Pohon religiositas
Ilustrasi dari maspaeng

Pohon sering kali hadir mewarnai cerita tentang alam kehidupan. Kisah-kisah pohon kebanyakan tersebar di berbagai karya sastra dunia maupun mistisisme kisah Nusantara. Pohon adalah salah satu makhluk yang dapat dikisahkan dari catatan sejarah peradaban umat manusia. Selain cerita dalam buku dan legenda, nilai pohon juga terkandung dalam kitab suci (Al-Quran) dengan nuansa religiositas.

Pemaknaan pohon dalam kandungan kitab suci adalah bentuk pentingnya menjaga dan melestarikan makhluk yang telah Tuhan ciptakan. Kita dapat melihat kisah pohon dalam Al-Quran yang diterjemahkan H.B Jassin berjudul Bacaan Mulia (1982).

Pohon itu terdapat dalam Surah Ar-Ra’d ayat : 4 yang berarti” Dan di atas bumi ada bidang-bidang tanah berdampingan,/Kebun anggur dan tanaman,/ Pohon korma berakar satu,/ Dan yang tumbuh berumpun,/ Disirami dengan air yang sama./ Namun yang satu lebih enak/ Kami ciptakan dari yang lain/ Sebagai makanan./ Sungguh, dalam yang demikian/ Ada tanda-tanda (Kekuasaan Tuhan)/ Bagi orang yang menggunakan pikiran.//

Kita dapat menafsirkan ayat tersebut, bahwasanya Tuhan telah memerintahkan kepada manusia berakal untuk senantiasa menjaga dan menghormati pohon sebagai sumber kehidupan. Peran dan jasa pohon dalam memberikan kenikmatan pada umat manusia begitu besar. Berjuta-juta manfaat seperti oksigen, buah, dan dedaunan dapat digunakan sebagai kebutuhan pangan.

Kesadaran dalam berperilaku menghormati sesama makhluk hidup inilah yang sering kali terabaikan oleh umat manusia. Padahal pohon telah bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan manusia. Di bumi, pohon begitu berbakti terhadap perintah Tuhan. Pohon senantiasa beribadah dengan menghasilkan oksigen secara cuma-cuma (gratis).

Mereka adalah makhluk yang selalu bersujud nan takut melanggar perintah agama. Kita dapat melihat ratapan religiositas pohon di kumpulan cerpen pilihan perhutani green pen award 2014 berjudul Nyanyian Meranti Merah (2015).

Cerita pendek yang ditulis M. Nur ahrul Lukmanul Khakim berjudul Ode Pohon Desa mengisahkan ratapan sebuah pohon yang direligioskan oleh masyarakat desa. Pohon beringin berkata ”nyawaku sudah menunggu hitungan detik sebelum tumbang oleh gergaji mesin itu.

Ratapan Pohon

Seruan-seruan kalimat Tuhan menaburi udara pedih di sekitarku siang itu. Perutku tak mampu menahan beban tubuh ketika benda tajam itu selesai melakukan tugasnya dengan sempurna.” Pohon menceritakan detik-detik menjelang kematiannya. Peristiwa itu berawal dari tuduhan dan penafsiran Mahmud (pemuda desa) dalam memaknai pohon dan ulah manusia.

Baca juga: Kerusakan Lingkungan dan Tinggal Jejak

Ia mengatakan bahwa pohon tersebut adalah biang kesyirikan masyarakat desa. Pemujaan berbagai sesaji oleh masyarakat desa dianggap perbuatan yang menyimpang oleh pohon. Dampaknya adalah pohon sebagai sasaran penyelesaian masalah dari berbagai kasus pohon yang direligioskan. Para pemuda desa yang terlalu fanatik terhadap golongan keagamaan tertentu menganggap perbuatan tersebut telah melanggar perintah agama. Pohon itu harus ditebang, agama harus diluruskan!

Sering kali meluruskan persoalan agama dan penyimpangan sosial perlu beradu argumentatif dalam penafsiran kontekstual. Mahmud adalah seorang mahasiswa di Yogyakarta. Sejak ia belajar di sana, pemahaman keagamaannya terkadang tidak sejalan dengan orangtuanya. Adu argumentasi dan konflik pun sering terjadi dalam menafsirkan tradisi.

Salah satunya adalah perbuatan mereligioskan pohon dengan kesalahan fatal. Pemberian sesaji di pohon beringin di tengah desa, telah menjadi tradisi yang semestinya dipikirkan. Mahmud bersikeras mengatakan bahwa itu adalah perbuatan syirik.

Namun mahmud tidak mempertimbangkan, bahwa kesyirikan itu dilakukan masyarakat atau pepohonannya. Ia menafsirkan pemaknaan syirik adalah ulah manusia, namun pohon beringinlah yang mesti menjadi sasaran sikap otoriter dari kegeramannya terhadap sikap manusia yang meritualisasikan pohon.

