Ilustrasi Kompas.id

Pengundangan KUHAP baru menandai perubahan besar dalam sistem peradilan pidana Indonesia sekaligus mengesampingkan KUHAP 1981 yang selama lebih dari empat dekade menjadi rujukan penegakan hukum. Disahkan melalui proses legislasi yang tetap berjalan meski disertai kritik tajam dan demonstrasi dari masyarakat sipil. Penolakan itu tidak lahir tanpa alasan: perluasan kewenangan institusi Polri dianggap berpotensi memperdalam problem kinerja aparat yang selama ini kerap menimbulkan keresahan publik.

Di tengah merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian, pemerintah dan DPR justru meresmikan undang-undang yang memberi kekuasaan luar biasa besar kepada polisi dari perluasan penangkapan hingga diskresi penyidikan. Sejak KUHAP 1981 diberlakukan, belum pernah wewenang polisi mencapai titik ini. Kewenangan yang besar bukanlah masalah selama dibarengi etika profesi dan akuntabilitas yang kuat. Tantangannya adalah memastikan keseimbangan tersebut benar-benar hadir.

Alih-alih menjamin keadilan, kebijakan hukum seperti ini berpotensi memperlebar jarak antara polisi sebagai pelayan masyarakat dan polisi sebagai pemegang kekuasaan absolut. “With great power comes great responsibility” pesan moral yang seharusnya menjadi dasar KUHAP baru justru memunculkan pertanyaan krusial: bagaimana memastikan keadilan jika kekuasaan bertambah, tetapi etika profesi tertinggal?

Etika Profesi

KUHAP pada dasarnya merupakan pedoman prosedur penegakan hukum pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sidang, hingga eksekusi putusan serta mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam proses pidana. Namun dalam KUHAP baru yang disahkan, terdapat perubahan penting: perluasan kewenangan kepolisian melalui Pasal 7 dan 8 yang menempatkan koordinasi penyidik tertentu dan PPNS sepenuhnya di bawah kendali penyidik Polri, serta Pasal 93 ayat (3) yang mensyaratkan penangkapan oleh penyidik tertentu dan PPNS hanya atas perintah penyidik Polri.

Sentralisasi kewenangan ini memunculkan kekhawatiran karena berpotensi menjadikan Polri sebagai institusi dengan “kekuatan super” sekaligus melemahkan otoritas penegak hukum lainnya. Perluasan kewenangan dalam penegakan hukum tidak secara otomatis menjadi masalah, ia menjadi masalah ketika tidak disertai etika profesi dan mekanisme pengawasan yang optimal.

Di sinilah etika profesi memegang peran sentral dalam pelaksanaan KUHAP baru, karena polisi tidak hanya bekerja berdasarkan aturan hukum, tetapi juga memikul mandat moral sebagai pelayan publik. Etika kepolisian seharusnya tidak menjadi alasan kekakuan dalam bertugas, melainkan menjadi standar batas dan kewajiban agar setiap tindakan penyidik bukan hanya legal, tetapi juga bermoral menjaga proporsionalitas, akuntabilitas, dan nilai keadilan.

Kode Etik Polri memang telah memuat prinsip pengabdian, tanggung jawab, kejujuran, dan penghormatan terhadap HAM, tetapi prinsip tersebut akan kehilangan makna jika hanya berhenti pada formalitas tanpa implementasi yang sungguh-sungguh. Dalam kerangka etika pelayanan publik, kewenangan aparat negara adalah amanah untuk melindungi martabat warga negara. Karena itu, perluasan kewenangan dalam KUHAP baru menuntut penegasan kembali standar etika profesi agar tidak terjadi bias kekuasaan. Kekuatan “super” justru menuntut tanggung jawab etis yang lebih tinggi, bukan sebaliknya.

Masalah muncul ketika kewenangan yang “super” tidak diimbangi dengan etika dan mekanisme pengawasan yang memadai. Rekam jejak penegakan hukum belakangan ini menunjukkan bagaimana kewenangan kepolisian kerap menjadi sorotan, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Dari kontroversi kriminalisasi pelapor kekerasan seksual, penggunaan pasal karet untuk membungkam kritik, hingga polemik konflik kepentingan dalam penyidikan kasus besar.

