Gambar dari cantrikpustaka.com

Keberhasilan Steve Jobs menemukan pembaharuan teknologi digital melalui ponsel iPhone telah mengubah tatanan sosial di dunia. Dinamika jagat digital bergerak melahirkan modernitas dalam bidang teknologi-informatika. Sejarah mencatat pada 2007, awal mula Steve Jobs memiliki keyakinan bakal menciptakan ulang telepon seluler.

Namun, kebanyakan orang pada umumnya meragukan terhadap kerja Jobs dalam membangun teknologi ponsel di masa itu. Ternyata Jobs hanya butuh beberapa tahun untuk membuktikan ambisinya. Ia berhasil menciptakan produk iPhone sebagai terobosan baru dan mengubah kebudayaan manusia dalam bersosial.

Lahirnya ponsel iPhone atas dukungan Apple mampu menjungkirbalikan industri musik dengan produk iPod dan iTunes. Sebab, ponsel iPhone dilengkapi berbagai fitur yang mustahil telepon lain memilikinya. Berkat touhscreen-nya, iPhone lambat-laun mengubah kebiasaan manusia, dari ponsel genggam menjadi ponsel layar-virtual.

Muktamar Ilmu Pengetahuan PWNU Jateng: Melihat Kembali NU sebagai Penggerak Civil Society

Dampaknya pada 2012, iPhone merupakan ponsel paling populer yang tercatat sejarah peradaban manusia yang mampu terjual 135 juta unit. Jobs sadar, bahwa potensi iPhone dapat ditindaklanjuti dengan beragam aplikasi seperti iPad, iPod Touch dan lain-lain untuk mendukung kerja perusahaan Apple yang ia rintis.

Dalam sejarah dinamika sosial-politik jagat digital, bergeraknya industri ponsel memicu perseturuan hebat dalam bidang teknologi. Pada 2007, Google yang pada saat itu dipimpin oleh Eric Schmidt, juga meluncurkan ponsel Android demi menyaingi  iPhone produk Apple. Pertarungan produk di pasar global melahirkan persekutuan, konflik, perdebatan antarperusahan teknologi dalam menentukan pengaruh produk ponsel paling tersohor di dunia.

Dampak dari kontestasi digital dapat kita rasakan dari berbagai fitur ponsel iPhone dan Android yang kita nikmati sekarang. Perseturuan itu barangkali tidak dianggap penting dalam pandangan masyarakat untuk memahami peristiwa lahirnya jagat digital. Kita seolah pasrah sekaligus menerima kehadiran dan pengaruh ponsel atau telepon seluler (gawai) terhadap kebijakan agama, politik, sosial, dan budaya di masyarakat.

Di tengah arus globalisasi dan modernitas, ponsel seluler (smartphone) mempengaruhi gaya hidup dan interaksi sosial sejak munculnya fitur media sosial. Beragam ponsel yang dilengkapi fitur dan aplikasi dapat mengakses berbagai informasi di seluruh dunia dengan begitu cepat. Kelebihan ini juga mengundang berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia.

Mulai dari banyaknya kebohongan informasi (berita), serta rentangnya konflik, dan perdebatan yang sering terjadi pada satu dekade terakhir ini di media sosial. Pergeseran struktur sosial dalam dunia maya ini terangkum dalam buku gubahan Jaron Lanier berjudul Ilusi Media Sosial (2019).

Lanier merasa begitu prihatin atas sikap dan perilaku konsumtif masyarakat yang kecanduan media sosial. Mereka tidak sekedar mengalami perubahan perilaku lebih individualistik tetapi juga terhipnotis oleh teknisi yang tidak kita ketahui. Lanier mengatakan ada dimensi di mana media sosial telah mengubah kebiasaan ragawi manusia, merampas kebebasan pikir, dan menjadikan tubuh-tubuh kita seperti sistem algoritmik untuk mencari keuntungan bisnis.

