E-Sports dan Game
Ilustrasi dari islami.co

beberapa tahun terakhir dunia industri e-sports mengalami perkembangan sangat pesat di berbagai belahan dunia. Turnamen e-sports marak diselenggarakan baik tingkat nasional maupun internasional. Biasanya turnamen tersebut disiarkan secara langsung. Beberapa jenis game yang menjadi bagian dari e-sports di antaranya seperti FPS (First Person Shooter), MOBA (Multiplayer Online Battle Arena), Battle Royal, PUBG, Mobile Legends, Efootball dan lain sebagainya.

E-sports yang memliki kepanjangan electronic sports merujuk pada game atau permainan video yang dimainkan satu orang atau tim di sebuah kompetisi. E-sports dianggap lebih profesional dibanding game online secara umum, sebab e-sports dimainkan pemain yang berlatih intensif untuk memenangkan gelaran turnamen.

Sejatinya, e-sports merupa bagian dari game online. Game online sebagai aplikasi hiburan sangat digandrungi berbagai kalangan; mulai dari anak-anak, remaja, bahkan dewasa. Secara faktual, jamak didapati pada setiap gawai yang dimiliki anak muda sekarang terpasang aplikasi game online.

Kegandrungan Game Online

Di samping itu, kegandrungan anak muda terhadap e-sports dan game online dapat ditemukan di beberapa tempat dari yang privat sampai publik, seperti teras, poskamling kampung, kantin, kafe dan warung kopi.

Suatu sore, saya mendapati anak-anak SD yang nongkrong di gardu pertigaan jalan kampung yang kompak memiringkan HP. Mereka semangat menggerakkan-gerakkan jari ke layar demi mabar (istilah yang merujuk kebiasaan mereka ketika main bareng) berharap hero yang dipilih dalam game online tersebut tak dikalahkan lawan. Mereka mengatur formasi dan strategi sedemikian rupa dengan tujuan memenangkan permainan.

Mirisnya, di sela-sela permainan, terkadang terdengar ucapan-ucapan kasar dan tidak patut untuk diucapkan—atau dalam bahasa Jawa, misuh. Rupanya, umpatan tersebut dilontarkan ketika hero yang mereka mainkan mendapat serangan dari lawan, yang jika serangan tersebut terjadi terus menerus akan menimbulkan kekalahan bagi mereka.

Fenomena yang sama jamak terjadi di kafe-kafe dan warung kopi. Game online sebenarnya bukanlah masalah, akan tetapi lontaran-lontaran tak patut dan tak sopan yang diucapkan justru mengganggu orang-orang di sekitarnya. Umpatan yang sering dilontarkan oleh para gamers ini kemudian dikenal dengan istilah toxic. Toxic merujuk pada kebiasaan ucapan mereka yang kasar dan tidak patut ketika mengalami kekalahan atau menerima serangan lawan.

Baca juga: Media sosial dan Kesehatan Mental

Dalam suatu kesempatan, para gamers mendapat stigma kurang baik dari masyarakat karena beberapa hal yang ditimbulkan seperti perkataan kurang sopan, lupa beribadah, lupa belajar, menjauhkan diri dari kebiasaan membaca buku, dan lain sebagainya. Kebiasaan bermain game identik dengan penggunaan waktu yang sia-sia.

Berkembanganya pengguna game onlline yang semakin meluas tidak dapat dilepaskan dari karakteristik aplikasi game online yang bersifat terbuka, egaliter dan kosmopolit. Artinya game adalah sebuah aplikasi permainan atau hiburan yang dapat digunakan-diakses siapa saja. Dengan karakter ini, game online beberapa kali dianggap sekuler sehingga seolah-olah menutup ruang partisipasi bagi kaum muslim.

Partisipasi Muslim dalam Dunia E-Sports

Meski stigma masyarakat terhadap game online terkesan buruk dengan akibat negatif atau dunia gaming sering dianggap sekuler, banyak muslim secara profesional berkiprah di dalamnya. Profesionalitas mereka bahkan telah mencapai level kompetitif di beberapa game terkenal seperti Counter-Strike, PUBG, League of Legends dan Dota 2. Beberapa muslim gamers ini secara terbuka mengidentifikasi diri sebagai muslim dan berupaya merawat nilai-nilai keislaman mereka dalam dunia gaming.

Dalam pengamatan saya, saya menemukan satu komunitas game online yang di dalamnya terhimpun pemuda-pemuda muslim. Komunitas ini bernama Muslim Gamers League, sekelompok gamers muslim ini berupaya menyatukan visi mereka untuk menciptakan ruang game yang tidak bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai Islam.

Komunitas Muslim Gamers League yang diinisiasi oleh Yusha Evans, seorang muallaf dan da’i yang berasal dari Greenville, Carolina selatan ini, telah menghimpun ribuan gamers muda muslim sebagai anggotanya yang tersebar di seantero dunia. Yusha menyadari bahwa perkembangan game online semakin canggih merupakan sebuah keniscayaan yang  harus disadari. Baginya, dunia gaming ini dapat menjadi media dakwah untuk menyampaikan pesan-pesan religi.

Perkembangan game online yang semakin canggih merupakan keniscayaan yang harus disadari dalam arus perkembangan zaman. Game online dapat menjadi media dakwah untuk menyampaikan pesan-pesan religi.

