
Memasuki hari ke sepuluh Ramadan kemarin, di sebuah forum jagong kusir yang berisi sekitar tujuh orang, mereka sedang asyik berbagi cerita dan pengalaman masing-masing tentang rutinitas di bulan suci Ramadan.
Obrolan mengarah pada pokok bahasan aktivitas produktif selama raga menahan lapar dan dahaga. Mayoritas mengakui bahwa bulan puasa mereka mengalami penurunan performa. Secara tidak sadar, waktu luang terbuang sia-sia hanya karena terlarut dalam menatap layar gawai.
Satu per satu dari jagong kusir ini mengecek durasi penggunaan layar di masing-masing gawainya. Secara fantastis, rata-rata penggunaan gawai mengalami peningkatan. Terakumulasi, dalam seminggu rata-rata delapan jam sehari. Lalu, dibanding dengan penggunaan sebelum Ramadan, selisih sekitar tiga puluh persen dari penggunaan di hari-hari biasa.
Media sosial memang acap jadi godaan yang sulit terelakkan di berbagai sendi-sendi kehidupan. Orang mudah terhanyut gemerlap konten yang disajikan oleh berbagai kanal media sosial. Apalagi dalam keadaan fisik sedang menahan lapar dan dahaga seperti Ramadan ini, yang seharusnya dapat menghayati berbagai manfaat dari bulan yang disucikan, malah benar-benar terdistraksi media sosial.
Bulan Ramadan bagi umat Islam dimaknai sebagai bulan suci yang penuh berkah dan sebagai bentuk ketaatan kepada Tuhan. Di bulan Ramadan pula seluruh amal ibadah dapat dilipat-gandakan, sehingga banyak diserukan untuk berlomba-lomba menanam amal kebaikan.
Puasa sendiri memiliki arti, menahan diri dari makan, minum, hawa nafsu dan hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa. Ramadan juga menjadi momen untuk introspeksi diri, meningkatkan ketakwaan, dan mendekatkan diri ke Sang Pencipta.
Banyak ragam aktivitas yang dapat dilakukan, tentu selaras dengan tuntunan syari’at Islam guna menimbun amal ibadah selama bulan suci Ramadan. Seperti membaca Al-Quran, sedekah, salat tarawih, dan amalan-amalan sunnah lainnya.
Distraksi Media
Namun, di era digital sekarang ini, satu tantangan terbesar yang dihadapi banyak orang adalah kecanduan media sosial di bulan Ramadan. Banyak aktivitas sehari-hari yang tergeser dan dihabiskan ke dunia maya. Karena faktor menahan lapar dan dahaga, menjadi alasan bagi sebagian orang mengalihkan waktunya dengan menatap gawai.
Bisa saja perilaku tersebut mengurangi amal ibadah di bulan puasa, bahkan dapat membatalkan puasa karena pengaruh konsumsi tayangan—yang pada akhirnya mendorong perilaku melanggar ketentuan puasa.
Fenomena yang terungkap dalam jagong kusir, ternyata sejalan dengan temuan penelitian yang dilakukan pada tahun 2024, oleh lembaga penelitian Populix, yang merilis hasil penelitiannya berjudul Ramadan 2024: Connectivity, Media Consumption, and Delivery Dynamic.
Penelitian ini menyajikan data menakjubkan, di mana adanya peningkatan signifikan dalam penggunaan data internet untuk komunikasi dan akses konten digital selama bulan suci. Akses terhadap platform YouTube menempati konsumsi tertinggi (70%), disusul akses terhadap televisi (49%) dan layanan video-on-demand seperti Netflix (46%).
Laporan penelitian lain juga merilis, salah satunya perusahaan TikTok, yang mengungkap tren peningkatan konsumsi konten selama Ramadhan sebanyak 54 persen. Para pengguna TikTok banyak melakukan eksplorasi konten seputar hiburan, traveling, hingga konten belanja guna memenuhi kebutuhan saat merayakan momen hari raya.
Baca juga: Media sosial dan Kesehatan Mental
Intensitas penggunaan sosial media inilah yang memunculkan perilaku konsumtif saat bulan Ramadan. Terlebih, di hari-hari terakhir mendekati Idul Fitri. Sajian konten kanal sosial media menjadi acuan tren fesyen, makanan, interior rumah dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, perlunya menggalakkan gagasan untuk “berpuasa media sosial” selama bulan Ramadan. Gagasan ini tidak hanya relevan dari sudut pandang keagamaan, tetapi juga memiliki dampak psikologis yang signifikan.
Dalam Islam, puasa tidak hanya sekadar menahan hawa nafsu, tetapi juga menahan diri dari segala hal yang mengurangi pahala atau mengganggu kekhusyukan ibadah. Media sosial, meski punya banyak manfaat, seringkali menjadi sumber distraksi yang mengalihkan perhatian dari hal-hal yang lebih penting, seperti ibadah, membaca Al-Qur’an, atau menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarga.
Sehat Mental
Berpuasa media sosial selama Ramadan pun dapat dilihat sebagai bentuk mujahadah an-nafs, yaitu perjuangan melawan hawa nafsu. Kecanduan media sosial sering dipicu keinginan untuk terus-menerus memperbarui informasi, mencari validitas melalui likes dan komentar, atau sekadar menghabiskan waktu tanpa tujuan jelas. Dengan menahan diri, kita sebagai pengguna media bisa lebih disiplin dan fokus pada hal-hal sederhana yang lebih bermakna.
