
Bakda Tarawih, bebunyian bacaan Al-Qur’an melantun di toa-toa masjid-musala wilayah Kesambi Kota Cirebon. Lain dengan di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), alunan bacaan istigisah melantun lalu dipungkasi alunan perpaduan musik tradisional dan modern bergenderang dalam harmoni dakwah kebudayaan.
Acara tersebut merupakan lanjutan dari serangkaian Tadarus Budaya Ramadan yang digelar Ki Ageng Ganjur selama Ramadan. Saat bertamu ke Cirebon, pada 26 Maret 2024, ISIF berkesempatan menjadi tuan rumahnya rangkaian tur itu.
Sedari siang, Bincang Literasi bersama Gusdurian Cirebon memulai gelaran TBR ini. Sorenya berlanjut dengan Pentas Budaya dan Dialog Kebudayaan. Dialog Kebudayaan menghadirkan Dr. Ngatawi Al-Zastrow (Budayawan, Mantan Ajudan Gus Dur, Pimpinan Ki Ageng Ganjur), KH. Dr. Husein Muhammad (Pengasuh Ponpes Dar Al-Fikr), KH. Dr. Ibrohim Nawawi (Pengasuh Kesenian Wayang Potel Indramayu), dan Hj. Ratu Arimbi Nurtina (Juru Bicara Kasultanan Kanoman Cirebon).
Baca juga: Tradisi Munggahan di Tatar Sunda
Malamnya, pascatarawih istigasah dilantunkan. Berlanjut pada inti acara yakni Konser Ki Ageng Ganjur (selanjutnya ditulis KAG). KAG merupakan grup musik pimpinan Dr. Ngatawi Al-Sastrow. Kelahiran sekaligus penamaannya langsung diprakarsai oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Kompisisi Musik
Dalam sambutan awal, Dr. Ngatawi membeberkan perjalanan pernah tercapai oleh KAG. Grup ini telah malang melintang keliling dunia dengan membawa kebudayaan lewat seni musik bermisi dakwah. Sebagaimana diungkapkan oleh Koentjaraningrat dalam buku Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan (1974) soal wujud kebudayaan sedikitnya ada tiga; suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan; suatu kompleks aktivitet kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Bahwa soal mengenal-promosikan kebudayaan Indonesia pada dunia sekaligus kesadaran dakwah, KAG ajeg dan bergerak tak lepas dari dawuh Gus Dur. “Ganjur harus menjadi sarana dialog lintas iman. Kalau Lewat mulut engkoe padu kabeh (nantinya berantem semua). Maka dialognya harus lewat musik agar diterima oleh semua umat.” terang Dr. Ngatawi menirukan pesan mendiang Gus Dur.
Pesan itu terpegang erat oleh Ganjur dalam langkah-geraknya berdakwah. Selain memromosikan kebudayaan mereka pun mesti pandai meracik pelbagai komposisi musik. Sejalan dengan dawuh mendiang Gus Dur bahwa faktor keberterimaan dakwah lewat kebudayaan musik jauh lebih efektif diterima alih-alih lewat kata-kata saja. Dalam pada itu, KAG selalu kreatif menggarap genre-genre musik seperti pop, jazz, koplo, islami, reggae, kasidah, dan sebagainya.
Demikian terbukti, saat awal penampilan, Christi menyanyikan “Marhaban Ya Ramadhan”-nya Opick. Lewat aransemen khas, perpaduan musik tradisional dan modern, lagu islami ini berbalut musik pop dan band. Nuansa liriknya masih terasa, namun kesyahduan balutan aranamennya begitu terasa.
Dalam lagu lain, “Padang Bulan” misalnya, kleneng saron, dengung bonang, dan dayu ketimpung membikin guratan warna baru pada syair karangan Habib Luthfi bin Yahya yang dipopulerkan oleh Habib Syech bin Abdul Qodir ini. Disusul dengan lagu “Kota Santri” pun salah satu lagu Michael Jackson pun terbawakan oleh KAG.
