Ilustrasi dari Kompas.id

Luka yang tak terlihat sering tersembunyi di balik tawa digital di media sosial yang penuh kebahagiaan. Di balik senyuman dan gambar tawa, tersimpan kesepian mendalam yang sulit diungkapkan.

Banyak anak muda, terutama Generasi Z, merasa perlu menampilkan kesan bahagia di dunia maya, meski dalam kenyataannya mereka sedang tidak baik-baik saja. Inilah realita tersembunyi yang kerap luput dari perhatian, tidak semua tawa yang dibagikan mencerminkan ketenangan hati.

Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak muda, khususnya Generasi Z. Platform seperti Instagram, TikTok, dan WhatsApp sering mendorong mereka untuk mengunggah momen terbaik—senyum lebar, liburan mewah, atau kebersamaan dengan teman-teman. Namun, pola ini menciptakan standar ‘hidup sempurna’ yang sulit dicapai: unggahan tanpa cela, feed tanpa kesedihan, dan story yang selalu dipenuhi gelak tawa.

Hasil Survei Kesehatan Jiwa Remaja 2023 di Indonesia mengungkapkan bahwa lebih dari 60% remaja dan dewasa muda merasa tidak cukup baik ketika membandingkan diri dengan teman sebaya di media sosial. Mereka menjadikan jumlah ‘like’ dan ‘follower’ sebagai tolok ukur kebahagiaan atau kesuksesan.

Baca juga: Facebook Pro dan Ekspresi Ibu Rumah Tangga

Ketika unggahan mereka tidak mendapat respons sesuai harapan, timbul perasaan kecewa, cemas, bahkan penurunan harga diri. Aspek lain yang kerap terabaikan adalah cara algoritma media sosial menampilkan konten seperti like, komentar, atau view.

Ketika seseorang melihat orang lain seolah-olah sedang bersenang-senang bepergian, berkumpul, atau menjalani hidup tanpa masalah, otak cenderung membandingkan, ‘Mengapa aku belum bisa seperti mereka? Apakah hidupku kurang berarti?’ Perbandingan semacam ini seringkali sulit dihindari karena unggahan terus-menerus menampilkan momen terbaik pencapaian orang lain. Itulah sebabnya, meski linimasa terlihat ramai, lubuk hati justru semakin merasa sepi.

Stigma budaya di Indonesia yang belum sepenuhnya terbuka terhadap isu kesehatan mental, ditambah kurangnya kesadaran diri, mendorong banyak Gen Z memilih diam. Mereka enggan mengakui perasaan stres, sedih, atau gelisah karena khawatir dianggap lemah atau ‘dramatis’. Akibatnya, kesepian berubah menjadi masalah pribadi yang tersembunyi di balik unggahan media sosial penuh emoji bahagia.

Padahal, beban emosional itu telah menumpuk sejak pagi, bahkan sebelum ponsel pertama kali dinyalakan. Inilah ironi di balik media sosial: di satu sisi, ia seolah menawarkan kebahagiaan instan, tetapi di sisi lain, justru berisiko memperdalam rasa kesepian yang menjadi-jadi. Kurangnya ruang aman untuk berbagi cerita, ditambah dengan arus perbandingan yang tiada henti, membuat anak zaman kini berjuang dalam senyap.

Baca juga: Media sosial dan Kesehatan Mental

Tawa digital yang mereka tampilkan di media sosial tidak selalu mencerminkan ketenangan hati. Dalam perspektif psikologi, masalah ini terkait dengan teori persona Carl G Jung. Persona adalah topeng sosial yang digunakan seseorang untuk berinteraksi dengan dunia luar, seringkali membuatnya menjauh dari jati diri sebenarnya.

Di media sosial, persona muncul melalui unggahan yang menampilkan kesempurnaan hidup, kebahagiaan, dan kesuksesan, padahal di balik layar, mereka mungkin sedang menghadapi kecemasan, kesepian, atau tekanan batin lainnya.

Pentingnya penerimaan diri, bahwa menerima diri bukan berarti menyerah atau berhenti berkembang, melainkan menyadari bahwa diri sendiri, dengan segala kekurangan dan luka, tetap layak dicintai dan dihargai. Penerimaan diri adalah fondasi utama agar seseorang tidak terus-menerus terjebak dalam perbandingan sosial dan ilusi kesempurnaan.

Dengan menerima diri secara utuh, baik sisi terang maupun gelapnya, seseorang dapat mulai membangun kedamaian dari dalam.Tidak semua hal perlu diunggah di media sosial. Kebahagiaan sejati tidak selalu membutuhkan validasi berupa “like”.

Pada akhirnya, tulusnya tawa lebih berharga daripada tawa digital yang dipaksakan demi konten. Belajar jujur pada diri sendiri, menerima kekurangan, dan menyadari bahwa kesepian adalah bagian alami dari kehidupan manusia.Penerimaan diri mengajarkan untuk tidak sekedar terlihat bahagia, tetapi benar-benar merasakannya. Karena ketenangan hati tidak datang dari story yang ramai, tapi dari pelukan lembut pada diri sendiri.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here