
Seminggu-dwiminggu terakhir, tidak ada lebih terngiang tentang hal lucu, gemas, dan cukup memberi penghiburan selain tepuk sakinah. Sebagaimana senandung tepuk-tepuk sejenis, ia singkat, begitu sederhana, dan mudah dihafal siapa saja. Mengenai gemas, saya mengalamatkan pada pemeraga: bapak-bapak dan ibu-ibu, para paruh baya, yang tampak malu-malu dan agak kaku direkam bertepuk sakinah.
Mereka mewartakan nuansa riang bagi pasangan suami-istri, memberi ingat kemegahan ikatan perkawinan itu. Namun, selazim tepuk anak saleh yang tak menjamin anak-anak jadi saleh, tepuk sakinah juga tidak dicipta sebagai satu-satunya penjamin rumah tangga jadi sempurna demikian mungkin.
Kita berziarah mundur. Irama dalam tepuk sakinah ialah meminjam irama yang dipakai dalam lagu If You’re Happy and You Know It (1957). Syahdan diadaptasi, populerlah dengan judul lagu Kalau Kau Suka Hati. Tentang pencipta, tidak ada catatan resmi. Tapi apabila kata kunci itu diketik pada mesin pencarian YouTube, maka daftar teratas akan menampilkan video milik GNP Music dengan deskripsi: Kalau Kau Suka Hati dibawakan oleh Shieren & Ebril dengan iringan musik Kak Nunuk, diambil dari DVD Koleksi Abadi Lagu Taman Kanak-Kanak Vol. 4 produksi Gema Nada Pertiwi.
Berpasangan/ Berpasangan/ Berpasangan.
Afirmasi Positif
Akmal Khafifudin lewat tulisan bertajuk Viral Tepuk Sakinah, Berikut Lima Pilar dalam Berkeluarga di Alif.id (29 September 2025) mendedah lima pilar pembentukan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah yang terkandung dalam tepuk itu. Mitsaqan ghalidzan (janji kokoh), zawaj (prinsip berpasangan dan saling melengkapi), mu’asyarah bil ma’ruf (bergaul dengan baik dan patut), musyawarah (saling berunding dan berdiskusi), dan taradhin (saling rela dan memberi kenyamanan).
Suatu hari lengang, saya berkunjung ke ruangan tak kalah lengang. Sebuah buku tua saya jumput dari rak berdebu perpustakaan kantor berjudul Perkawinan dan Kesehatan (Balai Pustaka, 1958). Tahun itu Dr. A. Seno-Sastroamidjojo menulis, “Pada inti-hakekatnja perkawinan itu tak-lain-dan-tak-bukan ialah suatu,, PERDJANJIAN” jang penuh mengandung pertanggungan-jawab…. a.l. meliputi kesukmaan (kerochanian), kedjasmanian, seksuil dan/atau mengenai pokok kebenarannja belaka (zakelijk).”
Konsep perjanjian tersebut juga eksplisit dimuat serta dipedomani hingga kiwari sebagai salah satu sumber hukum materiil Peradilan Agama. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (1991) berbunyi: Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Janji kokoh/ Janji kokoh/ Janji kokoh.
Demikianlah sejenak saya terpikir, sungguh pun fakta peristiwanya akan dan/atau sering melenceng jauh dari romantisme berkeluarga, rupa-rupanya teori-teori kesakinahan terus diproduksi. Barangkali dan barangkali, itu bagian politis sebatas keperluan lengkapnya definisi-definisi. Pelengkap rukun adanya satu pengertian.
Namun tidak menutup kemungkinan, kita memahaminya sebagai langkah afirmasi positif supaya ‘yang ideal’ itu sungguh-sungguh terwujud melalui jalur prasangka baik (husnuzan). Toh, setiap orang berharap rumah tangganya dipenuhi zuriah-zuriah kebahagiaan, bukan?
Saling cinta/ Saling hormat/ Saling jaga/ Saling ridho/ Musyawarah, untuk sakinah.
Dua Tempat, Dua Tenggat
Kalau di kantor urusan agama roman-roman pasangan didominasi ulas senyum, lain di Pengadilan Agama yang rata-rata mewajah murung. Di kantor urusan agama perjanjian itu dimulai, sedang di Pengadilan Agama perjanjian itu menemui tenggat waktunya. Salah satu kesamaan keduanya mungkin terletak pada nasihat.
Sewaktu saya menikah, saya ingat betul pesan-pesan naib. Bahwa perjanjian itu disaksikan malaikat di langit dan di bumi. Naib bernasihat supaya saya dan istri saya mampu dan selalu memampukan diri membangun hubungan penuh kesalingan. Pikiran kami dua, hati kami dua, mulut kami dua, tapi sejak perjanjian diucapkan, pesan naib, dua-dua itu harus melebur menjadi satu.
