Ilustrasi dari Kompas.id

Kasus kekerasan seksual yang terjadi di beberapa lembaga pendidikan agama seperti pesantren di Indonesia makin hari makin menunjukkan sisi gelap. (Oknum) Pimpinan pesantren yang seharusnya jadi pionir perbaikan moral dan pengembangan ilmu-ilmu keagamaan, justru bertindak sebagai pelaku pencabulan.

Sepanjang periode Januari sampai Agustus 2024, Kompas (12/08/24) mencatat terdapat 101 anak menjadi korban kekerasan seksual di sekolah. Sementara itu, akhir tahun lalu Polres Kuningan menahan salah seorang pimpinan pesantren karena terbukti mencabuli santriwatinya sejak tahun 2022 hingga 2024. Diberitakan, jumlah korbannya mencapai 10 orang yang rata-rata masih di bawah umur (tvOneNews, 24/12/24).

Baca juga: Toko Buku Gladak dan Penerbit Islam

Kasus di Kuningan menambah deret hitung kasus kekerasan seksual di Indonesia. Kasus kejahatan berbasis seksual di pesantren tak kunjung menemukan titik terang, antara lain, karena lemahnya infrastruktur sistem penyelenggaraan pendidikan pesantren yang ramah perempuan dan anak, dan minimnya partisipasi masyarakat dalam menentukan pesantren yang aman dan nyaman bagi putra-putrinya.

Evaluasi Pendekatan Sistem

Sebagai lembaga yang menaungi institusi pesantren, Kementerian Agama (Kemenag) sudah sejak lama merancang pendekatan sistem guna mencegah dan menangani kekerasan seksual di pesantren. Misalnya, penetapan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

Sebagai langkah preventif, PMA tersebut mendorong lembaga pendidikan agama untuk membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS). Terkait bagaimana efektivitas operasionalisasi PMA tersebut di lapangan, ini yang barangkali minim pengawasan dari pihak-pihak berwenang.

Nyatanya, alih-alih membentuk Satgas PPKS, beberapa pimpinan pesantren justru menjadi pelaku utama pencabulan. Pada saat berbeda dalam kasus yang sama, pihak pesantren justru menghalang-halangi proses hukum, seperti yang terjadi pada serial drama penangkapan Bechi, anak seorang pimpinan pesantren di Jombang yang menjadi terdakwa kasus kekerasan seksual (2022).

Oleh karena itu, diperlukan audit sistem secara berkala dan menyeluruh atas penerapan PMA tersebut. Untuk kepentingan itu, Kemenag serta seluruh stakeholder di bawahnya perlu memastikan bahwa pembentukan dan kinerja Satgas PPKS benar-benar sudah berjalan secara efektif dan terukur di seluruh lembaga pendidikan agama, tak terkecuali di pesantren.

Adapun objek audit dimaksud, adalah aspek-aspek yang memang terkandung dalam PMA. Misalnya, bagaimana tanggung jawab dan koordinasi antara Satgas PPKS, pihak kementerian dan lembaga pendidikan agama, seberapa transparan mekanisme pelaporan yang dilakukan, serta seberapa tanggap pihak berwajib menanggapi laporan kasus kekerasan seksual.

Masih menjadi bagian dari pendekatan sistem dalam rangka mencegah kekerasan seksual di pesantren, syarat permohonan pendirian pesantren perlu diperketat lagi. Sejauh ini, jika merujuk pada Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pendirian dan Penyelenggaraan Pesantren, persyaratan pendirian pesantren hanya lebih menekankan pada pemenuhan sarana-prasarana dan aspek-aspek prosedural-administratif.

Dalam hal penentuan kriteria kiai-sebagai pimpinan (baca; pengasuh) pesantren, dalam PMA 30/2020 tersebut syarat yang ditekankan hanya pada aspek-aspek kognitif dan psikomotorik, seperti kiai harus berpendidikan pesantren; berpendidikan keagamaan Islam, dan/atau; memiliki kompetensi ilmu agama Islam (Bab III Pasal 20).

Sementara itu, kriteria yang mengarah pada pemenuhan aspek afektif tak terlalu mendapat penekanan serius. Padahal, pemenuhan aspek ini sangat penting untuk memverifikasi bagaimana perasaan, sikap, nilai, karakteristik perilaku dan seberapa serius motivasi seorang kiai untuk memimpin pesantren yang hendak didirikannya.

Guna memastikan objektivitas penilaian dalam proses verifikasi tersebut, kerja sama antar kementerian dan lembaga terkait serta dengan para ahli perlu dilakukan. Misalnya, Kemenag bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta psikolog profesional dalam menilai aspek afektif seorang kiai apakah ia layak memimpin pesantren atau tidak.

Memang, psikolog tak akan sepenuhnya mampu membaca kondisi batin seseorang (dalam konteks ini kiai), tapi setidaknya ia bisa memberi penjelasan terkait kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan terjadi ketika seseorang tersebut bersinggungan dengan lawan jenis-tentu dengan relasi kuasa, yang selanjutnya bisa dijadikan pertimbangan saintifik oleh Kemenag dalam menentukan kelayakan izin pendirian pesantren.

Baca juga: Kayon: Konsep Kehidupan dalam Wayang

Upaya-upaya tersebut sepintas terkesan ribet. Namun, jika benar-benar diseriusi oleh para pemangku kebijakan, maka sangat mungkin bisa dilakukan demi terputusnya mata rantai kekerasan seksual di pesantren. Kekerasan seksual merupakan problem serius dan kompleks. Karenanya, dibutuhkan upaya-upaya serius pula untuk mengentaskannya.

Partisipasi Masyarakat

Selain pendekatan sistem yang memadai, memutus mata rantai kekerasan seksual di pesantren juga butuh partisipasi aktif dari masyarakat. Masyarakat cakupannya sangat luas. Dalam konteks ini, barangkali “masyarakat” dimaksud lebih ditujukan kepada para orang tua yang ingin memondokkan putra-putrinya ke pesantren.

Menentukan pesantren tujuan memondokkan anak-anak didik tak bisa dilakukan secara serampangan. Masyarakat harus bijak dalam memilih pesantren yang aman dan nyaman bagi putra-putrinya. Di era keterbukaan kini, mudah bagi masyarakat untuk mengidentifikasi pesantren mana yang legal atau ilegal, ramah terhadap perempuan dan anak atau tidak, dan memiliki track record yang baik atau tidak.

Dengan menghindari pesantren-pesantren yang tidak representatif untuk masa depan anak-anak didik, secara tak langsung masyarakat sudah berpartisipasi dalam menyelamatkan nasib mereka dari oknum-oknum hipokrit yang tindakannya kontraproduktif terhadap nilai-nilai keislaman serta budaya luhur pesantren.

Bagikan
Dosen Fakultas Syariah Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep & Peminat kajian sosial-keagamaan, aktif di Komunitas Ghai' Bintang Rubaru Sumenep, tinggal di ujung timur pulau Madura, bisa disapa di fB (Moh Rasyid).

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here