Di sela rehat dari pembawaan lagu ke lagu, Dr. Ngatawi mengenalkan sekian personel KAG. Tiga perempuan penyumbang suara disinggung oleh beliau. Di antaranya Christy, Ayu Astuti (artis Kontes Dangdut Indonesia), dan Mei Devi (jebolan Bintang Pantura, Fatayat NU Magelang, sekaligus penabuh ketimpung).
Satu hal yang, lagi-lagi saya dibuat kepincut oleh komposisi musik kolaboratif ini ialah soal aransemen. Pertama saya menaruh hati pada aransemen serta suara vokalis dalam lagu “Lir Ilir” yang dibawakan grup Seni Jantur Klaten. Dan, belum lama terkesima lagi oleh aransemen Ki Ageng Ganjur di lagu “Marhaban Ya Ramadan”-nya Opick. Kombinasi alat musik modern macam gitar, piano, bas, saksofon, dan drum berpadu mesra dengan saron, bonang, kendang, ketipung, genjring, dan seruling.
Menabur Harmonika
KAG tak sendiri membawa penghiburan di ISIF, melain ditemani Sarah Saputri dan Budi Cilok. Di awal Sarah membawakan “Bertaut”-nya Febi. Lewat suara parau nan lembutnya, Sarah berhasil menyihir penonton larut dalam merdu nyanyian lirik khas Febi. Tak sedikit penonton ikut menemani Sarah bernyanyi.
Sarah dikenal sebagai penyanyi sekaligus pemain harmonika. Dengan jujur, ia igin terus memomulerkan salah satu alat musik tiup ini. Satu lagu ia bawakan yang kesemuanya berisi nada-nada harmonika berjudul “Ciwidey”. Ciwidey adalah sebuah tempat bergelimah wisata di daerah Bandung Selatan. Lewat tiupan nada harmonika, Sarah berusaha merepresentasikan keindahan alam Ciwidey lewat pompaan nada harmonika.
Baca juga: Mahasiswa, Radikalisme, dan Islam Wasathiyyah
Sebelum Budi Cilok tampil, KH. Husein Muhammad, sebagai sesepuh di ISIF, diminta membaca puisi dan tembang. Dua puisi dan dua tembang dibawakannya. Satu dari puisi nya, beliau tulis bagi sahabatnya, Gus Dur. Senandung sajak itu sedikitnya menjadi gambaran lelaku Sang Guru Bangsa pernah berlelaku di bumi Nusantara.
Isu Lingkungan dan Musik
Budi Cilok, pria bernama asli Budi Mulyono adalah penyanyi solo penggemar Iwan Fals. Sepintas suaranya pun hampir mirip dengan Presiden Orang Indonesia itu. Soal lagu-lagu yang Budi ciptakan sedikit banyak terprovokasi lirik-lirik khas Iwan Fals. Bernada kritik dan mengandung sinisme pada penguasa. Menjadi pepeling (pengingat) atau lelaku masyarakat Indonesia.
Selain membawa lagu “Nak” dan “Bento”-nya Iwan Fals dan “Pemuda Idaman”-nya Diana Sastra, Budi menyihir penonton lewat lagu yang ia tulis sendiri berjudul “Jangan Buang Sampah Sembarang”. Lagu memberi ingatan mendalam soal lelaku masyarakat agar bijak menyikapi sampah. Peringatan itu dibuatka lagu oleh Budi agar pesannya lebih diresap-masuki masyarakat.
Melodi khas komposisi reggae menemani lagu ini. Lagu pun berdendang: Jangan buang sampah ke sungai/ karena itu bisa bahaya/ jangan buang limbah ke sungai/ karena itu bisa membunuh/ mati juga ikan-ikannya//. Sembari memetik gitarnya, Budi energik bernyanyi mengajak sekian penonto agar tabah menerima nasihat soal sampah. Musik terus bersenandung, mulut Budi terus bernyanyi, sementara penonton khidmat menikmati sodoran pentas ini.
Genderang bas drum bersalipan dengan lengking saron merasup di pekat awan. Suaranya memarakkan syahdu malam Ramadan. Membikin penonton menyembulkan senyuman bibirnya. Mereka terhibur oleh alunan kesenian musik kebudayaan Ki Ageng Ganjur.