Kekuasaan dan Otoritarianisme

Rentetan peristiwa seperti ini menegaskan bahwa ketika aparat penegak hukum memegang kendali dominan terhadap proses pidana tanpa pengawasan kuat, masyarakat berada dalam posisi rentan karena hukum dapat berubah menjadi alat intimidasi, bukan perlindungan. Ketidaksetaraan antara kewenangan, etika, dan pengawasan merupakan ancaman nyata; ketidakadilan tidak muncul karena hukum lemah, tetapi karena kekuasaan dijalankan tanpa komitmen etis.

Konsekuensi nyata dari timpangnya kewenangan “super”, etika dan mekanisme pengawasan tidak hanya dirasakan oleh individu yang berurusan dengan hukum, tetapi juga berdampak pada sistem kenegaraan secara luas. Ketika masyarakat selalu disuguhkan dengan penegakan hukum yang serampangan, kepercayaan terhadap institusi yang menegakan hukum dan sistem peradilan pidana perlahan memudar.

Penegakan etika tanpa kepastian sanksi pidana hanya menghasilkan moralitas simbolik yang mudah diabaikan ketika berhadapan dengan kepentingan

Pada level ini, lahir bahaya yang jauh lebih besar: rusaknya legitimasi, rasa aman, dan hilangnya kepercayaan publik bahwa hukum dapat menjadi tempat bergantung ketika terjadi ketidakadilan. Pada kondisi seperti ini, masyarakat tidak lagi melihat polisi sebagai pelindung, tetapi sebagai pemegang kekuasaan yang sulit dikontrol.

Merosotnya kepercayaan publik inilah yang berpotensi menyuburkan praktik “main hakim sendiri” dan melemahkan prinsip negara hukum, karena keberlangsungan demokrasi tidak hanya berpijak pada hukum tertulis, tetapi juga pada keyakinan warga bahwa kekuasaan dijalankan secara akuntabel.

Pada akhirnya, KUHAP baru yang memperluas cakupan kewenangan kepolisian hanya akan menjadi kemajuan prosedural di atas kertas tanpa transformasi etika profesi yang nyata. Dalam perspektif negara hukum modern, kekuasaan penegak hukum bukan hanya tunduk pada tata kelola internal, tetapi harus dibatasi melalui mekanisme pertanggungjawaban yang jelas termasuk pemberian sanksi pidana terhadap penyalahgunaan wewenang, bukan hanya sanksi etik atau administratif.

Penegakan etika tanpa kepastian sanksi pidana hanya menghasilkan moralitas simbolik yang mudah diabaikan ketika berhadapan dengan kepentingan. Karena itu, keseimbangan antara kewenangan dan kontrol merupakan syarat dasar keberlangsungan legitimasi institusi. Dalam konteks ini, kutipan klasik “with great power comes great responsibility”, menemukan relevansinya.

Kutipan tersebut bukan sekadar retorika film, melainkan prinsip etika kekuasaan dalam tradisi filsafat politik klasik: setiap bentuk kekuasaan menuntut akuntabilitas. KUHAP baru telah memberikan polisi kekuasaan besar; negara kini berkewajiban menegakkan tanggung jawab yang setara agar hukum tetap berada pada tujuan dasarnya melindungi warga negara, bukan menundukkan mereka.

Hukum pidana, etika profesi, dan mekanisme pengawasan bukanlah tiga ruang yang berdiri sendiri, tetapi fondasi yang saling melengkapi untuk memastikan bahwa kekuasaan selalu bekerja untuk melindungi warga negara, bukan sebaliknya.

Bagikan
Seorang pemuda yang berasal dari pesisir pantai kilo5 Kec. Luwuk Selatan, Kab. Banggai, Prov. Sulawesi Tengah. Saat ini sedang menempuh S2 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Program Studi Hukum Litigasi, pidana dan litigasi adalah adalah 2 kajian yang sangat saya minati.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here