Kita patut merenungkan ungkapan pohon beringin sebelum tumbang: ”Syirik? Aku tak mengerti alasan dia menuduhku sebagai sarang setan. Aku telah beriman penuh pada Tuhan yang Maha Esa yang telah menciptakanku. Aku tak pernah meminta disembah siapapun. Selama hidupku, aku selalu menyimpan baik-baik kandungan air dalam tanah ketika musim hujan. Saat musim kemarau tiba, aku akan melepas cadangan air itu sehingga desa tidak kekeringan. Aku menyimpan air itu dengan sepenuh hatiku, sebagai rialat suci takdirku. Aku tak mau desa itu rusak karena banjir atau pun kekeringan.”

Pengungkapan tugas pohon beringin telah manjadi nasehat terhadap umat manusia. Pemaknaan mereligioskan pohon semestinya bukan tindakan yang melakukan berbagai ritual yang malah mengancam keberadaan pohon. Dengan merawat, membersihkan dan melindungi itulah suatu tindakan yang dapat dikatakan mereligioskan pohon.

Pohon yang direligioskan

Pohon-pohon menjadi hidup dalam keberagamaan, bersosial dan berkeluarga tatkala terawat dengan kebersamaan. Hal yang sama pasti akan dilakukan pohon terhadap umat manusia. Kita mafhum, bahwa tugas manusia yang semestinya adalah sebagai khalifah pelindung makhluk hidup dari kerusakan dan kepunahan.

Religiositas nilai pohon dalam Al-Quran bukanlah menjadi sumber informasi yang termaktub sebagai pohon yang diritualkan. Pohon dalam Al-Quran adalah bentuk sejarah kisah masyarakat di Timur Tengah yang memiliki peran manfaat sebagai kebutuhan makanan sejak masa Rasulullah. Pohon kurma yang penuh kandungan gizi berguna sebagai kebutuhan makanan para jamaah haji dan masyarakat setempat.

Maka cara masyarakat setempat memaknai pohon kurma tersebut hanyalah sebatas merawat, membersihkan, menyiraminya. Perilaku religios tersebut manjadi tanggung jawab masyarakat atas nikmat yang diberi kelimpahan dari berbagai hasil makanan.

Pemaknaan religiositas pohon begitu sederhana nan penuh makna dalam beragama dapat diukur dengan perilaku manusia. Lain halnya perilaku masyarakat Indonesia dalam memaknai sebuah pohon. Sejak dahulu, masyarakat Nusantara masih memiliki kepercayaan dengan aliran animisme dan dinamisme.

Kesadaran dalam berperilaku menghormati sesama makhluk hidup inilah yang sering kali terabaikan oleh umat manusia. Padahal pohon telah bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan manusia

Aliran-aliran yang masih mempercayai adanya roh-roh di berbagai bebatuan, pohon, prasasti sejarah masih melekat terhadap tradisi orang-orang di Jawa. Perilaku orang abangan atau kaum priyayi di keraton masih banyak menjunjung sikap mistisisme terhadap pohon. Kebudayaan dari para leluhur tersebut berdampak pula terhadap pola pikir masyarakat kepada pohon-pohon besar yang dianggap keramat.

Maka memaknai religiositas pohon terdapat banyak kekeliruan yang terjadi dalam paradigma masyarakat Indonesia. Tradisi-tradisi pemberian sesaji masih kerap kali kita temui di berbagai pohon besar di kuburan, hutan dan di tengah masyarakat. Hal itu tampaknya telah menjadi rutinitas pemahaman masyarakat di berbagai penjuru wilayah Nusantara.

Kita dapat melihat tradisi agama Jawa dalam meritualisasikan pohan tersebut di Gunung Berapi Yogyakarta. Elizabeth D. Inandiak pernah menulis buku berjudul Babad Ngalor-Ngidul (2016) yang menyoroti kejadian sebelum gempa jogja pada 27 Mei 2006. Berawal kisah khayalan (dongeng) yang ditulis pada 1991 tentang pohon Beringin Putih dan Batu Gajah terasa nyata tatkala juru kunci Dusun Kinahrejo mengadakan berbagai ritual di dalam hutan.

Dalam buku tersebut banyak mengulas kisah mistisisme di Gunung Berapi. Dahulu terdapat seorang pendekar bernama Barata. Ia seorang pamburu gajah yang tak terkalahkan. Namun menjelang hari demi hari gajah kian terasa punah, ia memutuskan untuk menjadikan gajah yang tersisa tersebut sebuah pohon beringin agar gajah itu senantiasa hidup. Impiannya tampaknya menjadi kenyataan, bahwa gajah terakhir dan termasuk dirinya berubah menjadi sesosok “Pohon Gajah.”

