
Beberapa waktu lalu, di Gladak (toko buku bekas) kedatangan buku-buku keislaman yang berstempel perpustakaan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Semarang. Buku keislaman yang berusia puluhan tahun tersebut mengalami nasib yang memprihatinkan. Buku-buku itu dijual oleh pihak perpustakaan atau oknum-oknum tertentu secara kilo-an (murah-meriah) di Gladak Solo.
Kondisi buku kusam, sobek, beberapa halaman buku hilang (cacat), dan buku terbitan masa lalu, tampaknya menjadi alasan penjualan buku-buku tersebut oleh pihak perpustakaan. Penjualan buku-buku keislaman di Gladak bisa jadi atas dalih ketidaklayakan pakai dan kuno. Meskipun saya menduga seperti itu, tetapi kehadiran buku keislaman tersebut membuat saya cemas bercampur bahagia.
Baca juga: Kayon: Konsep Kehidupan dalam Wayang
Kecemasan saya terjadi ketika saya harus berhutang pada pelapak demi mendapatkan buku-buku tersebut. Alhasil, saya nekat berhutang supaya dapat memahami pengaruh buku Islam dalam kultur akademik pada awal abad ke-20 di Indonesia. Berhutang demi membeli buku seolah menjadi kebiasaan.
Peristiwa tersebut disebabkan penjualan buku bekas di Gladak terbilang begitu murah. Harga buku berkisar mulai dari Rp. 15.000 sampai Rp. 30.000 per-buku. Tentu, perundingan secara ketat selalu saya lakukan untuk memperoleh buku dengan harga yang wajar. Usai mengamati beberapa tumpukan buku di Gladak, saya memilih berbagai judul dari satu penerbit untuk meneliti konseptualisasi pemikiran Islam dari buku-buku Islam kisaran tahun 70-an sampai 90-an yang diterbitkan oleh penerbit secara beragam.
Budaya Cetak
Saya meyakini buku-buku keislaman ini amat penting untuk dimiliki dan dipelajari dalam tradisi budaya cetak. Pada masa lalu, kita mengenal penerbit buku keislaman, salah satunya adalah penerbit Bulan Bintang. Bulan Bintang adalah penerbit buku keislaman yang saya anggap sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu agama sebagai gerakan pembaharuan Islam di Indonesia.
Sebab penerbit Bulan Bintang sering kali menjadi sumber rujukan penting di universitas-universitas terkemuka di Indonesia untuk mempelajari kajian teologi dalam pengembangan ilmu pengetahuan studi Islam.
Pada abad ke-20, buku terbitan Bulan Bintang dapat dikatakan sebagai salah satu akar gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.
Buku-buku terbitan Bulan Bintang pada masa lalu sebagai sumber rujukan dalam pengembangan pemikiran Islam secara komprehensif untuk diajarkan di perguruan tinggi umum maupun perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Melalui buku-buku tersebut, kita dapat mencermati upaya kaum modernis yang kian berhasil mengembangkan konsep teologi inklusif sebagai dasar metode pembelajaran teknologi, ekologi dan astronomi. Modernisasi keilmuan tersebut dapat kita cermati dari berbagai buku keislaman yang banyak membahas persoalan pemikiran Islam, filsafat Islam, dan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Buku-buku itu pernah ditulis oleh cendikiawan muslim Indonesia dan luar negeri, seperti Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (1976), Ahmad Amin, Ethika (ilmu akhlak) (1977), Oemar Amin Hosein, Filsafat Islam (1975), M. Rasjidi, Filsafat Agama (1975), Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (1973), Dasar-Dasar Agama Islam: Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (1984), dan lain-lain.
Semua buku keislaman tersebut pada masa lalu menjadi rujukan dalam sistem perkuliahan. Buku-buku keislaman tersebut menjadi bacaan penting oleh mahasiswa ketika sedang mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Pandangan demikian dapat saya utarakan ketika membaca buku Dasar-Dasar Agama Islam: Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (1984).