Barangkali pandangan  Lanier ini terkesan subjektif, namun kita dapat mencermati argumentasi-argumentasi Lanier tentang paradoksnya media sosial. Kenyataannya, hampir umat manusia menggunakan berbagai fitur media sosial yang beragam seperti Facebook, Instagram, Twitter, Youtobe, untuk berinteraksi. Fenomena baru ini membawa pengaruh pola kehidupan manusia yang lebih ditentukan oleh hasrat dan keinginan yang tidak terkontrol, terutama masalah gaya hidup.

Kemelimpahan Produk

Melimpahnya produk-produk bisnis sekaligus atas dukungan dari ketenaran para artis (selebritis) memaksimalkan kinerja media sosial sebagai pasar yang memikat. Realitas itu dapat dibuktikan bahwa setiap detik, menit, jam, dalam kehidupan kita sangat bergantung terhadap ponsel pintar (gawai).

Kita hampir sulit meluangkan waktu untuk melamun, memikirkan dampak ragawi, jika ketagihan media sosial apakah dapat menjerat kebebasan pikir? Kemungkinan itu dapat terjadi. Sebab, dalam situasi seperti ini, media sosial yang dilengkapi mesin Bummer dapat melacak data statistik kebiasaan orang dalam skala besar. Bummer merupakan mesin yang mampu menciptakan hasil prediksi secara ketat dan komprehensif untuk mengetahui kebutuhan seseorang, baik primer maupun sekunder di masyarakat dalam suatu wilayah tertentu.

Kesadaran Guru untuk Kemajuan Bangsa

Teknologi yang terus bergerak secara dinamis seperti sekarang ini dapat mengetahui kebutuhan pasar secara global. Situasi ini juga mempengaruhi kebiasaan masyarakat yang sering gagal dalam mencari suatu kebenaran informasi di media sosial. Pada dasarnya kritik Lanier menjelaskan “jika media sosial dapat memodifikasi perilaku yang dapat ditemukan di mana pun. Ketika ketagihan yang direkayasa diterapkan untuk memanipulasi sejumlah besar orang untuk keuntungan komersial, tentunya kebenaran telah dirampas dari massa (hlm. 77).”

Media sosial telah mengubah kebiasaan ragawi manusia, merampas kebebasan pikir, dan menjadikan tubuh-tubuh kita seperti sistem algoritmik untuk mencari keuntungan bisnis

Ungkapan Lanier memperjelas bahwa kehadiran media sosial sering kali merusak kebenaran informasi. Apalagi jika kebenaran informasi ini hanya dijadikan produk atau ladang bisnis yang dapat diperjual-belikan. Tindakan seperti ini berkali-kali meresahkan masyarakat dan menggangu stabilitas sistem demokrasi.

Akibat peristiwa itu, kebanyakan pendapat-pendapat seseorang (publik) di media sosial tidak terkontrol dalam menyikapi problem sosial yang sedang berkembang. Seringkali kebebasan berpendapat seseorang di media sosial memberikan justifikasi bahwa pendapatnya yang paling benar. Ironinya, tingkah laku para warganet seperti ini terkesan memiliki otoritas layaknya seorang pakar teknologi.

Padahal, tindakan seperti itu merupakan fenomena baru yang membuktikan bahwa dampak media sosial dapat membuat kebenaran informasi semakin sekarat. Sebab, argumentasi yang tidak memiliki landasan teoritis dan metodologi yang kuat mampu menjerumuskan seseorang menjadi lebih sombong dan arogan. Kenyataannya, praktik itu masih sering terjadi meskipun berbagai regulasi serta kebijakan pemerintah sudah diterapkan.

Situasi akhir-akhir ini memperjelas bahwa ruang media sosial mampu menciptakan kekuasaan pada tubuh seseorang sekaligus memperlemah rasa empati sesama manusia. Melemahnya kesadaran berempati  barangkali disebabkan tindakan seseorang yang mengabaikan kemampuan akal dan pikiran ketika sedang bermain media sosial.

Pernah dimuat di koran Suara Merdeka, 26 Juli 2020

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here