Dari sudut pandang psikologi, puasa media sosial dapat memberikan manfaat positif bagi kesehatan mental. Media sosial sering menjadi sumber stres dan kecemasan. Studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan menyebabkan perbandingan sosial yang tidak sehat, perasaan tidak cukup, bahkan depresi. Dengan berpuasa media sosial, seseorang dapat mengurangi paparan terhadap konten negatif dan menyisihkan ruang tenang bagi pikiran.
Penelitian bidang neurosains menegaskan bahwa penggunaan media sosial memicu pelepasan dopamin. Dopamin merupakan zat kimia di otak yang bertanggung jawab atas perasaan senang dan kepuasan. Setiap kali kita menerima notifikasi, like, atau komentar, otak kita melepaskan dopamin, menciptakan siklus penghargaan yang membuat kita ingin terus kembali ke platform tersebut.
Sebuah studi yang diterbitkan jurnal Nature Communications (2022) juga menemukan bahwa kebiasaan scrolling media sosial dapat mengaktifkan area otak yang sama dengan yang diaktifkan oleh kecanduan narkoba. Hal ini menjelaskan mengapa banyak orang merasa sulit untuk berhenti scrolling, bahkan ketika mereka menyadari hal tersebut nirmakna atau merugikan.
Media sosial memang acap jadi godaan yang sulit terelakkan di berbagai sendi-sendi kehidupan. Orang mudah terhanyut gemerlap konten yang disajikan oleh berbagai kanal media sosial
Melalui puasa media sosial, gerakan ini dapat meningkatkan kualitas tidur. Perlu diketahui bersama, bahwa banyak orang yang menghabiskan waktu sebelum tidur dengan scrolling media sosial. Kebiasaan ini dapat mengganggu pola tidur karena paparan cahaya biru dari layar.
Hal ini dikonfirmasi melalui penelitian yang dirilis Sleep Health Journal (2021), di mana penggunaan media sosial tepat sebelum tidur menyebabkan insomnia dan kualitas tidur yang buruk. Kurang tidur tak hanya membuat tubuh lelah, tetapi juga memperburuk masalah mental seperti kecemasan dan depresi. Selain itu, kebiasaan scrolling yang berlebihan sering membuat tubuh kurang gerak—yang dapat berkontribusi pada masalah fisik seperti obesitas dan penyakit kardiovaskular.
Baca juga: Kuasa Media Sosial
Dengan mengurangi penggunaan media sosial, seseorang memiliki waktu tidur lebih berkualitas, yang pada akhirnya berdampak positif pada fisik dan mental. Melalui puasa media sosial, ini juga membantu meningkatkan produktivitas dan fokus.
Tanpa distraksi dari notifikasi dan update yang terus-menerus, seseorang lebih fokus pada kegiatan yang lebih produktif; membaca, belajar, atau beribadah. Hal ini sejalan dengan konsep time management dalam Islam, di mana waktu adalah anugerah yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.
Gerakan puasa media sosial selama Ramadan sebenarnya tak hanya sekadar tren, tetapi jua punya fondasi yang kuat baik dari sudut pandang psikologi. Dalam psikologi, konsep berpuasa media sosial dikenal dengan sebutan digital detox (detoksifikasi digital), gerakkan ini semakin populer sebagai cara mengurangi ketergantungan pada teknologi dan meningkatkan kesejahteraan mental.
Waktu yang Tepat
Ramadan adalah waktu yang tepat untuk merenungkan kembali tujuan dan prioritas yang ingin dicapai dalam hidup. Apakah kita sudah menggunakan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat, atau justru terjebak dalam siklus yang sia-sia? Puasa media sosial berusaha menjawab pertanyaan ini dan mengambil langkah konkret guna menjadi pribadi yang baru dan lebih baik.
Berpuasa media sosial selama bulan Ramadan setidak-tidaknya merupa langkah bijaksana, sebagai sarana meningkatkan kualitas ibadah saat bulan Ramadan serta menjadi jembatan psikologis untuk meningkatkan kesehatan mental.
Adang Hawari seorang pakar sekaligus Guru Besar di bidang Psikiatri menemukan bahwa gangguan-gangguan jiwa nonpsikosis; fobia, obsesif kompulsif, panic disorder, dapat disembuhkan dengan terapi puasa. Secara psikologis, puasa yang dijalankan khusyuk dapat membuat diri mengendalikan nafsu. Berpuasa berpengaruh positif terhadap rasa (emotion), cipta (ratio), karsa (will), karya (performance) dan menjadikan pribadi yang sabar plus ikhlas.
Melalui puasa media sosial diharapkan dapat mengantarkan aspek ketaatan dan ikhtiar membersihkan jiwa dari hal-hal yang kurang manfaat. Sehingga, pada bulan yang suci ini, kita dapat memanfaatkan dengan baik sekaligus sebagai momentum untuk tak hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga dari segala bentuk distraksi—yang menjauhkan kita dari tujuan utama hidup: beribadah kepada Allah SWT dan menjadi pribadi yang lebih baik dari hari kemarin.