
Kini, siapa yang tak punya akun media sosial seperti Whatsapp, Facebook, Tiktok, Instagram, serta X (dulu Twitter)? Hampir dapat dipastikan, bahwa di era yang disebut masyarakat modern sebagai era teknologi ini, setiap individu memiliki salah satu akun media sosial.
Kehadiran media sosial “seakan-akan” sudah menjadi kebutuhan layaknya sandang, pangan, dan papan, terutama bagi para generasi muda. Dengan media sosial, para pengguna dapat memperluas lingkaran sosial, dan mempercepat akses berita atau informasi, entah itu sebagai pencipta maupun pembaca.
Keberadaan media sosial ibarat pedang bermata dua. Semakin tajam pedang atau semakin berlebihan dalam menggunakan media sosial, semakin tajam pula dampak destruktif bagi penggunannya. Namun, jika keberadaan media sosial digunakan untuk meningkatkan kehidupan, membuka cakrawala pemikiran baru, dan memperluas wawasan, serta meningkatkan kualitas hidup, maka yang akan didapat keuntungan bukan kerugian.
Media sosial yang berbasis pada jagat digital, memudahkan pengguna mengakses berbagai informasi terkini–yang berasal tak hanya dari dalam negeri, tetapi juga mancanegara.
Dengan kata lain, eksistensi media sosial, telah membuat setiap lapisan masyarakat dengan sangat gampang bisa memuaskan rasa penasaran dan ingin tahuan dalam dirinya. Hanya cukup dengan mengklik layar, pelbagai informasi segera muncul memenuhi beranda. Semua bisa diakses dengan lekas, mulai dari hal yang serius hingga hal remeh-temeh–untuk tidak menyebutnya “receh”.
Sisi Negatif
Kini, realita yang terjadi, penggunaan media sosial rupanya telah berlangsung bagi segenap masyarakat. Tak heran apabila muncul dampak negatif yang diperoleh para penggunanya, khususnya para generasi muda. Pasalnya, generasi muda kini, memandang media sosial tak hanya sebatas sebagai media hiburan, melainkan media mencari sensasi bahkan eksistensi, sehingga tak jarang pengguna yang kurang informasi dari media sosial, dianggap sebagai orang yang ketinggalan zaman.
Untuk saat ini saja, media sosial telah menjadi sarana dan wahana dalam berbagai pengharapan, fantasi, bahkan spekulasi hampir setiap generasi muda. Pengharapan dan fantasi mendapatkan perhatian ini ditempuh dengan cara berbagi setiap informasi (penting dan tidak penting) di media sosial. Seperti remaja yang sering meminta komentar, saran, atau persetujuan kepada teman di media sosial seperti whatsapp.
Baca juga: Kuasa Media Sosial
Di media sosial lain semacam facebook, X, tiktok, ataupun instagram, seringkali mereka meminta pendapat tidak secara langsung. Akan tetapi, dengan memberikan like atau comment, yang mana dengan keduanya menganggap diri mereka populer hanya di media digital. Dengan kebiasaan ini, mereka cenderung lebih percaya diri di media sosial ketimbang di kehidupan nyata yang sebenarnya. Jelas, bahwa media sosial dan mental para pengguna ini jelas tidak bisa dipisahkan saling berpengaruh.
Dengan rasa percaya diri tersebut kemudian tumbuh rasa ingin pencitraan, sehingga akan sangat mudah mendapat banyak validasi dari teman-teman media sosial, dan otomatis populer dengan citra diri di media sosial. Nyatanya, citra diri ini belum tentu selaras dengan realitanya.
Lebih jauh, media sosial “seakan-akan” telah memberi daya yang membuat penggunanya mengalami transendensi melampaui diri sendiri dan dunia yang terbatas menjadi semacam candu. Dan, generasi muda yang sudah kecanduan media sosial ini, sulit mengalihkan perhatiannya pada dunia realita, sehingga hal ini yang menyebabkan mereka terjebak ke dalam lingkaran drama media sosial.
Keberadaan media sosial acap kali menawarkan hal yang semu untuk berfokus pada ekspektasi orang lain. Dengan mengikuti gaya orang lain atau idola, dimana standard yang digunakan sangat kontras dengan keadaan sosial ekonomi, memaksa mereka untuk merengkuh sesuatu yang sebenarnya jauh. Hal ini tentu, yang membuat diri merasa tidak cukup plus puas dengan rupa diri, sehingga ketidakpuasan tersebut-sebut melahirkan stress, cemas, depresi, dst.
Solusi Konstruktif
Oleh karenanya, perlu adanya solusi dan regulasi dari para pemangku kebijakan dalam mengatasi problem berkait media sosial dan kesehatan mental para generasi muda ini. Sekarang, solusi yang dikira tepat dengan menyadarkan eksistensi diri sehingga dapat melihat dengan jelas serta mengevaluasi diri, dapat membangun kepercayaan diri, harga diri, dan lebih menghargai kepribadian diri sendiri daripada sekadar citra.
Paling tidak, yang bisa dilakukan adalah dengan menggalakan lagi komponen dasar dalam konsep diri seperti ideal self, diri yang diinginkan oleh seseorang. Dan, real self, ketika seseorang dapat memandang dirinya sendiri. Serta, public self, yang merupakan pandangan orang lain dan lingkungan sekitar mengenai dirinya. Konsep diri ini bisa berkembang sesuai dengan bagaimana seseorang tersebut mengembangkan dirinya.
Baca juga: Fiksi Sains dan Perubahan Imajinasi
Misalnya, jika menilai dirinya dengan penilaian yang negatif, maka akan berkembang ke arah yang negatif pula. Sebaliknya, jika menilai dirinya dengan menerima kekurangan dan kelebihan dirinya, baik yang diketahui sendiri ataupun pandangan orang lain, maka akan berkembang ke arah yang positif.
Para pengguna media sosial ini kebanyakan dari kalangan remaja yang cenderung terpengaruh dan percaya terhadap isi media sosial. Di sana pun, ada konten yang membangun mental dan yang merusak mental.
Lalu ini bergantung bagaimana kita memposisikan diri di hadapan media. Seseorang dapat menjadikan media sosial lebih bermanfaat jika ia mengkonsep dirinya ke arah yang positif, sebaliknya, media sosial dapat merugikan jika ia tidak dapat menata diri dengan baik.
Pada akhirnya, setiap keberadaan media sosial–yang saat ini sedang dan akan terus berkembang–harus dimaknai sebatas media online yang semu, dimana setiap penggunanya berpartisipasi dalam dunia digital dan, masih ada dunia nyata yang mesti diwarna-maknai sepenuh hati.