Gambar dari dutadamaisulawesiselatan.id

Negara Indonesia memiliki banyak budaya, salah satunya tentang uang panai’ dalam adat pernikahan. Keberagaman budaya yang ada di Indonesia pastinya menjadi sesuatu hal yang sangat menarik untuk dikaji, baik dalam hal tradisi maupun norma kebudayaan. Salah satu tradisi kebudayaan yang ada di Indonesia adalah tradisi uang panai’ dalam pernikahan yang ada pada suku Bugis dan Makassar yang terletak di Sulawesi Selatan.

Uang panai’ merupakan salah satu bagian penting yang ada pada pernikahan suku Bugis dan Makassar. Pihak mempelai pria harus memberikan uang belanja kepada pihak mempelai wanita dengan nominal sesuai dengan kesepakatan  yang telah ditentukan pada acara Mappettu ada (perbincangan awal kedua belah pihak keluarga sebelum lamaran).

Berbeda dengan mahar, uang panai’ berfungsi membantu biaya prosesi pernikahan pihak mempelai perempuan atau sebagai penghormatan dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak perempuan.

Tradisi uang panai’ pada suku Makassar berawal dari kebiasaan nenek moyang yang ada di Makassar Sulawesi Selatan sebagai penghormatan kepada seorang perempuan yang akan dipersunting oleh seorang pria. Bahkan uang panai’ dahulu diartikan sebagai pembeli dara atau memberikan penghargaan kepada pihak perempuan dari keturunan bangsawan.

Dialog Lintas Agama: Orang Jepang dan Agamawan Indonesia

Namun realitas yang terjadi saat ini, nilai sosial yang ada pada tradisi uang panai’ kian dimaknai berbeda oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Bukan lagi menjadi sebuah penghargaan ataupun penghormatan, melainkan dijadikan ajang pengakuan dan perbandingan status sosial.

Semakin tinggi besaran uang panai’ yang diberikan laki laki, maka semakin terpandanglah status sosial keluarga mempelai wanita. Besaran uang panai’ yang telah diberikan, akan dipergunakan untuk membeli dan menyewa segala bentuk keperluan dan kebutuhan untuk mengadakan pesta pernikahan yang mewah.

Semua itu dilakukan untuk mendapat pengakuan masyarakat sekitar. Sehingga banyak terjadi kejadian di mana pasangan batal menikah, lamaran ditolak, bahkan silariang (kawin lari). Tinggi rendahnya besaran uang panai’ akan menjadi buah bibir masyarakat sekitar rumah kedua belah pihak calon mempelai.

Masyarakat pihak mempelai pria akan memberikan keadilan bahwa besaran uang panai’ tidak sesuai dengan profesinya. Sedangkan masyarakat mempelai wanita akan mempertanyakan status sosial keluarga mereka ketika uang panai’ yang diberikan berjumlah kecil.

Nilai sosial yang ada pada tradisi uang panai’ kian dimaknai berbeda oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Bukan lagi menjadi sebuah penghargaan ataupun penghormatan, melainkan dijadikan ajang pengakuan dan perbandingan status sosial

Adapun besaran nominal uang panai’ biasanya ditentukan dari latar belakang pendidikan calon mempelai wanita, status haji, dan status kebangsawanan keluarganya. Nominal uang panai’ tergantung dari strata sosial seorang perempuan. Semakin tinggi derajat dan pendidikan perempuan maka semakin tinggi juga nominal uang panai’ yang harus disediakan oleh pihak laki-laki.

Meski ada yang menganggap uang panai’ tersebut berat, tapi hal ini tergantung kesepakatan pihak perempuan dan pihak laki-laki. Karena sebagian besar pihak laki-laki menganggap uang panai’ tidak memberatkan selama menjalin kompromi dengan pihak perempuan.

Namun perlu digaris bawahi bahwa uang panai’ tidak selalu harus tinggi, semuanya dikembalikan kepada kesepakatan dari keluarga kedua belah pihak. Adapun besaran nilai uang panai’, biasanya berkisar dari puluhan juta bahkan sampai miliaran.

Komersilisasi Budaya

Zaman semakin berkembang, bukannya tradisi uang panai’ ini tertelan zaman, malah semaki berkembang. Kegengsian pasangan muda suku Bugis dan Makassar untuk mengadakan pesta pernikahan mewah makin marak terjadi. Dengan menambahkan mobil, rumah, tanah sebagai seserahan emas/berlian sebagai mahar.

Tekad untuk mengalahkan rekor tertinggi di suatu daerah telah menjadi ajang terbuka yang ada pada masyarakat Bugis-Makassar. Karena hanya ingin menjadi buah bibir masyarakat setempat, sosial media, dan media jurnal lokal acara pernikahan di Sulawesi Selatan membuat heboh publik lantaran jumlah uang panai’ atau panaik terbilang fantastis.

Tak tanggung-tanggung, pria asal Kabupaten Pinrang itu memberikan uang panai’ mencapai Rp 5 miliar. Pihak keluarga Amran menyiapkan uang panai’ senilai Rp 10 miliar yang meliputi 2 kilogram logam mulia, sebuah rumah, satu unit mobil merk Alphard, serta uang belanja sebesar Rp 2 miliar.

Suara Satu Aksi, Bersatu untuk Bumi

Dengan kegengsian yang ada pada pernikahan suku Bugis, tidak sedikit juga pemuda yang memutuskan untuk kawin lari ataupun hamil di luar nikah. Hal ini disebabkan tingginya patokan uang panai’ yang ditentukan oleh keluarga perempuan. Lamaran yang ditolak dikarenakan pihak laki-laki tak menyanggupi permintaan keluarga mempelai wanita, beberapa pasangan yang harus dinikahkan secara terpaksa karena hamil diluar nikah.

Tidak sedikit juga keluarga yang harus kehabisan harta bahkan sampai berhutang hanya karena pelaksana acara pernikahan. Prosesi ini demi mendapat pengakuan umum dan dilandasi rasa gengsi. Gengsi berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku konsumerisme generasi Z.

Dengan Demikian semakin tinggi gengsi seseorang, maka akan semakin tinggi pula perilaku konsumtif yang dilakukan. Nilai-nilai budaya masyarakat konsumen lebih dominan dikonstruksi dengan nilai citra, prestise atau gengsi social. Terkadang hal-hal tersebut penuh dengan kepalsuan, hanya untuk mengejar dan memenuhi hasrat individualisme.

Bagikan
Adam Mubarak, lahir di Pinrang 7 November 2004. Mahasiswa Program Studi Psikologi Islam, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah di Universitas Islam Negri Raden Mas Said Surakarta. Untuk menjalin silaturahmi bisa dihubungi melalui email : adammarak0711@gmail.com dan IG : bara_el_hady_mbrk

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here