
Pada 27 Mei 2023, Yusuf “Dalipin” Arifin meluncurkan buku garapannya, Cerita untuk Istri (Buku Mojok, 2023) ditemani A.S. Laksana sebagai editornya. Di sela pembahasan buku, ada topik menarik yang disinggung oleh keduanya. Topik tersebut berupa pertanyaan akan mungkinkah orang-orang masih mau membaca tulisan panjang dan utuh di tengah perkembangan dunia digital yang acap menuntut ringkas, cepat, dan tak bertele-tele. Dalam konteks kini, tentu hal itu diperkuat akan hasrat banyak orang dengan gawainya lebih memilih tayangan pendek di media sosial.
Muncul kritik menarik yang diungkap Dalipin, jurnalis yang pernah bekerja untuk British Broadcasting Corporation (BBC) di Inggris tersebut. Sebagai penulis ia mengisahkan, dalam kecepatan teknologi digital lazimnya kita menghadapi pengguna internet yang serba menuntut. Di situ menyiratkan bahwa memang masih ada pihak yang mau membaca, namun tuntutannya adalah serba gratis. Cara pandang itu tentu mengandaikan bahwa apa pun konten di internet diangankan serba gratis, tanpa sepeser pun biaya.
Para pembaca itu pun mudah marah saat menjumpai konten di situs kemudian muncul iklan bejibun. Mereka teguh dengan narasi tunggal: harus gratis! tanpa memedulikan bahwa penyedia maupun industri pemberitaan butuh uang pula untuk membayar penulis. Maka, yang kemudian ditakutkan adalah saat industri pemberitaan maupun konten yang menyaratkan biaya langganan secara berkala, berkemungkinan buruk tidak banyak atau bahkan tidak ada yang sudi melakukannya. Dilema itu naga-naganya kemudian berdampak pada keberadaan dan kehadiran para penulis.
Baca juga: Panggilan Buku dan Daya Magis Membaca
Di negara dengan ekosistem membaca dan menulis yang masih rendah, membuat profesi penulis makin suram dan tak memiliki jaminan khusus. Fakta itu tentu mengantitesis penjelasan astronom Amerika Serikat, Carl Sagan (1996), lewat karya yang pernah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Damaring Tyas Wulandari Palar, The Demond Haunted World: Sains Penerang Kegelapan (Kepustakaan Populer Gramedia, 2018). Pada sebuah bab, ia secara khusus membahas perihal buku, keaksaraan, dan ekonomi.
Bagi Sagan, kemampuan membaca merupakan syarat penting di dalam memperoleh pendapatan yang baik. Sagan memang tidak berbicara dalam konteks Indonesia, namun di Amerika Serikat. Pernyataan itu bahkan sublim dari pengalaman empiris dalam keluarganya. Karena membaca, nenek dari Sagan yang merupakan petani dapat memasarkan dan melakukan barter dalam jangkauan lebih luas. Sementara orangtuanya, sangat begitu memperhatikan kesehatan dan tumbuh kembang anaknya, dengan konsisten mendaras buku tentang kesehatan hingga gizi anak.
Ekosistem Pengetahuan
Pengetahuan terpatri dari benak tiap anggota keluarga. Mereka turut mendukung perkembangan ilmu yang terjadi di ruang pendidikan formal. Bacaan menggerakkan raga untuk mengerti gizi makan, pengasuhan anak, hingga cara menjaga kesehatan. Fakta tersebut penting untuk ditilik sebagai landasan mendasar untuk mengoreksi anggapan membaca acap disematkan tuduhan sebatas wacana dan berteori saja. Situasi tersebut memperkuat bahwa kemampuan membaca sangat erat dengan praktik dalam kebutuhan hidup sehari-hari.
Kisah itu tentu memafhumkan saat tradisi membaca dengan disertai kemauan membeli bacaan, atau dalam konteks digital berlangganan ke situs penyaji adalah peristiwa yang mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan para penulis. Walaupun begitu, pada sisi lain keberadaan penulis tetap menaruh profesionalisme dengan menyajikan tulisan yang rasional, ilmiah, dan objektif. Barangkali itu pula yang memberangkatkan saya menemui anggapan menjadi seorang penulis sekalipun ekosistem tradisi literasi di kalangan masyarakat sudah terbentuk, tidak bisa sembarangan.