Baca juga: Menggali Esensi Ulumul Quran
Buku ini menjadi refesensi utama untuk mata kuliah dasar-dasar agama Islam I-II. Selain itu, buku ini juga telah ditetapkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia pada 2 Maret 1983 dengan nomor; Kep/E/P.P.00.1o/50a/’83 sebagai bacaan wajib para mahasiswa.
Tujuan adanya mata kuliah yang bersumber dari buku wajib ini tentu supaya para mahasiswa mampu memahami dan menghayati aspek-aspek yang berhubungan dengan makhluk, melaksanakan ajaran agama Islam, meningkatkan keimanannya terhadap Khaliq, dan melaksanakan syari’at Islam.
Dahulu setiap pertemuan perkuliahan terdapat materi pembahasan yang sistematis dalam pembelajaran yang menumbuhkan nilai religiositas.
Meski buku-buku keislaman ini berusai puluhan tahun, tidak semestinya kita mengabaikan kajian keilmuannya. Buku lawas juga perlu dilestarikan karena memiliki kesejarahan keilmuan yang dapat memberikan konteks latar sosial, metode pembelajaran agama, dan bahan dialog keilmuan Islam mutakhir.
Penerbit Islam
Kesejarahan buku Bulan Bintang terekam di majalah Tempo edisi 08 Oktober 1977. Di majalah Tempo, meliput lahirnya buku-buku Bulan Bintang yang dapat dikatakan mempengaruhi pola pendidikan agama di Indonesia. Abdul Manaf El Zamzami (Amelz) dan Amran Zamzami selaku adik Amelz, adalah pendiri penerbit buku keislaman tersebut.
Sejak 1951 sampai 1956, penerbit Bulan Bintang sudah berhasil mengeluarkan 1.188 judul buku (termasuk cetak ulang) dan ada 499 judul yang tidak cetak ulang. Buku-buku yang dicetak masa lalu bersubjek seperti Tafsir Alquran, Hadis, Pendidikan, Sejarah, Tauhid, Filsafat, dan Psikologi. Buku-buku keislaman tersebut sebagai referensi pembelajaran di madrasah dan Perguruan Tinggi.
Dari perusahaan keluarga (penerbitan) yang didirikan Amelz dan Amran di daerah Kramat Kwitang Jakarta, telah diakui sebagai salah satu penyumbang bacaan terpenting, khususnya bagi masyarakat muslim di Indonesia. Bulan Bintang juga diakui sebagai penerbit “Benteng Islam” di dunia perbukuan yang menjauhkan diri dari unsur politik. Hal itu telah diakui Ali Audah, Yunan Helmy Nasution, dan H.M. Baharthah selaku direktur penerbit buku Al-Ma’arif di Bandung.
Baca juga: Kuasa Media Sosial
H.M. Baharthat mengatakan bahwa buku Bulan Bintang pada masa lalu adalah sumber bacaan yang berbiaya mahal. Selain itu, Ali Audah juga menambahkan, bahwa buku Bulan Bintang pada masa lalu memang diperuntukan bagi masyarakat golongan menengah ke atas.
Keberhasilan Bulan Bintang ini ditandai dari berbagai penulis sekaligus cendikiawan Muslim kondang seperti, Hamka, M. Yunan Nasution, Hasbi Ah-Shiddieqy, M. Natsir, Moh. Roem, Rasjidi, A. Hasjmy, Zakiyah Daradjat dan Munawar Chalil. Keberhasilan Bulan Bintang sebagai sarana dakwah umat muslim telah memberikan pengaruh komprehensif dalam ajaran Islam di Indonesia.
Buku lawas menjadi pengingat keberhasilan dakwah dalam penyebaran ilmu agama. Meski dahulu kita telah mengetahui bahwa buku keislaman (Bulan Bintang) tersebut berbiaya mahal dan hanya diperuntukan bagi masyarakat kalangan atas, kini buku itu bisa kita miliki dan pelajari dari hasil membeli di toko bekas.
Dari buku bekas tersebut kita dapat mengerti kesejarahan ilmu pengetahuan, riwayat, dan manfaat buku guna terus dipelajari. Buku-buku itu masih layak sebagai bahan kajian keilmuan dan diskusi untuk melihat sejarah pembaharuan Islam di Indonesia.
