Tabayyun di Era Media
Ilustrasi dari kompasiana.com

Beberapa waktu lalu, kanal televisi Trans7 menuai sorotan publik setelah menayangkan program “Xpose Uncensored” yang menyoroti kehidupan kultural pesantren. Tayangan itu memakai bahasa dan narasi yang dinilai menggiring opini negatif serta menyinggung marwah pesantren. Publik pun merespons keras hingga tagar “Boikot Trans7” viral, sementara sebagian warganet memandang narasi semacam itu butuh tabayyun di era media kini agar tidak menimbulkan generalisasi.

Bagian paling mencolok dalam tayangan tersebut menggambarkan santri berjalan jongkok ketika menghadap kiai dan memberikan amplop. Narasi yang mengiringinya menyebut para kiai menjadi kaya hingga mampu membeli mobil mewah. Cara penyampaian ini niscaya memunculkan kesalahpahaman publik, sehingga kritik pun menguat. Situasi seperti ini menunjukkan betapa pentingnya tabayyun untuk memahami konteks budaya pesantren secara proporsional.

Sejumlah pihak justru mendukung narasi Trans7 dan menilai beberapa budaya pesantren berlebihan serta berpotensi membuat santri mengagungkan-agungkan kiai. Perdebatan yang muncul menjadi ruang refleksi yang lebih luas, bukan sekadar menentukan pihak mana yang benar atau salah.

Masyarakat selayaknya menanggapi informasi dengan lebih bijak, musabab ajaran Islam memerintahkan tabayyun dalam menerima dan menyebarkan informasi agar tidak menimbulkan salah paham.

Tabayyun sebagai Terapi Jiwa dan Pikiran

Penyebaran informasi kiwari berlangsung sangat cepat, sehingga potongan video singkat dapat memancing emosi jutaan orang dalam hitungan detik. Banyak warganet terburu-buru memberi komentar tanpa memahami konteks atau melakukan tabayyun. Tanggapan spontan seperti ini sering memperkeruh suasana.

Fenomena reaksi emosional cepat dijelaskan dalam psikologi sebagai emotional reactivity. Amigdala merespons lebih cepat daripada prefrontal cortex, sehingga seseorang mudah marah atau menyalahkan pihak lain sebelum memikirkan fakta yang utuh. Mekanisme ini menegaskan perlunya tabayyun agar individu tidak dikuasai oleh emosi sesaat.

Tabayyun sebenarnya membawa makna religius sekaligus psikologis. Sikap ini melatih individu menahan reaksi spontan, memeriksa fakta terlebih dahulu, dan menyelidiki informasi secara objektif. Konsep ini sejalan dengan self-regulation dan emotional intelligence yang dijelaskan Goleman (1995).

Baca juga: Meneladani Kanjeng Nabi: Agama sebagai Pembebas, Bukan sekedar Penenang

Agama Islam pun menekankan pengendalian diri, termasuk dalam sabda Rasulullah Saw. bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan menahan amarah. Latihan tabayyun membantu seseorang mengelola emosi dengan lebih sehat.

Tabayyun juga menjadi praktik kesadaran penuh (mindfulness) versi Islam, yaitu kesadaran untuk tidak dikepung amarah, rumor, atau prasangka buruk. Individu yang melakukan tabayyun tak pelak mampu berhenti sejenak sebelum bereaksi  dan mempertimbangkan informasi dengan hati nan jernih. Sikap ini menjaga keseimbangan antara akal dan emosi di tengah derasnya informasi digital yang melesak silih berganti.

Belajar dari Kontroversi Trans7

Jika ditilik lebih jauh, tayangan Trans7 menyampaikan kritik yang dalam beberapa aspek valid karena media memiliki kewajiban mengangkat realitas, termasuk masalah yang mungkin terjadi di pesantren. Cara penyampaian kritik tersebut tentu saja tetap menjadi faktor penentu apakah kritik diterima atau ditolak.

Bahasa yang menggeneralisasi memunculkan emotional dissonance, sehingga masyarakat merasa identitasnya diserang. Ketegangan seperti ini dapat berkurang bila kedua pihak mengedepankan prinsip tabayyun.

Baca juga: Geopolitik Jalur Sutra: Menilik Kemajuan Islam Era keemasan

Reaksi keras publik juga dapat dijelaskan melalui social identity theory milik Tajfel (1979). Ketika identitas kelompok seperti “santri” atau “umat Islam” merasa diserang, mekanisme ingroup defense muncul secara otomatis. Publik bereaksi bukan semata karena substansi kritik, tetapi karena identitas – yang mempersatukan mereka atas nama santri – merasa direndahkan. Refleksi semacam ini menegaskan kebutuhan tabayyun bagi media maupun masyarakat.

Dengan ini, literasi psikologis dan spiritual seharusnya tumbuh bersama. Kritik dapat diterima bila disampaikan dengan empati dan pemahaman budaya, sementara masyarakat juga perlu menahan diri agar tidak menganggap setiap kritik atau segala pandangan negatif semata-mata sebagai serangan. Pola pikir seperti ini hanya dapat terbangun dengan kebiasaan tabayyun dalam mencerna baik berita maupun opini.

Menemukan Hikmah di Tengah Badai Informasi

Era media sekarang ini menuntut kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual secara bersamaan. Tabayyun berperan sebagai jembatan yang menenangkan hati sekaligus menajamkan nalar. Perspektif psikologi Islam memandang tabayyun sebagai bagian dari tazkiyatun nafs, yaitu upaya membersihkan jiwa dari prasangka dan ketergesaan dalam menilai sesuatu. Sikap ini membantu seseorang bertanya pada diri sendiri apakah pikirannya benar atau hanya emosi yang meluap-luap mendominasi.

Semangat tabayyun membentuk individu yang tidak mudah terprovokasi atau menghakimi. Kebenaran tetap harus disuarakan, tentu saja, namun melalui cara yang beradab. Media perlu mengedepankan empati dalam menyampaikan kritik, sedang masyarakat perlu membangun kesadaran untuk memeriksa informasi sebelum menilai. Praktik tabayyun menjadi strategi psikologis yang menjaga kejernihan hati dan pikiran di tengah derasnya opini publik.

Kontroversi Trans7 memberi pelajaran bahwa tugas kita bukan memperbesar perbedaan, atau melawan kritik secara frontal, tetapi mencari hikmah dari setiap peristiwa. 

Pada akhirnya, tabayyun menjadi kunci menjaga kewarasan kolektif agar masyarakat tidak tenggelam dalam gelombang pasang informasi yang bias. Niscaya tabayyun di era media bukan hanya cara memahami berita, tetapi juga cara merawat diri agar tetap tenang dan jernih dalam berpikir.

Bagikan
Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here