Pengadilan Agama juga memosisikan nasihat sebagai penolok dalam tata hukum acara perdata, termasuk perkara cerai. Itu amanah penting. Asalinya Pasal 82 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama: Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Sejujurnya terasa membosankan, namun bagaimana pun sebelum memulai acara pemeriksaan, galibnya hakim akan menasihati para pihak supaya rukun kembali.
Mediasi
Upaya perdamaian itu juga dipertegas melalui Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Mediasi berisi perundingan para pihak dengan dibantu-tengahi seorang mediator. Ketika mediasi, nasihat-nasihat kembali diproduksi dengan cara beragam. Bisa mengeruk kenangan masa silam pranikah, kehangatan sepasang pengantin baru, atau fokus pada futuristis seperti dampak pascacerai—utamanya bagi anak.
Kewajiban mediasi mendorong banyak Pengadilan Agama membangun strategi supaya beroleh hasil sebaik-baiknya, syukur-syukur bisa mengakhiri sengketa. Sebagai misal, saya perlu menyebut tiga Pengadilan Agama yang pernah memaksimalkan mediasi dengan cara unik.
Sewaktu saya menikah, saya ingat betul pesan-pesan naib. Bahwa perjanjian itu disaksikan malaikat di langit dan di bumi. Naib bernasihat supaya saya dan istri saya mampu dan selalu memampukan diri membangun hubungan penuh kesalingan
Pengadilan Agama Wonogiri (tahun 2022), Pengadilan Agama Padang Sidempuan (tahun 2022), dan Pengadilan Agama Tilamuta (tahun 2021) membuat program voucer hotel gratis. Singkatnya, pasangan yang kembali rukun alias tidak jadi bercerai setelah proses mediasi, berlaku bagi mereka satu voucer menginap di hotel selama satu malam, prodeo!
Secara kuantitas, memang penyelesaian sengketa melalui mediasi masih terbilang rendah. Betapa piawai seorang mediator, jika mau dihitung, presentase keberhasilannya musykil menyentuh angka 50 persen dari jumlah perkara yang terdaftar. Barang tentu itu dipengaruhi banyak faktor yang menyangkut kadar kerusakan rumah tangga para pihak.
Ingatan pada Kawan
Ruang mediasi telah dihiasi poster-poster nasihat, kata-kata mutiara, dan beragam benda mati lain dengan tujuan yang satu: menginsafkan dari niat bercerai. Saya sendiri tidak terlalu yakin probabilitas dibaca para pihak, apalagi menyadarkan mereka. Tapi demikianlah faktanya.
Malah medium-medium itu membawa ingatan saya kepada Taftazani, seorang kawan yang saat ini berada nun di Kepulauan Kei, Provinsi Maluku. Lebih kurang setahun lalu, saat kami masih sekantor di Semarang, ia menyodorkan ide mediasi pada saya. Sebagai pendengar yang santun yang baik yang murah waktu, saya persilakan ia menjelaskan.
Menurutnya, mediasi bisa dioptimalkan melalui redesain tata ruang. Ruangan mediasi harus diberi sentuhan bernilai seni audio-visual alih-alih poster tumpukan alenia nasihat-nasihat. Ia kemudian mengilustrasikan dengan sepotong adegan.
Sepasang suami-istri membuka pintu ruangan mediasi, kemudian mulai berjalan beriringan melewati jalur yang diberkahi pencahayaan khusus, diiringi dendang lagu paling romantis kesukaan mereka. Keadaan itu akan mencandrakan psikologis yang intim.
Tidak boleh lupa, di sisi kiri-kanan, tertempel satu-dua televisi yang memutar kolase foto atau video pernikahan. Jika perlu, foto bersama anak-anak. Begitu perjalanan mereka tiba di hadapan mediator, keduanya pun duduk di kursi, mengela napas sebentar, lalu mengakhiri tamasya itu dengan pernyataan diri tidak jadi bercerai. Kompak. Alangkah sempurna.
Ah, saya mengutuk ingatan jelek perihal respons saya waktu itu. Yang jelas, secara garis besar ide kawan saya itu asyik juga. Seasyik tepuk sakinah yang kini populer di kalangan para calon pasutri di seluruh wilayah Indonesia. Yang—selain tidak perlu disangsikan maknawinya—juga bernilai seni meski digarap dengan cara teramat sederhana. Tujuan utamanya tak lain menciptakan rumah tangga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Lagipula, setiap orang berharap rumah tangga yang dipenuhi zuriah-zuriah kebahagiaan, bukan?