Pendidikan Moderasi Sekolah

Perkembangan gerakan islamisme dalam ruang lingkup pendidikan menjadi titik sentral yang harus diwaspadai serta diamati oleh pemerintah. Dari berbagai hasil riset menunjukkan,  gerakan keagamaan yang terpapar paham radikal-ekstrem ini cukup memperoleh tempat dalam menyebarkan doktrin keagamaan di sekolah.

Indikator tersebut bukan sekadar asumsi, tetapi menjadi realitas yang tidak dapat dipungkiri. Sebab dari hasil riset menunjukkan, kota-kota metropolitan justru menjadi sarang dakwah bagi sejumlah kelompok Islam konservatif untuk mewujudkan visi-misi Islam secara dogmatik.

Sejarah kegagalan gerakan Islam konservatif di masa lalu memunculkan ide besar, yakni melalui lembaga pendidikan, gerakan tersebut dapat menyalurkan aspirasi ide politik identitas. Dampak kongkrit gerakan tersebut, mereka mengklaim pahaman Islam yang diyakininya paling benar sebagai upaya mempromosikan bentuk masyarakat muslim ideal (khilafah).

Problematika dari temuan tersebut terangkum dalam buku berjudul Moderasi Beragama: Reproduksi Kultur Keagamaan Moderat di Kalangan Generasi Muda Muslim yang ditulis oleh Nur Khafid (2023). Buku yang semula dari karya disertasi tersebut memaparkan sejauh mana implementasi nilai-nilai moderasi beragama diterima dalam ruang pendidikan di madrasah.

Untuk memperoleh data secara signifikan, Nur Khafid menyusuri sekitar 7 Kabupaten-Kota Sekarisidenan Surakarta sebagai objek penelitian lapangan mengenai kebijakan moderasi beragama dalam ruang lingkup internal madrasah. Kesimpulan dari penelitian tersebut menjelaskan, dari beberapa madrasah yang berbasis “Islam Terpadu” tidak semuanya mempraktikkan moderasi beragama secara komunal dalam sistem pendidikan sebagai kurikulum yang harus ditaati para siswa madrasah.

Baca juga: Polemik Tradisi Intelektual Islam Abad Kegelapan

Temuan ini pada dasarnya membuktikan bahwa lembaga pendidikan Islam tidak semuanya menyutujui paradigma moderasi beragama sebagai bahan pengajaran dalam ruang pendidikan. Terdapat kemungkinan secara jelas, bahwa lembaga pendidikan Islam yang tidak mendukung kebijakan pemerintah dalam menyebarkan nilai-nilai moderasi beragama patut diduga terafiliasi kelompok Islam konservaif.

Gerakan tersebut juga pernah diteliti oleh Yanwar Pribadi— bahwa “Sekolah Islam telah berhasil memainkan peran penting dalam menghidupkan politik identitas Islam yang anti-pluralis dan intoleran di Indonesia. Mereka lebih mengedepankan pemahaman agama dan identitas Islam yang cenderung konservatif, puritan, dan eksklusif. Yang dapat dilihat dari indikator respons peserta didiknya terhadap pemimpin beda agama, sikap hormat terhadap bendera Merah Putih, kewajiban  berjilbab, dan persetujuan terhadap ide khilafah (hlm. 21).”

 Tentu, gagasan politik identitas sampai sekarang masih menjadi problem serius  masyarakat Indonesia yang memiliki etnisitas, keberagaman, dan multikultural. Secara historis, sejak masa Reformasi, arus kebebasan berpendapat memang kian tak dapat terbendung.

Dampaknya secara langsung menyebabkan politik identitas dari gerakan transnasional memainkan peranan dakwah keagamaan secara sentral dalam aspek gerakan politik dari ranah pendidikan. Gerakan ini begitu masif melakukan dakwah agama secara eksklusif dan dogmatik berlandaskan Al-Quran dan hadis.

Gerakan dakwah tersebut kemudian bertransformasi dalam ruang lingkup partai politik dan ruang pendidikan sebagai basis gerakan terstruktur. Doktrin-doktrin keagamaan yang mereka anut banyak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan dasar negara di Indonesia, seperti salah satu gagasan ajarannya untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia.

