Ilustrasi dari islami.co

Ya, Allah. Taburkanlah Wangian

di kubur Muhammad yang mulia                      

dengan semerbak salawat

dan salam sejahtera

Seperti butir salju

Ruhku menggigit rumput

Menghisap putik makrifat

dan setangkai mawar

Kuntowijoyo (2018).

Puisi Kuntowijoyo dalam buku Makrifat Daun Daun Makrifat (2018) tidak dapat dilepaskan dengan isi bait-bait Al-Barzanji untuk Nabi Muhamad. Puisi tersebut berkelindan untuk mewakili perasaan umat muslim atas kerinduan terhadap Nabi Muhammad.

Sekian lamanya, Nabi memperjuangkan agama Islam sebagai gerakan revolusioner dalam menyuarakan pemikiran kesetaraan kemanusiaan, toleransi, dan sikap saling menghargai. Wujud kongkret gagasan tersebut dapat dicermati dalam isi perjanjian Piagam Madinah yang sudah disepakati oleh para pemimpin Muhajir, Anshar, dan beberapa pemimpin umat Yahudi.

Baca juga: Mengarusutamakan Politik Ulama

Jika ditelisik, puisi Kuntowijoyo seperti merangkai lantunan doa-doa tentang perjuangan begitu berat yang pernah diemban Nabi sebagai seorang pemimpin. Nabi Muhammad menjadi suri teladan umat muslim dalam berbagai aspek, baik secara teologis, sosiologis, dan politik.

Representasi tersebut merupakan wujud nyata dalam keberhasilan membawa umat Islam dari belenggu masa jahiliyah. Sekian puisi untuk Nabi menganalogikan bahwa keberhasilannya tidak sekadar disampaikan dalam kajian historis, tetapi juga masuk dalam kajian tasawuf dan sastra islami.

Sekian puisi Kuntowijoyo yang dinukil dari kitab Al-Barzanji memberikan imajinasi masa silam dalam mempengaruhi cara pandang etika beragama. “Ya, Allah. Taburkanlah wangian/di kubur Matahari yang mulia/ dengan semerbak salawat/ dan salam sejahtera/ Aku ingin/ Meletakkan sekuntum sajak/ Di makam nabi/ Supaya sejarah menjadi jinak/ Dan mengirim sepasang merpati/.

Di puisi, Nabi Muhammad dilukiskan sebagai matahari yang menyinari alam semesta. Ia membawa risalah kebenaran untuk melahirkan kesejahteraan kehidupan umat manusia. Aspek sufisme atau sufistik yang melekat pada bait-bait puisi menandakan bahwa kajian ilmiah dalam mengisahkan perjuangan Nabi Muhammad tidak hanya tertuju pada kitab-kitab sirah Nabi Muhammad saja. Puisi juga mampu mewakili kisah dalam wujud makna majazi yang terkandung di dalamnya.

Luasnya Keilmuan

Sekian banyak kitab-kitab sirah Nabi Muhammad yang ditulis oleh para ulama, kiai, cendikiawan, dan orientalis mencerminkan cara pandang yang cukup berbeda dalam menjelaskan kisah Nabi Muhammad. Hal ini bisa terjadi akibat dari berbagai pendekatan bidang keilmuan dari para pengkajinya.

Di puisi, Nabi Muhammad dilukiskan sebagai matahari yang menyinari alam semesta. Ia membawa risalah kebenaran untuk melahirkan kesejahteraan kehidupan umat manusia

Misalnya, buku Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haekal (2006), buku berjudul Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis karya Karen Armstrong (2011), buku Membaca Sirah Nabi Muhammad: dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih karya M. Quraish Shihab (2023), buku Akulah Angin Engkaulah Api karya Annemarie Schimmel (2016) dan juga buku Cahaya Purnama Kekasih Tuhan: dan Muhammad adalah Utusan Allah (2012) karya Annemarie Schimmel. Karya-karya tersebut menggambarkan luasnya kajian ilmu dari berbagai perspektif dan pendekatan keilmuan.

Kajian tentang sirah Nabi Muhammad dari pandangan para ulama maupun cendikiawan di atas, memiliki kerangka paradigma tersendiri. Beragam informasi tentang kisah Nabi Muhammad tersebut secara tidak langsung dipengaruhi oleh bidang keilmuan para penulisnya. Sebut saja seperti Muhammad Husain Haekal, saat menulis sirah Nabi, lebih mengedapankan pendekatan rasional dan politik.

