Gus Dur dan Politik Identitas

PMII RAW (Rayon Abdurrahman Wahid) adakan semarak hari ulang tahun yang jatuh pada bulan Desember. Sebuah perayaan yang diperingati sebagai Gus Dur Month—tentu masih berhubungan dengan identitas rayon yang mengusung nama KH Abdurrahman Wahid.

Gus Dur Month digelar dengan wujud serangkaian acara yang bertajuk “Kiprah Sang Guru Bangsa dalam Menumbuhkan Nilai Kebudayaan”. Acara berlangsung di Oemah Wedhang 78 pada Jumat (23/12/2022) malam.

Program ini bukan semata-mata bersifat seremonial. Namun, sebagai refleksi kembali nilai-nilai Gus Dur, sapaan akrab Abdurrahman Wahid, tentang pemikirannya dalam kehidupan dan kemanusiaan.

Hal tersebut penting bagi sahabat/i PMII RAW secara lebih kecil, dan seluruh para pecinta Gus Dur—yang akrab disapa Gusdurian—secara lebih luas, untuk mengetahui bagaimana sepak terjang Gus Dur dalam bidang intelektualitas dan teladan-teladan yang telah diwariskannya.

Bagi sahabat/i PMII sendiri, Gus Dur mendapatkan julukan “Bapak Intelektual PMII” meski Gus Dur tidak pernah sekalipun tergabung di dalam PMII secara struktural.

Serangkaian acara Gus Dur Month oleh RAW diawali dengan diskusi lintas agama, dilanjut dengan pelaksanaan lomba dan ditutup oleh gebyar budaya. Tema yang diusung untuk diskusi lintas agama kali ini adalah “Finding Harmony in the Wake of Identity Politics”.

“Tema tersebut diharapkan sebagai maps sahabat-sahabati PMII RAW dalam bidang politik kehidupan menurut Gus Dur. Bahwa tidak ada kehidupan tanpa identitas, yang sama halnya dengan politik,” tutur Sahabat Dimas, selaku perwakilan dari PMII Komisariat Raden Mas Said.

Baca juga: Gus Dur dan Gerakan Perempuan

Adapun acara pada Jumat malam dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran, kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari para ketua panitia, ketua rayon, ketua komisariat Raden Mas Said serta ketua cabang Sukoharjo. Nantinya, diskusi lintas agama akan dipandu oleh sahabat M Fiam Setyawan dari departemen keilmuan PMII RAW.

Sebelum memasuki kepada inti acara, sahabat Fiam memperkenalkan tiga narasumber yang akan membedah gagasan Gus Dur.

Narasumber yang pertama yakni Pendeta Ayub Sektiyanto dari GKI Kartasura. Pendeta Ayub mengatakan bahwa tujuan dari politik adalah sebuah kesejahteraan. Berbicara mengenai politik identitas, Pendeta Ayub menganggap bahwa identitas sebenarnya netral, adapun yang disoroti Gus Dur adalah segala ilmu beliau kemas dengan humor.

Bermula dari humor tersebut, sebenarnya Gus Dur memiliki visi yang besar pada isu-isu politik kala itu. Pendeta Ayub melihat Gus Dur adalah seorang revolusioner yang berpolitik dengan tiga cara, kontektualisasi politik; pembiasaan (habitus), serta pertemuan-perjumpaan di ruang-ruang terbuka.

Dari tiga cara yang dipaparkan oleh Pendeta Ayub, sangat dekat dengan karakter sahabat/i PMII ­dahulu ketika berbicara intelektual. Kader PMII tidak semestinya menjadikan PMII sebagai “kendaraan” alih-alih menumbuhkan “kesadaran”. Yang kemudian hal tersebut akan tercapai bila dilakukan secara terus-menerus agar menjadi sebuah habits bagi kader PMII.

Kader PMII tidak semestinya menjadikan PMII sebagai “kendaraan” alih-alih menumbuhkan “kesadaran”.

Tentu saja, hal-hal di atas akan mencapai final ketika perbincangan-perbincangan di warung kopi atau di pinggir lapangan kampus menjadi berbobot dengan acuan satu tokoh yang fundamental maupun pemikir ulung bagi kalangan mahasiswa.

Pemaparan gagasan Gus Dur dan konflik politik identitas disampaikan sesi berikutnya oleh Mukafi Fadli, seorang politisi di tingkat daerah (DPRD Jawa Tengah). Mukafi Fadli mengawali dengan 4 pilar NU yang sangat melekat pada diri Gus Dur. Kemudian pandangannya terkait identitas, “identitas itu bebas nilai, karena setiap manusia tentu memiliki identitas”.

Politik identitas merupakan produk dari elit-elit politik saat ini. Isu politik identitas sengaja dibentuk dengan tujuan untuk saling menyalahkan dan memecah belah kelompok, sama seperti sikap kolonial yang menerapkan divide et empera. Pada intinya, konflik sengaja dipelihara untuk menjaga eksistensi negara, tetapi dengan tone yang jelas.

Selanjutnya, narasumber terakhir yakni Joko Priyono, beliau merupakan seorang aktivis PMII, fisikawan partikelir, penulis, dan satu dari sekian anggota Gusdurian Solo. Joko Priyono tidak ingin terlalu lama menyinggung Gus Dur dan politik identitas, tetapi justru memberi aksentuasi bagaimana korelasi pemikiran Gus Dur kala itu dengan mahasiswa saat ini yang ghirah dalam mengejar intelektualitas semakin menipis dan nyaris habis.

Joko Priyono memberi aksentuasi bagaimana korelasi pemikiran Gus Dur kala itu dengan mahasiswa saat ini yang ghirah dalam mengejar intelektualitas semakin menipis dan nyaris habis.

Sebab, memahami politik bukan hanya tentang relasi kekuasaan atau menduduki kursi elektoral, tetapi juga memaknai diri sebagai mahasiswa. “Aspek emosi dalam tubuh harus juga dilatih, menjadi PMII bukan hanya prinsip. Tetapi saat kita membawa nilai-nilai yang sudah diberikan  (NDP),” Tutur Bung Joko.

Baca juga: Bedah Buku Mengenali Praktik Baik Ta'lim Al-Qur'an

Seusai pemaparan ketiga narasumber pada Jumat malam, sebuah diskusi kolosal tentu kurang lengkap bila tidak ada sesi tanya-jawab. Hal tersebut disambut antusias para peserta sehingga memunculkan dua pertanyaan menarik tentang sederet materi yang baru saja dipaparkan narasumber.

Setelah sesi tanya-jawab selesai, memasuki inti acara yakni pemberian kenang-kenangan dari panitia kepada narasumber, kemudian dilanjut foto bersama dengan seluruh peserta dan panitia.

Adapun sejumlah peserta yang hadir bukan hanya internal PMII, tetapi juga menghadirkan beberapa organisasi seperti IMM, KAMMI, GMNI, dan Gusdurian Solo dan Sukoharjo.

Diskusi lintas agama ini, meski digelar secara terbatas, menjadi momentum yang sangat bagus untuk kembali meneladani nilai-nilai yang sudah diwariskan oleh Gus Dur, sekaligus menempatkan ide-ide pluralis di tengah kondisi politik identitas yang semakin memanas. 

Pewarta: Nisa Kamila Labibah

Bagikan
Damarku.id adalah situs media yang didedikasikan untuk menyebarluaskan gagasan keislaman, kebudayaan, dan kemanusiaan yang berbasis kearifan lokal di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here