Persoalan politik identitas ini sebenarnya sudah dikritik keras oleh Ahmad Syafii Maarif, dkk, dalam buku berjudul Politik Identitas dan masa Depan Pluralisme Kita (2010). Buya Syafii menjelaskan berbagai gerakan islamisme dan Salafi seperti; Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah gerakan yang membahayakan keberlangsungan sistem demokrasi di Indonesia.

Sebab pada realitasnya mereka menolak sistem yang diciptakan oleh masyarakat Barat yang—kemudian dijadikan pedoman untuk mengatur sistem ketatanegaraan umat muslim di Indonesia. Gagasan dari gerakan tersebut menurut Buya Syafii merupakan kekeliruan yang amat fatal serta tidak didasari membaca sejarah masa kelam umat Islam dalam menentukan sistem pemilihan pemimpin umat muslim di masa lalu.

Buya Syafii juga menyampaikan gerakan islamisme ini belum bisa berpaling dari masa lalu yang penuh kenangan akibat konflik politik kepentingan, dan kekuasaan saat sistem monarki dijalankan berabad-abad lamanya. Sistem yang mereka percayai tersebut sebenarnya telah merusak nilai-nilai pluralisme beragama di Indonesia, sehingga gagasan dari gerakan Islam konservatif tidak patut untuk dipertimbangkan, apalagi diterapkan dalam ruang lingkup masyarakat multikultural.

Pada kenyatannya gerakan dan doktrin eksklusivisme tersebut  kemudian dilarang oleh pemerintah. Larangan terhadap kelompok ini juga didukung dengan dicabutnya izin organisasi mereka akibat berbagai dakwahnya sering menggunakan tindakan kekerasan, ancaman, serta main hakim sendiri.

Baca juga: Perang Obor: Tradisi Tolak Bala di Tegalsambi Jepara

Meskipun organisasi dari kelompok Islam konservatis tersebut dibekukan, doktrin dari gerakan Islam konservatif tersebut tidak sepenuhnya hilang, akan tetapi mulai merambah melalui ruang pendidikan di madrasah di Indonesia. Pola pengajaran di madrasah yang notabennya fokus pada ajaran Salaf dengan mendalami ilmu tauhid semata, memberikan cara pandang beragama menjadi lebih rigid dan sempit.

Akibatnya, praktik pembelajarannya pun lebih mengedepankan ilmu-ilmu agama, yang terkesan abai terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perilaku tersebut begitu kongkrit dalam menunjukkan siswa madrasah yang dengan mudahnya dipengaruhi doktrin pemikiran keagamaan yang eksklusif.

Membangun Kebijakan

Sejak gagasan moderasi beragama kemudian dilegalitaskan, menjadi bukti kebijakan pemerintah sangat serius terhadap pentingnya menyampaikan konsep moderasi beragama di Indonesia. Sejak tahun 2020, moderasi beragama menjadi bagian dari kebijakan nasional yang diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpes), Peraturan Menteri Agama (PMA), Keputusan  Menteri Agama (KMA), dan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam.

Peraturan tersebut secara substansi menjelaskan moderasi beragama dapat memperkuat dan mengukuhkan toleransi, kerukunan antar-umat beragama, dan harmoni sosial. Program serta gagasan tersebut digenjarkan untuk meminimalisir gerakan radikalisme, terorisme, yang acapkali mengatasnamakan agama Islam sebagai sumber masalah dan perpecahan internal umat Islam.

Dalam menyampaikan pemikiran moderasi beragama, Nur Kafid menjelaskan secara detail berbagai prinsip dasar moderasi beragama yang harus dipraktikkan. Prinsip-prinsip tersebut antara lain seseorang harusnya memegang teguh sikap tawassuth (mengambil jalan tengah), tawazzun (berkeseimbangan), i’tidal (lurus dan tegas), tasamuh (toleransi), musawah (egaliter), dan syura (musyawarah).

Prinsip-prinsip tersebut seharusnya diperhatikan serta diimplemantasikan oleh semua umat manusia manakala terjadi perbedaan cara pandang keagamaan, sehingga tidak sepatutnya konflik atas nama agama terulang lagi di Indonesia.

