
Ziarah merupakan sebuah tradisi atau kebiasaan yang dilakukan masyarakat Indonesia dengan mengunjungi makam. Bisa makam orang tua, kerabat, maupun para wali yang telah menyiarkan agama Islam di daerah masing-masing. Tradisi ziarah di Indonesia ini umum dilakukan dengan berkunjung dan mendoakan orang yang disemayamkan tersebut.
Meski banyak efek positif, kegiatan ini sering menuai kontroversi berkepanjangan. Baik dari seseorang atau kelompok masyarakat tertentu yang mempertanyakan tentang dalil maupun pelaksanaannya yang kadang terlihat menyimpang.
Namun, tidak sedikit pula masyarakat di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan (rural) masih memegang erat tradisi ziarah ini. Contoh pelaksanaan yang terlihat menyimpang adalah mengunjungi makam yang dianggap keramat dengan maksud meminta “nomor” yang digunakan untuk judi. Itulah sebabnya citra ziarah tampak buruk.
Sebelum berbicara jauh mengenai hukum daripada ziarah yang acap jadi polemik pelik, alangkah baiknya kita kupas terlebih dulu satu di antara dasar dari kegiatan ziarah dan melihat tradisi ziarah dari kacamata sosial.
Dasar Lelaku
Sejatinya, ziarah memiliki beberapa aspek fundamental yang mendasarinya. Sebagaimana dalam Islam diajarkan untuk mendoakan orang tua—baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sebab salah satu dari tiga amal yang tidak akan terputus adalah amal dari anak yang senantiasa mendoakan orang tuanya. Maka, doa-doa semacam ziarah masuk dalam kategori tersebut.
Selain itu, ada pula kisah Nabi Muhammad SAW yang menceritakan perihal ini. Dalam sebuah riwayat, dijelaskan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad SAW pernah melewati dua kuburan yang penghuninya sedang disiksa. Selanjutnya, Nabi mengambil dahan kurma muda yang masih basah dan membelahnya menjadi dua, lantas menancapkannya di masing-masing kuburan sembari berdoa.
Baca juga: Slametan di Tengah Arus Zaman
Kemudian ada sahabat bertanya apa yang telah Nabi lakukan. Nabi menjawab “Semoga diringankan siksanya selama batang (pohon) ini basah”. Artinya, Nabi juga turut mendoakan orang yang sudah meninggal padahal bukan orang tua ataupun keluarganya yang masih punya hubungan darah.
Ziarah memiliki aspek fundamental yang mendasarinya. Sebagaimana dalam Islam diajarkan untuk mendoakan orang tua—baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sebab salah satu dari tiga amal yang tidak akan terputus adalah amal dari anak yang senantiasa mendoakan orang tuanya
Dari kisah tersebut ada simbolisasi mengenai peran tumbuhan (yang juga ciptaan Tuhan) sebagai perantara doa. Dengan ini, setidaknya mampu menjawab keraguan “apakah mendoakan orang yang sudah meninngal itu bisa sampai doanya?”
Kacamata Sosial
Di Indonesia, khususnya di Jawa, sering kita jumpai orang yang berbondong-bondong ziarah ke makam para wali. Makam KH Dalhar Watucongol yang terletak di Gunungpring, Watucongol, Kabupaten Magelang misalnya. Hampir 24 jam makam ini tak pernah sepi para peziarah dari berbagai kota.
Biasanya, malam hari adalah waktu yang paling ramai untuk melakukan wisata religi, walau tak menutup kemungkinan ada yang melakukan ziarah di hari kerja atau akhir pekan. Mereka lazim tiba berkelompok dengan menyewa mobil atau bus yang berisikan lebih dari 20 orang. Ada pula yang mengendarai sepeda motor.
Dari keberangkatan ini, mereka menyatukan niat untuk sama-sama mengunjungi makam dan mendoakan arwah yang sudah beda alam. Kiai atau ustaz pemimpin rombongan sering meminta jamaah atau peserta di bus untuk berdoa bareng. Doa-doa sudah dilantunkan sebelum tiba ke tujuan.
Dari segi ekonomi, dengan menyewa mobil atau bus dalam satu rombongan, banyak pihak yang ikut terlibat. Peziarah secara kolektif iuran untuk membayar sewa bus sekaligus sopirnya. Artinya, mereka telah membantu menggerakkan roda ekonomi dari pemilik bus serta memberi pemasukan finansial untuk sopir dan keluarganya. Selain untuk menziarahi makam, peziarah secara tidak langsung telah “sedekah” kepada pihak-pihak yang turut kontribusi dalam keberangkatannya.
Sesampainya di lokasi, sebagian dari mereka istirahat terlebih dahulu di warung-warung sekitar makam untuk sekadar membeli minum atau makanan ringan. Hal itu dilakukan karena telah menempuh perjalanan cukup jauh. Sejenak melepaskan penat dan meregangkan kaki tentu boleh-boleh saja.
Selanjutnya adalah memasuki area makam. Sebelum masuk, mereka biasanya bersuci di fasilitas air (toilet dan tempat wudhu) yang disediakan warga sekitar. Warga sekitar yang berjualan atau menyediakan fasilitas bersuci tentu “kecipratan” manfaat tersendiri.
Baca juga: Akulturasi Islam-Jawa: Sedekah Bumi, Seni, dan Kirab Budaya
Yang berjualan dagangan menjadi laris dan yang menyediakan fasilitas sesuci mendapat rezeki dari kotak yang dipasang di depan deretan pintu-pintu toilet. Belum lagi penyedia jasa ojek motor, ojek becak, penitipan, cas handphone, dan seterusnya. Banyak masyarakat setempat yang mendapat manfaat dari kegiatan massal dan massif ini.
Selain dampak ekonomi, dengan bersua dan berkumpulnya orang-orang yang berziarah akan menimbulkan hubungan sosial. Secara tidak langsung mereka telah menjalin silaturahmi satu sama lain. Mereka dapat bertemu dengan orang-orang baru maupun kerabat yang sudah lama tak jumpa.
Ziarah juga bisa meningkatkan wawasan terkait sejarah dan peradaban masa lalu. Seperti yang dikatakan M. Yaser Arafat, dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, bahwa kuburan para wali merupa karya peradaban yang di dalamnya mengandung warisan serta menjadi catatan penting sebuah peristiwa di masa lampau.
Makam tersebut sering jadi rujukan peneliti karena memiliki relasi dengan peristiwa yang terjadi di masanya. Tidak heran bila ada sejarah yang bisa terungkap bermula dari ditemukannya makam atau prasasti (dalam agama Hindu-Budha).
Sungguh baik dan arif apabila saban individu saling menghormati dan menghargai ragam pendapat terkait lelaku dari tradisi ziarah di Indonesia ini. Orang yang tidak percaya apalagi yang menyangkal, pasti memiliki dasarnya sendiri. Begitu pun sebaliknya, yang setuju betul pasti memiliki dasar yang memperkuat pendapatnya.
Terlepas dari itu semua, seyogyanya jangan terlalu mudah melupakan jasa para pendahulu agar kelak kita tak dilupa oleh keturunan kita. Wallahu a’lam bishawab.