Para pembaca itu pun mudah marah saat menjumpai konten di situs kemudian muncul iklan bejibun. Mereka teguh dengan narasi tunggal: harus gratis! tanpa memedulikan bahwa penyedia maupun industri pemberitaan butuh uang pula untuk membayar penulis
Kenyataan itu kiranya perlu kita jadikan untuk merefleksikan kondisi di Indonesia. Saat banyak orang berhasrat menjadi penulis, namun komunitas masyarakat dan bahkan regulasi pemerintah belum mendukung. Keresahaan atas situasi yang mengemuka, mafhum menjadikan penulis ternama Tere Liye menulis esai berjudul “Senja Kala Industri Buku?” (Harian Kompas, 23 April 2025). Tere Liye banyak menyinggung kebijakan pemerintah yang terkoneksi pada visi dan misi Prabowo-Gibran.
Salah satu hal yang ia sebut adalah persoalan pajak yang memberatkan dalam proses distribusi bacaan. Sejauh keberjalanan pemerintah hingga kini, ada yang absen atas janji yang disematkan dalam buku kampanye presiden dan wakil presiden terpilih. Keterangan itu sebagaimana diungkap Tere Liye berupa: “Memberikan insentif bagi industri buku dengan menghapus PPN untuk semua jenis buku dan menjadikan pajak royalti buku bersifat final.”
Masa Depan Penulis
Sebagai penulis lepas, saya beberapa kali hadir di forum mahasiswa untuk bercerita maupun berbagi teknik menulis kepada para peserta. Saya tidak mudah bahkan cenderung menghindari ungkapan klise, menjadi penulis adalah menjanjikan kesuksesan. Kepada para peserta saya, cenderung mengisahkan situasi mutakhir dengan alih-alih menguatkan bahwa setidak-tidaknya kemampuan membaca dan menulis sebagai tugas peradaban yang membangun kesadaran kita untuk setia terhadap ilmu dan pengetahuan dan pencarian kebenaran universal.
Neil Gaiman, pengarang fiksi dari Inggris pernah berpidato untuk acara Reading Agency di London pada 2013. Teks pidatonya diterjemahkan oleh Ageng Indra bersama dua esai lain garapan Julian Baggiani dan Maggie Gram. Judul tulisan Neil digunakan untuk judul buku berupa Kenapa Masa Depan Kita Bergantung pada Perpustakaan, Membaca dan Melamun?. Buku itu diterbitkan oleh penerbit Pocer pada 2022 lalu.
Dalam buku setebal enam puluh empat halaman tersebut, kita mendapat uraian Neil Gaiman akan keterhubungan membaca, keberadaan perpustakaan, hingga sesekali menghubungkan pada aspek politik. Ia menyebutkan: “Literasi menjadi lebih penting dari sebelumnya di dunia teks dan email ini, dunia informasi tertulis. Kita perlu membaca dan menulis, kita memerlukan warga dunia yang bisa membaca dengan nyaman, memahami apa yang mereka baca, memahami perbedaan kecil, dan membuat diri mereka dipahami.”
Baca juga: Kemudahan AI Berujung Hilangnya Nalar Kritis
Terlepas ia sudah menjadi penulis yang mapan di negaranya, sayang ia tak banyak mendefinisikan posisi penulis sebagai subjek dengan terkoneksi pada kebijakan. Mungkin saja karena ia tidak hidup di Indonesia. Dalam sejarah keintelektualan di Indonesia pun, karier penulis sarat kesengsaraan. Ada banyak kisah, seperti mereka para penulis yang akhirnya harus menjual buku-buku koleksi pribadinya hingga mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Di tengah gaduh dan latah perkembangan dunia digital, saya makin pesimis bahwa menjadi penulis perlu digelorakan sebagai karier. Apalagi hasrat memperoleh informasi makin dimanjakan dengan adaya kecerdasan buatan. Jika memang negara ini masih meletakkan literasi sebagai rancang bangun kewarganegaraan, maka advokasi terhadap penulis dan penyusunan kebijakan yang berpihak menjadi syarat yang mesti ditunaikan. Kalau tidak, agaknya masa depan bangsa ini mengemuka banyak masalah yang sedemikian kompleks.[]