Banyak kisah-kisah Nabi Muhammad yang lebih ditonjolkan sebagai pemimpin dan perjuangan politik dakwah di masa itu. Haekal dalam bukunya terkesan menghindari hal-hal yang bersifat metafisik yang berkaitan dengan kehidupan Nabi Muhammad. Bahkan hal fundamental yang Haekal kerjakan adalah ingin mengamati secara empiris mengenai perjalanan Isra Miraj dilihat dari kacamata ilmu pengetahuan (sains) yang berkembang.

 Meskipun demikian, pendapat tersebut memang dapat dikatakan bagian dari bentuk gagasan subjektifitas. Tentu hal tersebut tidak menutup kemungkinan berbeda dengan pendapat para pakar islamic studies dalam memahami sejarah masa lalu.

Artinya, semakin banyak para pakar dari bidang keilmuan yang berbeda dalam mengkaji sirah Nabi Muhammad, akan menghasilkan khazanah keilmuan yang tak terbatas dalam memberikan informasi yang komprehensif.

Sederhananya, karya Annemarie Schimmel berjudul Akulah Angin Engkaulah Api (2016) memiliki corak berbeda dengan karya Muhammad Husain Haekal, Schimmel justru menulis sirah Nabi Muhammad lebih mengedepankan pada aspek spiritualitas, etika, dan memegang teguh ajaran tasawuf melalui puisi-puisi.

Perbedaan yang cukup signifikan ini memberikan kontribusi ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia Islam. Di buku Schimmel misalnya, ketakjubannya terhadap karya-karya Jalaludin Rumi turut memberikan penjelasan terhadap perjalanan spiritualitas Nabi Muhammad.

Kita pun bisa mencermati bait puisi yang dikutip dari Rumi; “Ada seratus ribu buku syair—/semuanya jadi malu/ di hadapan kata sang buta huruf (Nabi)!  Di puisi ini, Rumi menjelaskan dengan membuat interpretasi yang lebih teoretis mengenai istilah ummi: bahwa pengetahuan Nabi itu bersifat bawaan bukan diperoleh melalui belajar, melainkan Nabi memperoleh pengetahuannya dari akal pertama, sumber segala kearifan.

Baca juga: Paham Moralitas Beragama

Gambaran tersebut didukung oleh beberapa penyair terkemuka, seperti yang dikutip Schimmel dalam buku Cahaya Purnama Kekasih Tuhan: dan Muhammad adalah Utusan Allah (2012). Bahwa tradisi bersyair dalam masyarakat Arab dan sekitarnya tidak sekadar menggambarkan kultur sosiologis, tetapi juga berkontribusi dalam menjelaskan aspek sufistik tentang Nabi Muhammad.

Misalnya puisi seperti, “cahaya Muhammad” yang digambarkan Ibn Arabi yang mengutip dari syair al-Tustari; Yang pertama muncul dari kedalaman Kegaiban/Adalah cahaya murninya—tak perlu dipertanyakan/dan tak perlu lagi diragukan!/Cahaya mulia ini membuka tanda-tanda—Arasy,/Pijakan kaki, Pena dan Lembaran Catatan pun tiba,/Satu bagian dari cahaya murninya menjadi dunia,/ Dan satu bagian menjadi Adam dan benih umat manusia./

Keikut-sertaan menggambarkan “cahaya Muhammad” dalam bait-bait puisi ini pada dasarnya usaha memperjelas tanda orang beriman yang sejati—yang artinya Nabi Muhammad menurut Schimmel adalah kekasih Tuhan. Ia menjadi cahaya untuk menerangi umat manusia—yang pada masa itu dunia masih mengalami kegelapan.

Selain menjadi cahaya dalam konteks pembawa risalah kebenaran, Nabi Muhammad menurut Schimmel juga menjadi cahaya promordial, yang semestinya tidak diragukan dari aspek teologi pembebasan. Sekian catatan demi catatan, baik dalam puisi maupun kitab-kitab sirah Nabi Muhammad merupakan ikhtiar untuk mengenang kembali perjuangan Rasulullah. Allahumma sholli ala sayyidina muhammad.

Tulisan ini pernah dipublikasi dalam buku Merindu Rasulullah: Kisah Inspiratif Menggapai Cinta Nabi yang diterbitkan Penerbit Diomedia (2023).

Bagikan
Editor Damarku.id & Pengacara LBH MHH Aisyi'yah Jawa Tengah. Alumni Akademi Mubadalah 2025.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here