
Perjalanan demokratisasi Indonesia dari masa ke masa tak pernah sepi dari keterlibatan para ulama. Setiap perhelatan pemilu, tak terkecuali pemilu 2024 kali ini, tak sedikit kontestan politik melakukan safari politik ke berbagai kiai-nyai dan gus yang punya pengaruh dan banyak pengikut untuk meminta doa restu serta dukungan demi kemenangan.
Dari sisi logika politik demokrasi, hal itu sangat wajar karena kemenangan dalam kontestasi politik ditentukan oleh suara terbanyak. Untuk meraih suara terbanyak, dibutuhkan dukungan sebanyak-banyaknya dari seluruh lapisan masyarakat. Dan secara konstitusional, dukungan para ulama terhadap kontestan politik mana pun merupakan suatu keabsahan.
Persoalannya, keterlibatan politik ulama cenderung berhenti (untuk tidak mengatakan diberhentikan) pada titik dukungan pemenangan belaka, tanpa berlanjut sepanjang pemerintahan kekuasaan itu berlangsung. Akibatnya, orientasi politik ulama tidak memiliki ruang penyaluran yang memadai dalam praktik politik kekuasaan.
Landasan Ontologis
Salah satu konsekuensi logis dari dominasi umat Islam di Indonesia adalah lahirnya banyak ulama. Secara sosial-historis, kemunculannya beriringan dengan tumbuh dan berkembangnya agama Islam di kawasan Nusantara. Sehingga terminologi “ulama” mencirikan identitas agama tertentu saja: Islam.
Baca juga: Slametan di Tengah Arus Zaman
Ulama, yang semula bermakna hamba-hamba Allah SWT yang takut kepada-Nya (QS. Fathir ayat 28), telah mengalami perkembangan penafsiran terminologis. Mengutip M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (2001), ulama adalah seseorang yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam serta memahami ilmu fenomena alam.
Berbekal dua rumpun ilmu itulah ulama takut kepada Allah. Tesis tersebut diperkuat oleh pernyataan Wahbah Az-Zuhaili (1932-2015 M), bahwa secara naluri ulama adalah orang-orang yang mampu menganalisis fenomena alam untuk memperbaiki kehidupan dunia-akhirat, karena rasa takutnya kepada-Nya jika terjerumus ke dalam kemaksiatan.
Itu sebabnya, jauh-jauh sebelumnya Nabi Muhammad SAW memposisikan ulama pada kedudukan yang sakral, yaitu pewaris para nabi (al-‘ulama waratsatul anbiya’). Warisan Nabi bukan hanya berbentuk ilmu pengetahuan agama, tapi juga berbentuk sains, leadership dan akhlak mulia terhadap setiap makhluk Allah di muka bumi.
Sejarah mencatat, pasca kenabian, yang menjadi rujukan umat dalam urusan agama, kepemimpinan politik, dan sosial lainnya adalah para sahabat, lalu tabi’in (pengikut sahabat), dan dilanjutkan oleh ulama.
Strategi Pengarusutamaan
Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin negara Madinah, Nabi Muhammad SAW adalah sosok negarawan agung yang secara cerdik menyusun konstitusi negara (piagam Madinah) yang merangkul semua golongan suku dan agama, serta berorientasi pada keadilan serta kesejahteraan penduduk Madinah. Beliau juga seorang patriot ulung, yang mempunyai militansi dalam menjaga integrasi masyarakat serta kedaulatan negara Madinah.
Sebagai benteng terakhir rujukan umat, amat besar tanggung jawab ulama untuk mengorkestrasikan mandat kenabian bukan hanya dalam bidang keagamaan, tapi juga dalam bidang-bidang lain yang erat kaitannya dengan kesejahteraan umat, seperti politik, ekonomi, budaya dan sosial lainnya.
Baca juga: Agama, Nabi Muhammad, dan Politik Identitas
Namun, karena sistem demokrasi parlementer yang dianut Indonesia kini tak memungkinkan bagi para ulama untuk secara langsung menjadi pelaksana (eksekutor) kekuasaan-sebagaimana Nabi SAW, dalam batasan-batasan tertentu setidaknya para pemimpin eksekutif maupun legislatif lebih membuka ruang-ruang partisipatif yang memadai bagi mereka untuk menyalurkan aspirasi-aspirasi keagamaannya dalam proses pengambilan kebijakan politik.
Tugas ulama adalah mengorkestrasikan semangat kenabian dalam mengelola pemerintahan politik, demi cita-cita keadilan, kesejahteraan, dan terciptanya masa depan masyarakat madani yang terbaik (mabadi’ khaira ummah)
Apalagi, partisipasi publik dalam hal memberikan masukan dalam tahapan perencanaan, pembahasan, dan penyusunan peraturan perundang-undangan dijamin oleh Undang-undang (Pasal 96 ayat (1) UU P3). Keterlibatan masyarakat sipil (yang meliputi ulama) dalam perumusan kebijakan-kebijakan politik negara merupakan bagian dari partisipasi publik itu.
Dalam konteks itu, tugas ulama adalah mengorkestrasikan semangat kenabian dalam mengelola pemerintahan politik, demi cita-cita keadilan, kesejahteraan, dan terciptanya masa depan masyarakat madani yang terbaik (mabadi’ khaira ummah). Dengan demikian, produk-produk hukum yang terimplementasi dalam kebijakan-kebijakan pemerintah tidak tercerabut dari akar keadilan dan kesejahteraan warga negara.
Perlu digarisbawahi, mengarusutamakan politik ulama yang diilhami nilai-nilai universal Islam dalam kebijakan-kebijakan politik negara tidaklah sama dengan semangat yang diusung kelompok-kelompok Islam politik yang bercorak konservatif-radikalis. Kelompok Islam politik justru mencita-citakan negara Islam dengan hendak menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif negara, sehingga muncul semboyan “NKRI Bersyariah”.
Jauh sebelum reformasi bergulir dan gonjang-ganjing gerakan Islam politik yang hendak mendirikan negara Islam di Indonesia, Kiai MA. Sahal Mahfudh (1994) mengusulkan gagasan menarik dalam hal menegosiasikan hukum Islam dan negara.
Menurut ulama kharismatik kelahiran Kajen, Pati, Jawa Tengah itu, agar semangat revolusioner serta progresivitas Islam tersemai dalam praktik politik kekuasaan, hukum Islam (fikih) tidak perlu dijadikan hukum positif negara, melainkan dijadikan etika sosial-politik sebagai pedoman para pemimpin politik.
Gagasan Kiai Sahal tersebut jauh lebih relevan bagi sistem politik Indonesia, ketimbang memaksakan kehendak legislasi hukum Islam yang hanya bertentangan dengan konstitusi dan kebinekaan kita. Inilah hakikat politik Islam: mengintroduksi cita-cita keadilan, kesejahteraan, kesetaraan dan kebebasan Islam dalam praktik politik yang sah.
Untuk mewujudkan semua itu, para calon politikus maupun politikus itu sendiri tidak boleh hanya menjadikan dukungan politik ulama sebagai instrumen kemenangan belaka, tapi juga harus dijadikan rujukan dalam proses pengambilan kebijakan-kebijakan politik secara berkelanjutan. Para ulama pun tak boleh antipati terhadap mandat kenabian yang diwariskan kepadanya.
Ulama bukan “pendorong mobil mogok” yang hanya dibutuhkan saat ingin mencapai tujuan (kemenangan), tetapi diabaikan setelah mobil mogok itu sampai pada tujuan. Ulama adalah “nabi-nabi” masa kini yang bertugas mewujudkan cita-cita kemaslahatan Islam dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.