Secara substansial, apa yang disampaikan Nur Khafid dalam pengembangan dalam konsep moderasi beragama jangan hanya dipahami sebatas konsep atau pemahaman teoritis belaka, akan tetapi moderasi beragama harus kita praktikkan dan diterapkan ke dalam sendi-sendi kehidupan bersosial-masyarakat. Dampak kongrit dari pemahaman moderat tersebut dapat terwujudnya rasa kenyamanan dan keamanan bagi sosial-kultural di masyarakat Indonesia.

Baca juga: Ponpes Hanacaraka: Membumikan Walisongo lewat Lirik Lagu

Langkah-langkah tersebut jelas lebih kongkrit ketika didukung berbagai kebijakan pemerintah, seperti dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2020 tentang rencana kerja pemerintah tahun 2021. Atas peraturan tersebut, pemerintah lebih serius menerapkan langkah progresif dalam menyampaikan konsep moderasi beragama.

Upaya pemerintah dalam program kerja moderasi beragama tersebut memiliki langkah yang cukup signifikan, di antaranya, pertama “melakukan penguatan terhadap sistem pendidikan yang memiliki perspektif moderat, yang mencakup pengembangan kurikulum, materi dan proses pengajaran, pendidikan guru dan tenaga kependidikan, serta proses rekrutmen guru.

Kedua, memanfaatkan ruang publik untuk pertukaran ide dan gagasan di kalangan pelajar, mahasiswa dan pemuda lintas budaya, lintas agama dan lintas suku bangsa (hlm.106).”   

Kebijakan tersebut harus didukung untuk menyadarkan kepada masyarakat tentang betapa pentingnya moderasi beragama. Sebab praktik di lapangan terutama di sekolah, sebagian pimpinan madrasah atau sekolah masih mempersoalkan konsep “moderasi” yang dianggap lahir dari Barat. Mereka menganggap bahwa konsep moderasi menjadi permasalahan serta tidak patut bila dijadikan landasan dalam sistem pendidikan, sosial, maupun dalam aspek teologis.

Potret moderasi dijustifikasi membawa ancaman terhadap nilai-nilai akidah umat Islam karena mendukung pemahaman sekulerisme, liberalisme, maupun pluraisme. Indikator alasan tersebut sering kali disalah artikan bagi sebagian umat Islam atau pimpinan madrasah/sekolah untuk menolak diterapkannya konsep moderasi di lingkungan madrasah dan sekolah.

Padahal praktik moderasi beragama justru menekankan pada ajaran-ajaran hubungan sesama umat manusia, bukan sebatas dimaknai konsep penyimpangan tauhid!

Konsep Kemanusiaan

Sindhunata dalam tulisannya berjudul Humanisme di Indonesia mini yang termuat dalam buku Mengembangkan Indonesia Kecil (2013), memaknai moderasi justru tidak bersifat ekstrem. Kendati demikian, moderasi dimaknai oleh Sindhunata ialah segala sesuatu yang dapat mengendalikan atau menahan diri, tahu batas, ugahari, tidak terburu nafsu, dan ketahanan hati.

Artinya, moderasi lebih diartikan sebagai konsep yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan. Sikap yang lebih mengutamakan nilai humanisme jauh lebih penting ketimbang sekadar memaknai moderasi dengan mempersempit makna pada urusan sikap politik semata.

Sindhunata mengatakan “moderasi  tidak sekadar sikap yang memihak kanan atau kiri, konservatif atau liberal, nasional atau universal, serta juga tidak bersifat peyoratif. Moderasi adalah spiritualitas inkarnasional yang mau membela manusia dan kemanusiaan secara mati-matian, dengan cara mencintai dan menyayangi sesama manusia.”

Memperjuangkan nilai humanisme memang tidak mungkin dijalankan dengan cara  kekerasan, kekakuan, doktriner dogmatis, dan ideologis. Langkah kongkrit yang bisa dilakukan ialah hanya dengan kesabaran, menjauhi hawa nafsu, serta menghormati segala aspek sosiologis untuk dapat menegakkan nilai kemanusiaan.

