
Korupsi adalah borok lama dalam tubuh bangsa ini. Ia tak hanya menggerogoti keuangan negara, tapi merampas masa depan dan memperdalam jurang ketidakadilan. Setiap kali harapan akan perubahan muncul, termasuk wacana memiskinkan koruptor, rakyat dibuat kecewa lagi dan lagi oleh sistem yang tampak kuat di luar tapi rapuh di dalam.
Dalam sebuah pertemuan terbuka dengan jurnalis kawakan, Presiden terpilih Prabowo Subianto menyentuh topik krusial yang telah lama menjadi harapan banyak orang, ia membahas RUU Perampasan Aset. Namun, alih-alih menghadirkan ketegasan, pernyataannya justru menimbulkan kengerian serta sebuah tanya, apakah pemimpin ini sungguh mendengarkan suara rakyat atau hanya merangkai kata-kata menenangkan tetapi kosong?
Dalam kenyataan sehari-hari, kita tahu bahwa hukuman penjara tak cukup membuat koruptor jera. Mereka tetap hidup dengan kenyamanan yang tidak masuk akal. Sel penjara bisa disulap jadi kamar mewah. Dari balik jerujui, mereka tetap bisa mengatur segalanya. Maka, wajar bila masyarakat menyuarakan tuntutan yang terdengar keras tapi adil: memiskinkan koruptor. Bukan semata untuk membalas, tetapi untuk menegaskan bahwa negara demokrasi ni berdiri bersama rakyat, bukan bersama mereka yang merampas hak rakyat.
Memiskinkan koruptor sesungguhnya adalah langkah yang strategis dan nyata dalam memberantas korupsi. Namun, dalam pernyataannya, Presiden Prabowo menyuarakan kekhawatiran soal dampak pemiskinan terhadap keluarga koruptor. “Dosa orang tua sebetulnya tidak boleh diturunkan ke anaknya,” katanya. Sebuah kalimat yang terdengar bijak.
Baca juga: Kepingan Adat dan Hukum
Jika kita lihat kenyataan di lapangan, anak-anak dan istri para koruptor bukan hanya tidak tahu, mereka pun ikut menikmati hasil kejahatan itu. Anaknya bisa sekolah di sekolah elit bahkan melanjutkan studi di luar negeri, sedang istrinya bisa membayar perawatan mahal setiap pekan, semua dengan uang yang seharusnya digunakan membangun rumah sakit, memperbaiki sekolah, mengaspal jalan, dan memberi makan rakyat kecil. Maka pertanyaannya adalah, apakah adil jika mereka tidak turut menanggung akibatnya?
Yang membuat rakyat semakin ragu adalah ketika Presiden justru menawarkan solusi lain, yaitu membangun lapas di pulau terpencil bagi para koruptor. Dalam pandangannya, tempat seperti itu akan membuat para pelaku tak bisa pergi ke mana-mana dan tak bisa menikmati kenikmatan duniawinya. Namun, pandangan itu terlalu naif.
Dalam sistem hukum yang mudah dibeli, uang bisa menyulap sel sempit menjadi hotel bintang lima. Pengawasan sulit dilakukan. Dulu, publik bisa melihat Najwa Shihab melakukan sidak ke lapas koruptor. Tapi jika mereka dikirim ke pulau terpencil, siapa yang akan tahu apa yang sebenarnya terjadi?
Ironisnya, Presiden Prabowo dalam bukunya “Paradoks Indonesia” pernah menulis dengan tegas bahwa, “Setiap negara yang tidak bisa mengatasi korupsi di pemerintahannya maka negara itu akan bubar.” Sebuah pernyataan keras, penuh kesadaran. Tapi, apa artinya semua itu jika pada akhirnya tidak diwujudkan dalam keberanian bertindak? Ketika seharusnya bersikap tegas, justru muncul retorika yang bias, membingungkan. Rakyat menunggu sikap nyata, bukan sekadar kata-kata di halaman buku.
Baca juga: Utopia Kesejahteraan
Lebih jauh lagi, dalam pertemuan yang sama, Prabowo juga menyinggung soal demonstrasi yang marak terjadi di berbagai daerah. Ia menyebut aksi-aksi tersebut cenderung ditunggangi pihak asing, tanpa memberikan penjelasan siapa yang dimaksud.
Faktanya, demonstrasi itu lahir dari kegelisahan nyata. Rakyat kecewa pada berbagai kebijakan baru seperti RUU TNI, RUU Polri, hingga RUU Perampasan Aset yang tak kunjung disahkan. Mereka turun ke jalan bukan disuruh, tapi peduli. Menuduh mereka ditunggangi hanya akan memperdalam jurang–antara pemimpin dan rakyatnya.
Pandangan bahwa sebagian aset tidak boleh disita karena diperoleh sebelum menjabat juga sering digunakan sebagai “tameng”. Padahal, kekayaan yang sudah bercampur antara halal dan haram sangat sulit dipisahkan. Dalam kasus-kasus korupsi besar, aset dialihkan ke nama anak, istri, hingga keluarga besar. Jika tidak ada keberanian untuk menelusuri semuanya, maka keadilan akan selalu timpang.
Kita tidak menuntut presiden yang sempurna. Kita hanya ingin pemimpin yang berpihak. Yang tidak hanya berbicara keadilan, tetapi juga berjalan di atasnya. Rakyat ingin kejelasan, bukan pengalihan. Rakyat ingin tindakan, bukan sekadar kata-kata hampa seperti pepesan kosong.
Rakyat ingin kejelasan, bukan pengalihan; rakyat ingin tindakan, bukan sekadar kata-kata hampa seperti pepesan kosong.
Dan yang paling penting: ingin keberanian untuk benar-benar membersihkan luka bangsa ini dari dalam. Pemiskinan koruptor bukan sekadar soal menghukum. Jika pemimpin kita sungguh peduli terhadap masa depan bangsa, ia harus berani mencabut akar masalahnya, mendorong pengesahan hukum yang tegas, adil, dan berpijak pada kebenaran.
Sebab, selama korupsi masih dianggap perilaku tercela yang bisa dinegosiasikan, keadilan di negeri ini akan tetap mustahil. Dan rakyat, seperti biasa, hanya akan menjadi penonton dari panggung kekuasaan yang terus berganti tapi tak pernah benar-benar berubah.
Ketika suara rakyat dianggap ancaman, kritik disamarkan sebagai gangguan keamanan, kita tidak boleh hanya bergeming. Kita mesti menjaga nyala api harapan untuk negeri, agar suara rakyat tak (di)tenggelam(kan) oleh kuasa yang lupa arah.
Kita perlu mengingat kembali suara lantang seorang penyair yang pernah melawan dengan kata-kata, Wiji Thukul. Ia telah mengingatkan kita semua lewat larik puisi semacam ini
apabila usul ditolak tanpa ditimbang,
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!






