa kehidupan.  

Misalnya seperti persoalan kepedulian terhadap sesama manusia dalam mengentaskan kemiskinan. Edward Aspinall mengatakan, bahwa salah satu faktor kemiskinan di Indonesia disebabkan oleh cara pandang  beragama yang eksklufif.

Sebagai contoh, dalam beberapa ceramah yang disampaikan ustaz—yang mengutarakan kemiskinan adalah ujian dari Allah dan kita sebagai muslim yang taat harus menerima apa adanya. Ada yang berkata Aku sudah berdoa tapi kok masih aja miskin, mungkin ini takdir.”  

Asumsi di atas justru menunjukkan seseorang yang tidak mau berusaha secara maksimal. Islam sebenarnya mengajarkan pada umatnya untuk terus berusaha dan tidak mudah putus asa.  Kita patut membuka kembali terjemahan surah Al-Quran al-Insyirah ayat 7-8.

“Jika engkau telah selesai dalam suatu urusan, kerjakanlah urusan lainnya secara sungguh-sungguh, dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” Ayat ini tidak hanya berbicara persoalan tauhid, namun juga mempotret urusan dunia yang harus seimbang dengan akhirat.

Selain terjemahan di atas, cara eksplisit surah Al-Qur’an at-Taubah ayat 105 memerintahkan kita untuk bekerja keras.  Tafsir yang di kemukakan oleh Hamka terhadap ayat ini menuntut secara tegas terhadap seseorang untuk berpikir dan memaksimalkan potensi yang dimiliki. Manusia yang masih diberikan kekuatan oleh Allah memiliki amanat untuk produktif dalam berbagai hal. Namun, harus seimbang dalam etika ketauhidan.

Tidak hanya doa dan keadaan yang perlu diratapi. Zaman modern memberikan banyak alternatif bagi kita untuk mengambil momentum dalam meningkatkan dan memperbaiki etos kerja. Karena kemiskinan itu adalah giringan opini setan dan Allah tidak menyukainya.

Kita lihat terjemahan Al-Quran surah al-Baqarah 268 yang bunyi ayat dan terjemahnya “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya kepadamu. Dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.”

Memahami penafsiran Al-Quran sejatinya tidak harus terjebak pada pemahaman fundamentalisme agama yang sering kali memahami tafsir Al-Quran secara eksklusif. Memahami agama harus melihat realitas yang semakin kompleks. Memahami kandungan isi Al-Quran tidak cukup dengan Ulumul Quran, tetapi dibutuhkan paradigma integrasi-interkoneksi dengan beragam disiplin ilmu yang berkembang.

Memahami agama harus melihat realitas yang semakin kompleks. Memahami kandungan isi Al-Quran tidak cukup dengan Ulumul Quran, tetapi dibutuhkan paradigma integrasi-interkoneksi dengan beragam disiplin ilmu yang berkembang.

Sehingga arah tafsir kontemporer dapat menjadi solusi atas realitas dan tidak lagi bersifat ortodoks. Dengan memahami pembaharuan metodologi tafsir, menjadi langkah awal untuk membentuk cara pandang seorang muslim yang terbuka dan progresif.


Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here