praktik baik bedah buku

Kamis, (19/01/2023) Yayasan Islam Santun Nusantara baru saja mengadakan bedah buku Mengenali Praktik Baik Ta’lim Al-Qur’an. Bedah buku tersebut berlangsung di Mini Teater P2B UIN Raden Mas Said Surakarta. Acara dimulai pukul 09.00-12.00 WIB dan dihadiri lebih kurang 50 peserta.

Acara ini diselenggarakan oleh Sub-dit Pendidikan Al-Qur’an, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI, HMPS IAT, dan PPM-PIN UIN Raden Mas Said Surakarta. Sambutan disampaikan oleh Abd. Halim, selaku Ketua Yayasan Islam Santun Nusantara. Bedah buku dipandu oleh Muhammad Yasin Arif Rosyidi, salah seorang mahasiswa IAT, sebagai moderator.

Keynote Speaker bedah buku ini disampaikan oleh Dr. Mahrus El-Mawa, M.Ag. Sesi pembicara pertama ini dilakukan secara daring melalui zoom.

Kepala Subdit Pendidikan Al-Qur’an Direktorat PD Pontren Ditjen Pendidikan Islam Kemenag RI tersebut menyampaikan bahwa, “buku ini lahir untuk mengungkapkan praktik moderasi dalam pengajaran Al-Qur’an.”

“buku ini lahir untuk mengungkapkan praktik moderasi dalam pengajaran Al-Qur’an.”

Para penulis buku Mengenali Praktik Baik Ta’lim Al-Qur’an mayoritas adalah dosen dari UIN Raden Mas Said Surakarta. Buku ini merupakan satu di antara serial Moderasi Beragama.

Baca juga: Gus Dur dan Gerakan Perempuan

Sementara sasaran pembaca buku ini, menurut Dr. Mahrus El-Mawa adalah santri-santri TPQ maupun para gurunya yang ada di seantero Indonesia. Sekalipun begitu, para pelajar/mahasiswa maupun penekun agama Islam sangat mungkin untuk membaca buku ini. Segmentasi pembaca buku ini tidak bisa dimungkiri sangat luas.

Narasumber pertama kemudian diisi oleh Dr. Nur Kafid, M.Sc. yang juga merupakan satu penulis buku tersebut. Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah tersebut membuka penjelasannya dengan masih sedikitnya, “buku-buku yang tidak terlalu akademis, tidak terkesan ilmiah, penuh gambar dan ilustrasi.” Oleh karena itu, kehadiran buku ini menjadi amat penting dan strategis.

Pembina Yayasan Islam Santun tersebut juga memebentangkan bagaimana kondisi zaman digital masa kini, dalam mana kecepatan menjadi kata kunci. Jarak yang jauh terbentangkan terlipat dalam genggaman. Pola komunikasi hanya tinggal mengetik jari-jemari di layar ponsel pintar.

Perkembangan teknologi dan informasi yang terlampau cepat rupanya sangat mempengaruhi upaya anak muda dalam menyelami samudra ilmu pengetahuan. Pola belajar menjadi berubah. “Lebih mudah googling dibanding bertanya pada kiai, apalagi mencari kitabnya,” terang Dr. Nur Kafid.

Kondisi semacam ini niscaya menjadi tantangan bagi para pengajar Al-Qur’an, tentang bagaimana cara menyampaikan pesan-pesan Al-Qur’an dan keagamaan dengan cara yang santun, khususnya para pengajar TPQ yang langsung bersinggungan setiap hari dengan para santri TPQ, maupun umat Islam secara lebih luas.

Baca juga: Ritual Mahesa Lawung di Alas Krendowahono

Santun menjadi kata kunci dalam praktik moderasi. Santun dalam hal apa pun, baik kehidupan sehari-hari maupun berbangsa dan bernegara.

Santun menjadi kata kunci dalam praktik moderasi. Santun dalam hal apa pun, baik kehidupan sehari-hari maupun berbangsa dan bernegara.

Dr. Nur Kafid juga membahas perbedaan dengan yang liyan disampaikan dengan cara-cara yang provokatif, lebih-lebih kepada para santri TPQ. Sebut saja “Islam-Islam, yes! Kafir-kafir, no!” untuk menyebut satu contoh. Dr. Nur Kafid menjelaskan bahwa ajaran disertai tepuk tangan tersebut sama saja dengan, “mengajarkan kebencian dalam tanda kutip.”

Pemaparan terakhir pada sesi bedah buku praktik baik ta’lim Al-Qur’an disampaikan oleh Dr. Faizatul Anshoriyah, S. Sos., M,Si. selaku narasumber kedua. Dosen Universitas Sebelas Maret tersebut lebih banyak berbagi soal pengalaman, utamanya realitas yang Bu Faiz—sapaan akrabnya—alami.

Bu Faiz sering menyampaikan kepada mahasiswa-mahasiswanya untuk setelah lulus, minimal ada satu kemanfaatan yang harus diberikan ke masyarakat, tentu dalam bentuk dan ciri khasnya masing-masing. Bu Faiz pun menyinggung bahwa persoalan adab, yakni lebih kepada manifestasi diri kita, bagaimana menempatkan sikap dan diri selaras dengan lingkungannya.

Pengasuh Pesantren Mahasiswa Omah Ngaji Al-Anshori, Mojosongo tersebut memberi penekanan bahwa fanatik boleh-boleh saja, tapi “fanatiknya ke dalam, tolerannya ke luar. Jangan dibalik!”

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here