
Ada sekian peninggalan yang menjadi bukti konkret keberadaan Islam di masa silam. Selain bercerita tentang peradaban yang terjadi pada masanya, peninggalan-peninggalan tersebut juga menjadi petunjuk bahwa Islam pernah mencapai puncak kemajuan—dalam konteks lokal. Sketsa sejarah ini penting untuk melacak bagaimana perkembangan sejarah bergulir, dari masa ke masa.
Sekian peninggalan itu merupa dalam berbagai hal; gagasan, kitab, benda-benda yang konon bertuah, nisan, termasuk juga masjid. Meski dewasa ini masjid menjadi bangunan yang lumrah ditemui di sudut-sudut penjuru negeri ini, tetapi di masa silam, masjid tetap menjadi peninggalan kebudayaan muslim yang tidak bisa diabaikan.
Tiga Sketsa Historis
Di Bima, Nusa Tenggara Barat, ada Masjid Sultan Muhammad Salahuddin. Saya akan membahas tiga sketsa sejarah masjid sultan Muhammad Salahuddin. Masjid besar yang memiliki peran panjang keberislaman bagi masyarakat di Bima. Lazimnya peninggalan di masa lalu, sejarah masjid ini juga tercatat ke dalam berbagai versi.
Retno Kartini Savitaningrum Imansah, dalam artikel Masjid Sultan Muhammad Salahuddin Bima; Arsitektur, Misi Agama dan Kekuasaan (2017), menemukan setidaknya ada tiga versi sejarah ihwal pendirian masjid tersebut. Ketiga versi tersebut memang perlu dicermati dengan jeli, guna menemukan gambaran utuh dari simbol besar (masjid) ajaran Islam ini.
Versi pertama dari naskah lokal Bumi Luma Rasanae lembar ke-152. Di dalamnya memuat keterangan bahwa, Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah Zilullah fil Alam (1751-1773 M) yang memperbaiki lantas memindahkan bangunan masjid ke lokasi yang baru. Sebuah lokasi di Kampung Nanga.
Baca juga: Masjid dan Gereja: Simbol Perdamaian Umat Beragama
Sebelumnya, masjid tersebut dibangun pada masa kekuasaan Sultan Abdul Khair di Kampung Temba Dumpu. Proses pemindahan ini dilakukan antara rentang waktu dari tanggal 10 Desember 1778 sampai 5 Januari 1779.
Pemindahan tersebut bisa diduga lantaran pada masa itu, ajaran Islam telah menyebar di wilayah Bima dan sekitarnya. Sehingga tidak sedikit muslim yang datang untuk menunaikan ibadah, atau belajar ajaran Islam pada ulama lokal. Maka, keputusan untuk memindahkan masjid ke ruang yang bisa diakses banyak orang, cukup diperlukan.
Hanya saja, catatan dalam naskah Bumi Luma Rasanae ini agak diragukan validitasnya. Hal tersebut ditengarai oleh tahun wafat Sultan Abdul Kadim pada 1773 M lantas digantikan putranya, Sultan Abdul Hamid. Sedang pemindahan masjid baru dilakukan sekira 5 tahun setelah wafatnya Sultan Abdul Kadim.
Versi selanjutnya datang dari peziarah kolonial, G.R Rouffer. Dalam kunjungannya pada 1910, Rouffer mencatat Sultan Abdul Kadim dibantu dengan wazirnya, Ismail membangun masjid yang lokasinya tidak jauh dari istana. Masjid yang sekarang dikenal sebagai Masjid Sultan Muhammad Salahuddin ini menurut temuannya dibangun pada 16 Dzulhijah 1149 H atau 5 April 1773 M.
Versi terakhir sejarah masjid ini dapat ditemukan dari inskripsi lawas yang pernah terpampang di serambi masjid sebelum mengalami pemugaran. Kalimat di inskripsi: “Hedjrat al-Nabi Salallahu alaihiwassalam saribou seratoes 49 enam belas hari boelan Dzoelhejah tatkala itu Sultan Abdul Kadim dan Wazir Ismail memboewat ini.”
Selain itu, pada nisan Sultan Abdul Kadim yang berada di sekitar areal masjid juga terdapat inkripsi serupa: “Milik Sultan Abdul Kadim Yang Membangun Masjid Itu.” Dari ejaannya, inkripsi di nisan masih terbilang baru.
Sekalipun begitu, bisa jadi inkripsi tersebut mengacu pada catatan G.R Rouffer di atas atau, memang sudah ada dengan bahasa lokal lantas diperbarui usai pemugaran masjid.
Baca juga: Nasihat di Balik Kaligrafi Masjid Agung Surakarta
Pemugaran di masjid ini memang perlu dilakukan. Sebab saat kolonialisasi mencengkeram tanah ini, masjid tersebut juga tidak luput jadi sasaran. Tercatat pada 1943, masjid yang telah berdiri sejak berabad-abad lamanya ini luluh-lantak oleh serangan bom sekutu. Masjid memuing bertahun-tahun.
Sampai 1990, Masjid Sultan Muhammad Salahuddin dipugar total oleh keluarga kesultanan Bima tanpa menyisakan satu pun bentuk arsitektur yang lama. Tentu saja, dalam rentang yang mahapanjang tersebut, sketsa sejarah Masjid Sultan Muhammad Salahuddin telah memberi kontribusi signifikan bagi pemajuan Islam dan ruang keberagama(a)n inklusif di Bima dan sekitarnya.