Kesadaran terhadap aspek humanisme tersebut memberi pengaruh yang signifikan terhadap ruang lingkup pendidikan jika nilai-nilai moderasi dipraktikkan di sekolah. Usaha implementasi dalam mengarusutamaan moderasi beragama telah dilakukan oleh Kementerian Agama dengan menggunakan berbagai teknik untuk menangkal arus radikalisme.

Upaya pengarusutamaan ini dilakukan pertama, dengan membuat program Syiar Anak Negeri. “Program ini dilaksanakan atas kerjasama Direktorat KSKK madrasah dan Metro TV. Program yang disiarkan secara langsung (live) ini bersifat terbuka bagi seluruh peserta didik Madrasah Aliyah di seluruh Indonesia” (hlm. 136).

Program tersebut dikemas dalam bentuk pencariaan bakat dan minat remaja muslim untuk berdakwah dengan syiar dan syair melalui perlombaan. Tema-tema dalam program ini tidak lepas dari cinta tanah air: NKRI Harga Mati, Indonesia sudah islami, dan Bhineka Tunggal Ika; Islam Wasathi (fenomena intoleransi dan radikalisme, toleransi, dan trilogi ukhuwah); cara bijak bermedia sosial serta kebanggaan sebagai peserta didik di madrasah.

Baca juga: Seikat Risalah dari Ceramah

Harapan kongrit dari program tersebut ialah generasi muda muslim di Indonesia dapat mensyiarkan pemahaman Islam yang inklusif, saling menghormati dan menghargai antar umat beragama.

Selain itu, harapannya dari program ini setidaknya dapat membekali generasi muda untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas potensi diri, sehingga di masa depan mereka dapat memberikan kontribusi  dalam pengembangan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. 

Selain program Syiar Anak Negeri, Kementerian Agama juga menginisiasi penyusunan, penerbitan, dan desiminasi buku modul yang berjudul “Membangun Karakter Moderat Peserta Didik madrasah.” Buku modul ini berisi tentang panduan terkait pemahaman nilai-nilai moderasi beragama bagi siswa-siswi di madrasah.

Secara langsung, buku ini berupaya untuk meminimalisir dampak negatif dari arus perkembangan teknologi informasi yang semakin bebas yang—dapat berdampak pada katakter dan jati diri siswa.

Secara substansi, apa yang disampaikan dalam buku modul tersebut hanya berkutat pada aspek berkarakter moderat, kebangsaan, berlaku adil, persaudaraan, santun dan bijak, inovatif, kreatif dan mandiri. Sikap tersebut yang sepatutnya diperhatikan oleh remaja muslim di Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat sekitar.

Kemudian yang ketiga, program pelatihan kepemimpinan  yang disebut sebagai Madrasah Student Leadership Award (MSLA). Program ini bertujuan melakukan penguatan karakter siswa-siswi madrasah/sekolah.

Harapannya setelah adanya program Madrasah Student Leadership Award dari Kementerian Agama dalam mengarusutamakan moderasi beragama supaya dapat mencetak calon pemimpin masa depan, khususnya generasi muda agar memiliki pengetahuan Islam moderat, juga berwawasan kebangsaan yang kuat. Berbagai langkah-langkah tersebut dilakukan Kementerian Agama guna meminimalisir pemahaman Islam konservatif yang masuk dalam ranah madrasah/sekolah.

Nur Khafid di dalam bukunya tidak hanya sekadar menyampaikan problem atau permasalahan yang mendasar terhadap moderasi beragama yang dialami generasi muda muslim di Surakarta. Tetapi juga memberikan ulasan secara komprehensif terhadap berbagai kebijakan Kementerian Agama dan pendapat-pendapat pemikir muslim yang mendukung konsep moderasi beragama di Indonesia.

Meskipun sejauh ini, sebagian umat muslim memiliki penafsiran yang berbeda di dalam memahami konsep moderasi, tetapi yang terpenting yang harus dipahami ialah moderasi beragama tidak mengajarkan tindakan kekerasan atas nama agama, melainkan adanya konsep moderasi beragama menganjurkan setiap insan manusia harus menciptakan rasa kenyamanan serta kasih sayang sesama umat manusia dalam beragama.

Bagikan
Editor Damarku.id & Pengacara LBH MHH Aisyi'yah Jawa Tengah. Alumni Akademi Mubadalah 2025.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here