Kesenjangan dan tantangan dunia gaming selama ini terlanjur negatif akibat ekosistem dan nuansanya tidak dibangung dengan nilai-nilai keislaman.  Penggunaan bahasa kasar di lingkungan game seakan-akan normal, padahal Islam melarang umpatan-umpatan kasar.

Dalam beberapa ayat Al-Qur’an seringkali mengintruksikan kepada muslim untuk berkata baik dan sopan dengan ragam istilah seperti qaulan sadida (Qs. Al-Ahzab:70), qaulan ma’rufa (QS. An-Nisa:5), qaulan layyina (Qs. Thaha:44), qaulan maysuro (QS. A-Isra:28), qaulan baligha (Qs. An-Nisa:63), dan qaulan karima (Qs.Al-Isra:23).

Baca juga: Kuasa Media Sosial

Beberapa ayat tersebut setidaknya menjadi rambu-rambu dalam berkomunikasi dan berucap. Normalisasi ucapan kasar yang sering terjadi di dunia game tidak dapat dibenarkan bahkan panggilan kasar—meski untuk merepresentasikan rasa akrab, tetap berseberangan dengan nilai-nilai keislaman.

Kelompok Pemain Game Muslim

Di samping itu, tantangan gamer muslim ialah waktu bermain game yang berbenturan dengan waktu ibadah. Menyikapi hal tersebut, terdapat beberapa etika yang harus dijaga oleh gamers muslim. Mulai dari menjaga waktu dan prioritas, seorang gamer muslim harus memastikan waktu bermain game tidak menggangu waktu ibadah wajib. Menghindari game yang mengandung unsur haram seperti perjudian, kekerasan dan eksploitasi seksual.

Grup Muslim Gamers League dibentuk untuk menyikapi dan menegosiasi beberapa tantangan ini. Yusha menyebut dalam penjelasannya di kanal Islam Channel bahwa ada aturan ketat yang harus ditaati sebagai member Muslim Gamers League; menjaga etika komunikasi dalam bermain game dan menjaga waktu ibadah tepat waktu.

Melalui komunitas Muslim Gamers League tersebut setidaknya ada tiga tujuan penting yang ingin dicapai. Pertama, komunitas tersebut sebagai platform halal bagi para pengguna game muslim. Kedua, membawa nilai-nilai keislaman ke dalam media streaming. Kemudian terakhir, menyiapkan dan membentuk gamers dan konten kreator muslim yang profesional untuk mencapai kasta tertinggi dunia e-sports.

Dunia gaming menjadi tantangan baru dalam mengembangkan dakwah Islam. Menyalurkan edukasi keislaman melalui game sama halnya berdakwah di mimbar-mimbar masjid. Jika nilai-nilai keislaman tidak ikut serta berkontribusi mewarnai dunia gaming, maka dapat terjadi banyak kesenjangan yang ditimbulkan, ingar bingar berserakan bahkan etika komunikasi tertinggalkan.

Game dengan Nuansa Islam

Meski dunia gaming didominasi game-game kompetitif dan peperangan yang banyak diminati, terdapat game lain yang dirancang memberi edukasi keislaman bagi penggunanya. Game dengan nuansa Islam memiliki karakteristik yang berhubungan dan mengangkat tema-tema keislaman atau yang berhubungan dengan sejarah Islam—yang menjadi bagian dalam fitur permainannya.

Beberapa game tersebut meliputi Quran Challenge, sebuah kuis yang menguji pengetahuan pemain dengan ayat-ayat Al-Quran dan kandungannya beserta ajaran Islam secara umum. Kedua, game Buraq: The Journey. Game ini mengangkat tema tentang kisah perjalanan isra’ mi’raj Nabi Muhammad dengan tampilan visual menarik, imajinatif dan interaktif.

Selain e-sports dan game yang secara eksplisit bertema Islam, terdapat juga yang secara tidak langsung menyajikan kebudayaan Islam melalui latar tempat dan karakternya. Misalnya, seperti game Assasin’s Creed sebuah game aksi-petualangan berlatar Timur Tengah dan menampilkan kota-kota seperti Damaskus, Kairo dan Baghdad. Secara tidak langsung game ini memberi gambaran sekilas tentang peradaban Islam masa lalu.

Menyampaikan edukasi Islam melalui game online bukanlah sesuatu yang mustahil. Arditya Prayogi (2021) menyebut beberapa langkah praksis dapat dijadikan acuan mencipta game bernuansa Islam, di antaranya orang muslim harus terlibat merancang game sehingga menformulasikan unsur-unsur Islam di dalamnya. Disamping itu, orang  muslim harus memiliki kecakapan IT sehingga dapat membuat tampilan game menarik diminati.

Secara konklutif, dunia gaming baik e-sports dan game menjadi tantangan baru dalam mengembangkan dakwah Islam. Menyalurkan edukasi keislaman melalui game sama halnya berdakwah di mimbar-mimbar masjid. Jika nilai-nilai keislaman tak ikut berkontribusi mewarnai dunia gaming, dapat diasumsikan terjadi banyak kesenjangan, ingar bingar berserakan bahkan etika komunikasi tertinggalkan.

Bagikan
Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here