
Puluhan bahkan ratusan tahun, pulau Jawa dikenal sebagai pulau yang memiliki nilai budaya dan kearifan lokal yang sangat kental dan unik. Tidak hanya budayanya yang beragam, tetapi juga dalam setiap tradisi masyarakat Jawa memiliki arti dan makna yang masing-masing, merujuk pada nilai-nilai sosial dan keagamaan.
Di sisi lain, adanya praktik kebudyaan di Jawa tidak hanya mencandrakan warna lokal, tetapi juga berpengaruh dalam nilai keyakinan dan keberagamaan.
Agama dan keberagamaan sejatinya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa, karena sebagai subjek, manusia selalu menghubungkan dirinya dengan sang Ilahi. Dalam memahami makna dan simbol, serta menyampaikan pesan dan moral manusia Jawa menciptakan beragam simbol.
Sikap ini kemudian melahirkan aneka ragam tradisi dan kearifan lokal yang membentuk suatu sistem kebudayaan tertentu yang khas. Hal ini juga yang membetuk pola relasi dan praktik sosial dalam sistem kehidupan manusia Jawa yang khas dan unik pula (Gusmian 2021: 31).
Dalam salah satu obrolan saya bersama Ust. Muhtarom, ada yang menarik ketika membahas sebuah tradisi Jawa yang cukup istimewa. Dalam dialog yang singkat itu, tampaknya saya tergelitik dengan sebuah pemaknaan kata slametan dalam beberapa tradisi yang–mungkin namanya sudah masyhur dan tak asing di kalangan masyarakat.
Secara Slametan ini tidak hanya dikenal dalam tradisi Jawa tetapi juga di pelbagai daerah banyak tersebar kebiasaan yang sama-sama memakai istilah ini. Slametan merupa salah satu praktik yang populer dalam tradisi masyarakat Jawa. Istilah Ini mungkin sudah banyak dikenal di berbagai tempat dan wilayah, khususnya pulau Jawa.
Baca juga: Janturan: Ruang dan Pesan
Ust. Muhtarom, selaku ketua takmir Masjid Agung Surakarta mengatakan, dalam tradisi masyarakat Jawa slametan sudah menjadi bagian dari nilai kebudayaan Islam yang sampai hari ini terus dilangsungkan. Meski demikian, masih banyak orang yang belum paham mengenai makna dari kata slametan.
Adanya slametan, interaksi sosial antara sesama anggota komunitas masyarakat niscaya terjalin secara baik, sebab dalam tradisi ini orang Jawa menilainya sebagai jalinan silaturahmi, persaudaraan dan kekerabatan.
Bila dikaji lebih dalam, kata “Slametan” bukan hanya sekadar makna ungkapan rasa syukur, selamat dan keselamatan, perlindungan atau keberkahan. Namun, juga dalam makna yang lain, dengan adanya slametan, interaksi sosial antara sesama anggota komunitas masyarakat niscaya terjalin secara baik, sebab dalam tradisi ini orang Jawa menilainya sebagai jalinan silaturahmi, persaudaraan dan kekerabatan.
Slametan menjadi ruang pertemuan-perjumpaan di dalam masyarakat kini di tengah titik pertemuan samakin menipis dan semata-mata diasari kepentingan ekonomis. Lebih jauh, hal ini bisa mengubah paradigma pola berpikir masyarakat Jawa dalam memahami konsep kehidupan dengan menjunjung tinggi nilai sosial dan agama.
Memelihara Budaya
Dari berbagai literatur yang menulis tentang slametan, sejarah adanya tradisi ini belum begitu telacak dengan baik karena masih banyak kendala dan potongan-potongan nukilan. Dari sekian nukilan ini perlu formulasi sehingga ada keterpaduan yang memperkuat adanya tradisi slametan. Dengan demikian, butuh revitalisasi nilai tradisi kebudayaan Jawa sehingga eksistensi kebudayaan Jawa tetap eksis.
Berbagai bentuk ragam, motode, simbol dan resepsi. Kebudayaan menjadi salah satu unsur utama yang mewarnai kehidupan masyarakat dalam membangun kedaulatan.
Dengan kata lain, kebudayaan memiliki otoritas dalam memberi konsep dan makna kehidupan yang lebih tinggi dengan merujuk pada nilai-nilai sosial dan agama. Walaupun dalam perjalanannya nilai tradisi dan kebudayaan sedikit-demi sedikit mulai menurun diterjang gelombang zaman.
Satu di antara siasat merawat praktik dan narasi budaya adalah dengan memelihara nilai-nilai kearifan lokal. Fatkur Rohman menjelaskan pemeliharaan budaya dan kearifan lokal masih lekat dipegang oleh golongan generasi tua, sedangkan generasi muda lebih banyak tertarik dengan gaya hidup modern dan meninggalkan budaya lama atau acuh tak acuh (Awalin 2018: 3). Era milenial ini sangat perlu diperhatikan dan diwaspadai karena di lain sisi dapat berdampak pada keberlangsungan ekosistem budaya.
Baca juga: Pendar Cahaya Modernitas di Tengah Sumatera
Adanya pekemabangan zaman modern menyodorkan narasi-konstruksi yang besar dalam perkembangan dan pertumbuhan nilai budaya. Akibatnya, intensitas praktik kebudayaan yang ada di Jawa dapat berkurang dan bahkan ditinggalkan dalam beberapa masa ke depan. Namun, kerisauan ini akan menjadi sirna tatkala berbagai elemen budaya dapat ditanamkan-ditumbuhkan sejalan dengan adanya perkembangan di zaman ini.
Perkembangan nilai tradisi slametan dalam pandangan konsep pola pikir yang dimiliki kalangan tua dan muda memang jauh beda, meski keduanya memiliki hak yang sama dalam merawat nilai-nilai budaya. Konsep pandangan generasi muda dalam melihat makna slametan mengalami pergeseran musabab adanya pertumbuhan kebudayaan baru yang masuk-merasuk ke dalam ruang hidup generasi muda.
Sedang dalam konsep generasi tua, nilai tradisi ini masih memiliki nilai yang tinggi sebagai bentuk bagian dari tradisi lama yang tidak mungkin dapat ditinggalkan begitu saja. Meski generasi tua sadar bahwa adanya perkembangan hari ini akan berdampak besar dalam pergeseran nilai budaya, tetapi masyarakat masih meyakini bahwa tradisi lama akan tetap berkembang dan menjadi unsur pokok.
Dengan demikian, nilai-nilai slametan, bagi orang Jawa adalah keniscayaan yang sudah mengakar dalam diri atau sudah mendarah daging, sampai menuai efek postif yang membawa kepada konsep keyakinan, kerukunan dan kekerabatan. Sehingga, dengan adanya perkembangan di zaman ini, konsep dan pola kebudayaan tetap terus dilestarikan dengan beragam bentuk, metode, dan simbol.






