
Etika sering kita pahami sebagai konsepsi ihwal baik dan buruknya perangai seseorang. Musabab etika bersumber dari manusia sebagai sesuatu yang intrinsik (hati nurani) dan entrinsik (kebiasaan/lingkungan), ia mampu menjadi pembeda tegas dengan yang liyan, makhluk selain manusia. Tata etika ini pun mampu mengukuhkan marwah dan martabat manusia.
Atas dasar pembeda dan menjaga marwah/martabat itulah, segala yang berhubungan dengan manusia akan turut menyertainya, termasuk berkenaan dengan pekerjaan dan profesi. Dalam hal berkehidupan sosial saja, manusia sebagai makhluk sosial mesti punya etika, mengindahkan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang. Belum lagi jika hal ini terkait dengan profesi tertentu, sudah pasti ada aturan etis.
Di banyak bidang pekerjaan, etika memang kerap tidak tertulis. Sama halnya dalam etika dalam kehidupan sosial. Justru karena sifatnya yang abstrak ini, etika bisa dinilai baik-buruknya lewat kacamata moralitas. Semua pekerjaan sudah pasti memiliki segudang etika di dalamnya, apalagi dalam hal kerja-kerja formal-profesional.
Aturan Demarkasi
Di pelbagai sektor, profesionalitas kerja sebenarnya bukan hanya diukur dari intelektualitas dan elektabilitasnya. Fragmen etikabilitas pun menjadi penting karena tanpanya, dua ukuran tadi sejatinya sia-sia. Ada seorang profesional, umpamanya, keilmuannya mentereng dan banyak penggemarnya, tetapi ia kerap berbohong dan bermain kotor. Secara moral itu sama saja bohong.
Atas dasar itu, dalam hal pekerjaan, etika diturunkan ke dalam sebuah kode etik. Sebagai contoh, kita kerap melihat-saksikan Aparat Penegak Hukum — entah hakim, jaksa, polisi, atau advokat — bermasalah dengan kode etiknya.
Etika aparat penegak hukum jangan menjadi residu bagi tercapainya tujuan hukum itu sendiri. Para penegak hukum tidak boleh menjadi ampas dari formalisme etika-etika yang tidak dijalankan
Melihat risiko yang terjadi atas pengabaian etika aparat penegak hukum, maka tak heran hampir di semua program studi hukum di perguruan tinggi selalu menawarkan mata kuliah Etika Profesi Hukum. Dengan harapan, para calon APH atau profesi hukum lainnya paham dan punya bekal pengetahuan yang cukup dan mumpuni ihwal etikabilitasnya kelak.
Buku Etika Profesi Hukum (2023) gubahan Widodo Dwi Putro memberi sebuah pandangan bahwa etika profesi berusaha menjernihkan agar jangan sampai profesi hukum kehilangan orientasi nilai. Pada dasarnya, aturan etika (kode etik profesi) — termasuk profesi hukum — adalah sebuah norma atau kaidah moral yang menjadi taklimat sikap, perilaku, dan perbuatan anggotanya dalam menunaikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab.
Sebagai aturan normatif (das sollen) begitulah adanya, tapi secara kenyataan (das sein), terkadang banyak sekali penerobosan kode etik yang dilakukan. Dalam instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) saja, misalnya, ada tiga kewajiban etika profesi (sebagai das sollen) yang mesti aparat tunaikan secara penuh. Di antaranya ada etika kenegaraan, kelembagaan, dan kemasyarakatan.
Baca juga: Menua bersama Ikan Lele
Namun, kewajiban-kewajiban di lembar aturan itu bisa berbeda dengan pelbagai fakta empiris di lapangan. Kerap dijumpai banyak pelanggaran etik yang dilakukan oleh anggota Polri.
Misalnya dalam Etika Kenegaraan, oknum anggota Polri sering melibatkan diri pada kegiatan politik praktis, turut mendulang suara bagi pasangan calon tertentu. Menyalahgunakan kewenangan (abuse of power) dalam melaksanakan tugas kedinasan pada Etika Kelembagaan. Serta pada Etika Kemasyarakatan (penegakan hukum), tak jarang mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait dalam perkara yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ini baru satu lembaga APH, belum lagi di instansi-instansi lain seperti Mahkamah Agung (pengadilan), Kejaksaan Agung, Lembaga Pemasyarakatan, organisasi advokat (jasa hukum), dan masih banyak lagi. Masih terasa banyak kerenggangan (gap), ketidakcocokan, dan ketidakharmonisan mengenai kode etik aparat penegak hukum tiap lembaga dengan apa yang riil terjadi di lapangan. Terkadang kode etik itu hanya tertulis saja, tapi jauh dari pengamalan.
Insan Berbenah
Oleh karena sifatnya nan internal, justru kode etik seharusnya bisa mengurai segala permasalahan dan mengatur roda gerak tiap lembaga/instansi. Etika aparat penegak hukum jangan menjadi residu bagi tercapainya tujuan hukum itu sendiri. Para penegak hukum tidak boleh menjadi ampas dari formalisme etika-etika yang tidak dijalankan.
Sesama APH harus saling mengingatkan agar hukum, menurut Subekti dalam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (1977) karya C.S.T. Kansil, mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Pendek kata, hukum melayani tujuan negara lewat penyelenggaraan “keadilan” dan “ketertiban”.
Mengapa demikian? Bayangkan saja, manakala para APH di tiap instansi patuh dan taat pada kode etik masing-masingnya, lantas jaminan hukum berkualitas yang mereka tegakkan niscaya mampu membuat setiap elemen sosial merasa tenteram dan harmoni.
Baca juga: Memperkuat Literasi Politik Berbasis Budaya Kewargaan
Dengan upaya evaluasi dan pembenahan institusi, harapan masyarakat, kendati memang penegakan hukum di Indonesia belum sebagus negara Amerika, Inggris, Belanda. Setidak-tidaknya pembenahan harus dimulai dari APH lekas-lekas.
Jalan utamanya adalah benahi internal lewat beragam cara. Patuhi kode etik, adalah satu di antaranya. Dengan ini, peristiwa mutakhir mengenai Reformasi Polri, umpamanya, bisa lamat-lamat berjalan.
Rumah kita berantakan, alangkah lebih bijaksana untuk membereskan dulu. Sebelum kita gotong royong bersama tetangga dan warga lainnya membersihkan kampung halaman.






