Memahami Tafsir Ekologis

Dulu, sempat terbit secara rutin literatur agama yang mengandung nilai-nilai rohani di Indonesia. Bacaan itu bernama “Sari” akronim dari “Santapan Rohani.” Seri publikasi ini agak gampang kita temui.

Pada 1969, Sari menampilkan edisi khusus tentang pentingnya menjaga alam serta lingkungan. Osman Raliby pernah menyampaikan ceramah dengan makalah berjudul Allah, Alam dan Manusia. Ceramah itu terjadi di aula Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sari no.1969 yang berjudul Allah, Alam dan Manusia disampaikan Osman Raliby sebagai bahan bacaan serta renungan para dokter dan karyawan di Rumah Sakit Dr. Tjipto Mangunkusumo. Ceramah dengan durasi 2 (dua) jam tersebut, tidak membuat pendengar bosan, ngantuk, apalagi tidur dan ngiler. Justru ceramah Osman mampu menawarkan pandangan baru terhadap khasanah tafsir ekologis di masa itu.

Kita bisa menduga bahwa umat muslim kala itu gemar belajar ilmu agama. Mereka memiliki kesadaran kuat untuk mempelajari ilmu pengetahuan (sains) dan kesehatan dalam pandangan Islam. Mereka lebih berpikir maju, menjauhkan diri  dari demonstrasi membela konstitusi atas dalih agama. Mereka lebih mementingkan mempelajari urusan alam dan kesehatan sebagai bentuk tanggungjawab selaku khalifah di bumi.

Osman menyampaikan, “Alam itu mempunjai keadaan jang ber-obah₂, jaitu berpindah dari satu keadaan kekeadaan lain. Alam itu selalu bergerak, berobah, dan berkembang dan achirnja musnah. Pengalaman manusia dari dulukala hingga sekarang, pertumbuhan dan perkembangan berbagai matjam ilmupengetahuan (sciences) dan sedjarah bangsa₂, semua memperlihatkan kepada kita bahwa segala objek dan gedjala (phenomena) didunia ini tidaklah tetap, tetapi selalu ber-obah₂” (hlm.7).   

Situasi ini menandakan bahwa keadaan alam sangat dipengaruhi oleh keterlibatan kepentingan manusia. Perubahan alam yang terjadi akhir-akhir ini ditimbulkan atas ulah manusia yang semakin serakah dan lalai. Kerusakan lingkungan seperti melimpahnya sampah domestik, pencemaran limbah pabrik di sungai dan laut, pembakaran hutan, pembukaan lahan, penebangan pohon secara ilegal, maupun pertambangan.

Baca juga: Reformulasi Pemikiran Islam

Semua laku lantas menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem alam yang kini semakin sekarat dan butuh pertolongan serius! Kita hidup memang semakin tamak dan melupakan pelajaran yang bertaut antara agama dan ekologi. Osman mengingatkan kepada kita bahwa perlunya memahami alam melalui berbagai perspektif; teologis, sains, filsafat, sosial, budaya, dan politik.

Melalui buku yang diterbitkan oleh penerbit Publicita di Jakarta ini, petuah-petuah Osman tampaknya relevan dengan situsi pada abad XXI. Alam perlu tangan-tangan manusia untuk merawatnya!

Sebab dalam situasi ini, seseorang memang memiliki kebebasan dalam berkehendak. Terutama dalam keputusan beragama. Namun, kebebasan umat muslim inilah yang dikritik Osman akibat kurangnya rasa kepekaan memahami alam semesta. Sebagai seorang muslim, kita patut mempelajari alam dengan pendekatan literal (Al-Qur’an) sebagai kitab pedoman dan sandaran hidup. Anjuran yang disampaikan teks Al-Qur’an semestinya mengawali langkah seseorang dalam membangun ketakwaan dan kesadaran diri.

Baca juga: 50 Tahun Majalah Bobo: Kenangan dan Kasmaran

Jika seseorang memiliki kesadaran diri, tentu dalam hal ini dapat memahami tafsir ekologis seperti yang disampaikan Osman. Barangkali dengan begitu merupakan upaya kita untuk mengawal serta mencegah kerusakan-kerusakan alam yang ditimbulkan oleh umat manusia pemuja sistem kapitalistik.

Menjadi pemimpin tidak serta-merta memikirkan perut, kekayaan, jabatan, kekuasaan, atau kenikmatan yang fana belaka. Tetapi pentingnya membangun solidaritas sosial yang dapat menggerakkan kesadaran rohani dan hati setiap individu

Osman menjelaskan ajaran fundamental dari Al-Qur’an tentang alam semesta memiliki beberapa karakteristik. Osman mengatakan  bahwa alam itu, “satu kosmos jang penuh aturan atau order atau Sunnatullah, satu kosmos jang tumbuh dan berkembang setjara dynamis, dan satu kosmos jang bukan untuk main₂, tetapi untuk diperhatikan setjara serius, antara lain mempeladjari segala keadaan dan hukum₂nja untuk mengambil se-besar₂ manfaat dari-padanja.” Argumentasi ini tidak sekadar sebagai petunjuk kepada umat manusia, tetapi pada kenyataannya alam menjadi ruang yang harus diperhatikan dan direnungkan, tanpa terkecuali.

Kesadaran serupa juga pernah disampaikan pemikir Islam Fazlur Rahman dalam menafsirkan teks Al-Qur’an menggunakan metode tafsir tematis. Dalam buku Major Themes of The Qur’an (1960), Rahman mengatakan, “Meskipun biasanya deskripsi Al-Qur’an tentang Hari Terakhir berbicara tentang kesedihan yang umum dan lengkap dari kosmos masa kini, dislokasi bumi dan langit, goncangan total bumi — memang, tentang “bumi berada di genggaman tangan-Nya pada Hari Kebangkitan dan langit terbungkus tangan kanan-Nya “(az-Zumar: 67) dan” umat manusia menjadi seperti belalang yang berserakan dan gunung-gunung seperti wol yang digaruk.

“—semua deskripsi ini benar-benar bermaksud untuk menggambarkan kekuatan absolut dari Tuhan. Mereka yang berpikir bahwa bumi dan langit—kosmos—adalah makhluk yang diciptakan sendiri, tidak sah, dan pamungkas harus memahami bahwa itu adalah Allah yang maha kuasa, perkasa, dan absolut yang telah memunculkan kosmos dari belas kasihan-Nya semata-mata; tidak ada yang bisa keluar dari kendali dan pemerintahan-Nya.”

Tafsir ekologis dari para pemikir Islam menunjukan betapa dahsyatnya kuasa Tuhan dalam mencipta semesta alam. Ada penjelasan di mana ruang—dunia ini akan mengalami kehancuran atas kehendak Tuhan. Tentu kita tidak mampu mengetahui kapan hal itu bakal terjadi, namun setidaknya Osman dan Rahman mengingatkan kepada posisi kita sebagai pemimpin di dunia. Menjadi pemimpin tidak serta-merta memikirkan perut, kekayaan, jabatan, kekuasaan, atau kenikmatan yang fana belaka. Tetapi pentingnya membangun solidaritas sosial yang dapat menggerakkan kesadaran rohani dan hati setiap individu.

Dalam bidang rohani yang disampaikan Osman, ia seolah ingin mengatakan kepada kita bahwa Tuhan telah memberikan kita nalar (akal) dan logika untuk menyebarkan kemaslahatan sekaligus merawat dunia, bukan malah menimbulkan kehancuran ekologis secara sistemik dan terus-menerus. Aduh!  

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here