
“Jika boleh mengingat, pertemuan saya dengan Islam dan Jawa mungkin sejenis pertemuan dengan diri yang menggetarkan… Saya mulai menyadari saya harus mulai mengenali diri saya sendiri (baca: man arofa). Mengenali saya ini siapa, dari mana, dan hendak kemana.
Saya menemui faktisitas diri: saya orang Jawa yang beragama Islam itu harus rela menerima kemestian bahwa saya “terpaksa” lahir di sebuah dusun di Jawa yang dengan seluruh perangkat tradisi, budaya, dan praktik keseharian yang membentuk diri berusaha memandang dan memberi makna hidup, bahkan terhadap ajaran agamanya.”
Semacam itulah getaran dalam sukma Irfan Afifi, seperti yang tertuang dalam buku Saya, Jawa, dan Islam (2019) ini. Sebuah buku yang menyorot perihal pencarian dan penelusuran identitas jati diri. Pergulatan identitas Jawa dan Islam yang sejatinya memiliki kait kelindan. Pergulatan identitas Jawa inilah yang akan menjadi pembuka buku ini sekaligus pintu masuk untuk menyelami dunia Jawa dan Islam kemudian.
Secara lebih jauh, buku ini bisa menjadi untaian kronik—atau jembatan—untuk memahami kelindan antara Islam dan Jawa, yang melebur menjadi satu entitas yang tidak bisa dipisahkan dari masa ke masa.
Irfan Afifi menceritakan sebuah pergulatan pemikiran yang dialaminya secara personal mengenai Jawa dan Islam. Pergulatan tersebut dialami betul oleh penulis sejak keluar dari kampungnya, di sebuah dusun nun di pinggir kota Ngawi, Jawa Timur, dan saat menuntut ilmu di kampus Bulaksumur, UGM.
Buku karya Irfan Afifi ini menambah pengetahuan saya tentang bagaimana bentuk-bentuk keislaman di Jawa yang tidak bisa lepas dari keadaan sosial-kultural, dan bagaimana Belanda sempat berusaha menghapus unsur keislaman di tlatah Jawa, terutama saat Perang Diponegoro—atau sering disebut Perang Jawa (1825-1830).
Buku ini pula menceritakan bagaimana seseorang yang menuntut ilmu, terutama ilmu agama “la ikraha fi ddin” bahwa tidak boleh ada paksaan apa pun atas nama kebenaran (agama). Leluhur orang Jawa pun sudah mengatakan, “ngelmu iku kelakone kanthi laku”. Ilmu yang merupa pada tingkah laku keseharian.
Baca juga: Ilmu Menurut Ajaran Jawa
Ilmu yang dicapai semestinya menjadikan seseorang matang secara material maupun spiritual. Sebab, tanpa adanya kedewasaan maupun akhlak, nisacaya muncul ego atau nafsu diri yang akan merusak dan menuntun manusia ke dalam jurang kehancuran.
Irfan Afifi menjelaskan dalam buku ini bahwa menuntut ilmu harus dimulai dengan kesungguhan, tekad sekeras baja, dan memberantas nafsu angkara—segala keburukan atau kebathilan. Ilmu yang sudah direngkuh inilah, entah secara ambisius, susah payah, atau berdarah-darah, yang kemudian menjadi pegangan seorang manusia dalam menjalani hidup dan membaktikan diri pada semesta.
Dadi Wong
Pada masa sekarang, muncul kriteria yang menjadi parameter sosok yang di dalam ajaran Jawa disebut dengan konsep “dadi wong”. Irfan Afifi menyebut bahwa “dadi wong” dalam jagat kosmologis Jawa mewujud pada orang yang telah mentas, mandiri, dan mulya atau mempunyai posisi yang terpandang.
Menurut standar ideal Jawa, anak yang berperilaku kekanan-kanakan dianggap belum mencapai ideal moral dan sosial. Orang-orang lazim menyebut kondisi tersebut dengan durung Jawa, atau belum menjadi Jawa alias njawani.
Baca juga: Ruwah dan Ritus Sebelum Ramadhan
Sedang dalam buku ditulis bahwa Islam menyebut cara lelaku atau berperilaku dengan mendisiplinkan raga pada syariat, menajamkan cipta dan waspada pada level thariqah, membersihkan jiwa dengan lantunan dzikir, dan pengetahuan makrifat yang meresap ke dalam ulu hati.
Sehingga, dengan cara tersebut akan menjadi manusia yang berbudi luhur dan berakhlak mulia, yang membawa manusia menebar kebaikan untuk mempercantik dunia (ayuning bawana) sebagai manifestasi rahmat semesta. Ada pula tradisi Jawa dalam menyampaikan kesempurnaan akhlak serta pandangan silam (tasawuf) yang berupa tembang suluk, wirid, serat, dan babad.
Ada pula fragmen maupun sisipan penting dalam pewayangan yang punya makna simbolik tinggi, seperti jimat/jamus kalimasada yang diterima Puntadewa disebut dengan kalimat syahadat, Werkudara sebagai bentuk lapisan keempat nafsu lawwamah, sufiyah, amarah, dan mutmainnah, maupun para dewa dan batara yang didegradasi sebagai keturunan nabi Adam.
Dunia pewayangan lantas menjadi tempat pertemuan dan persemaian dua entitas yang saya sebut mula-mula di atas.
Irfan Afifi juga menceritakan bagaimana para perempuan terjebak pada jerat pascakolonial, dan pemberontakan-pemberontakan petani (kaum tani) beserta gerakan mesianisme “ratu adil” terhadap pemerintahan kolonial yang menindas, serta tak lupa Suluk Centhini atau kitab Jawa.
Judul Buku : Saya, Jawa, dan Islam
Penulis : Irfan Afifi
Cetakan : Pertama, 2019
Tebal : X+222 halaman
Penerbit : Tanda Baca
ISBN : 978-623-90624-1-5