Cerita-cerita tersebut menjadi mitos yang dianut masyarakat setempat nan dipuja. Adanya Beringin Putih dan Batu Gajah di tengah lereng Gunung Berapi menjadi benda yang diritualkan. Masyarakat setempat yang masih berdekatan dengan keraton sering melakukan berbagai kegiatan dan upacara tertentu dalam keberagamaan masyarakat Jawa. Mereka masih percaya adanya keselamatan dan pembawa penentuan nasib melalui ritual dan sesaji.

Kita mengerti, letak pohon seringkali menjadi penentu kemistikkan. Di keraton pasti terdapat pohon beringin yang diritualkan dalam ajaran kejawen. Dampak dari pemahaman keagamaan tersebut dapat pula memicu konflik internal sesama Islam pada era modern.

Adanya percampuran kepercayaan (sinkretisme) menjadi ketimpangan sosial dalam beragama. Kita dapat melihat mempersoalkan pohon dalam beragama juga pernah terjadi di novel Mahfud Ikhwan berjudul Kambing dan Hujan (2016) yang membuat gempar warga desa.

Pada 1960 an di desa Centong terhadap pohon Mahoni di tengah kuburan. Pohon yang masih dipercaya adanya makhuk halus sebagai penunggu pohon tersebut masih sering diberi sesaji oleh masyarakat desa. Lantaran geram, gerakan Islam pembaharuan menebang pohon tersebut secara diam-diam untuk dijadikan bahan bangunan masjid yang ingin mereka dirikan.

Namun Cak Ali beserta rombongan yang terdiri dari 20 orang tak kuasa menumbangkan pohon tersebut. Hal itu lantas diketahui oleh Ustad Mahmud. Penebangan secara gegabah dengan anjuran nafsu tersebut yang membuat pohon tak mau runtuh. Mereka semakin takut tatkala salah seorang mengatakan “penunggunya marah.”

Hal senada juga dikatakan oleh ustad Mahmud, ia menjelaskan makhluk halus dan pepohonan adalah makhluk Tuhan juga yang perlu perlakuan untuk saling menghargai, maksudnya bukan perlakuan yang meritualkan dan dipuja namun nalar manusia dalam beragama inilah yang perlu diperhatikan masyarakat di Indonesia.

Makna religious

Melihat berbagai realitas pemaknaan pohon tampaknya menjadi persoalan yang pelik dalam keadaan sosial. Kita malah sering menyaksikan berbagai kisah pohon yang dijadikan ritual, dipuja dengan diberi sesaji ketimbang menyaksikan adegan manusia bersama pohon penuh keceriaan. Di kala kecil kita sungguh dapat bermain dengan pohon, bergelantungan, mencari buah adalah peristiwa yang menyenangkan.

Pohon menjadi teman bermain yang dapat mengenalkan alam dan tumbuhan. Kita dapat membaca buku Shel Silverstein berjudul The Giving Tree (2015) adalah peristiwa perkenalan seorang anak laki-laki dengan pohon apel. Mereka lantas bersahabat hingga mengukir nama mereka bersama di batang pohon. Setiap hari anak laki-laki tersebut mengunjunginya. Ia menikmati persahabatan itu lantaran sering bermain dan berinteraksi.

Baca juga: Mitos dan Keberpihakan Lingkungan (2)

Namun seiring ia tumbuh besar dan berkeluarga, perubahan sikap dan perilakunya terhadap pohon tersebut telah berubah. Ia tak dapat melakukan aktifitasnya kembali dikala kecil. Laki-laki itu hanya menceritakan keluh-kesahnya yang ia alami saat berkeluarga. Ia meminta kepada pohon untuk terus membantunya. Dari buah hingga batang, ia minta dari pohon sebagai kebutuhan hidup.

Pohon itu selalu membantunya, meski sang pohon harus merelakan hidupnya. Penutupan dalam bacaan itu terkesan menyedihkan, pohon tersebut ia tebang sebagai bahan bangunan rumah. Namun setelah itu, ia merasa menyesalkan yang amat mendalam atas perbuatannya.

Pohon itu tak dapat lagi dihidupkan. Ia merindukan kisah-kisah semasa kecil dan meratapinya. Dalam kisah tersebut kita dapat mencermati religiositas yang terbentuk bersama pohon semasa kecil. Pohon dan manusia menjadi hal yang saling membutuhkan dalam memaknai berbagai kisah kehidupan.[]

Bagikan
Editor Damarku.id & Pengacara LBH MHH Aisyi'yah Jawa Tengah. Alumni Akademi Mubadalah 2025.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here