Ilustrasi dari Kompas.id

Islam bukan agama langit, bukan pula agama bumi. Sebaliknya, Islam adalah agama langit yang membumi sekaligus agama bumi yang melangit.

Islam transnasional adalah aliran yang berpusat di Timur Tengah dan bercita-cita menjadikan Islam sebagai hukum formal, minimal di suatu negara dan maksimal berskala dunia. Aliran tersebut sudah cukup lama merasuk ke negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim, tidak terkecuali Indonesia tentunya.

Untuk konteks Indonesia, ada tiga jejaring Islam transnasional yang dominan memegang kendali berdasar data dalam Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Ketiganya itu antara lain Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir (di Indonesia menjadi Hizbut Tahrir Indonesia atau biasa disingkat HTI) dan Wahabi. Ketiga-tiganya, sekalipun merupakan organisasi yang berbeda, namun memiliki orientasi yang sama. Paling tidak kesamaan orientasi itu adalah sama-sama memandang diskriminatif kelompok yang-liyan dan sama-sama hendak menjadikan Islam sebagai pengganti hukum positif di seluruh dunia, minimal sesuai konteks sekarang, di Indonesia.

Orientasi demikian jelas berbahaya bagi Bhineka Tunggal Ika, selaku denyut nadi kehidupan bangsa Nusantara. Untuk itu, diperlukan tameng yang kukuh dalam membendung arus Islam transnasional. Tulisan ini akan menawarkan beberapa tips teoretis guna melenturkan dan melunakkan ke-kaku-an Islam yang dibawa oleh ketiganya.

Larangan Ifrath dan Tafrith

Secara idealis, muslim memang harus menerapkan Islam secara total atau kaffah. Akan tetapi, bagaimana jika totalitas penerapan Islam ini justru bertabrakan dengan realita? Misalkan saja, apakah Indonesia memang benar-benar negara thaghut sebagaimana tuduhan mereka, lantaran tak menjadikan syariah sebagai asas bernegara dan berbangsa?

Syekh Hudlori Bik dalam Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, mewartakan di antara karakter Islam ialah ‘adam al-haraj (tidak memberatkan). Term haraj jika mengacu pada al-Furuq al-Lughawiyyah karya Abu Hilal al-‘Askari ialah keberatan yang tidak menyediakan solusi. Dalam hubungannya dengan Nusantara, terdapat begitu banyak adat, tradisi, nilai, agama, keyakinan yang jauh sebelum kedatangan Islam, sudah mendarah-daging menjadi way of life masyarakat. Realita ini demikian jelas sangat memberatkan, bilamana atas nama Islam, semuanya harus dibumi-hanguskan.

Dalam terminologi fikih, praktik yang memberatkan itu bertitel ifrath yaitu berlebihan dalam memahami dan menerapkan Islam. Penulis menyebutnya dramatisasi, yakni berat sebelah pada satu sisi sampai lupa akan sisi lainnya. Islam transnasional berat sebelah dalam memandang ke-kaffah-an Islam sampai lupa bahwa di antara doktrin Islam juga ialah ‘adam al-haraj.

Baca juga: Dakwah Islam yang Ramah

Karakter berikutnya dari Islam ialah al-tadarruj (kebertahapan). Islam bukan agama langit, bukan pula agama bumi. Sebaliknya, Islam adalah agama langit yang membumi sekaligus agama bumi yang melangit. Contoh fenomenal tentang kebertahapan Islam ialah larangan konsumsi khamr. Larangan khamr bermula dari apresiasi akan manfaatnya, berlanjut dengan mengkritisi betapa sisi bahayanya melebihi sisi gunanya lantas berujung pada larangan mutlak untuk mengonsumsinya. 

Contoh lainnya ialah ayat perang. Tatkala bermukim di Mekkah, Allah Swt hanya memerintah Nabi Saw dan sahabat untuk bersabar dan memaafkan kelaliman kaum kafir Quraisy. Itu lantaran kuantitas muslim belum memungkinkan untuk melawan. Sebaliknya, setelah hijrah ke Madinah, turun ayat tentang legalitas perang, mengingat muslim sudah mencapai kekuatan yang setidak-tidaknya memungkinkan untuk perang. Itu pun izin perang hanya berlaku demi defensi (bertahan diri), bukan invasi (menyerang duluan).

Islam bukan agama langit, bukan pula agama bumi. Sebaliknya, Islam adalah agama langit yang membumi sekaligus agama bumi yang melangit

Pada dua contoh di atas, tampak bahwa Islam tidak sekali hantam atas suatu persoalan, pun tidak asal membiarkan. Pasalnya, asal membiarkan termasuk sesuatu yang dilarang oleh agama. Fikih menyebutnya tafrith. Tradisi mabuk-mabukan tidak dibiarkan percuma, pun juga muslim tidak seterusnya diperintah untuk bersabar dan memaafkan atas kelaliman yang mereka terima.

Islam transnasional tidak memandang secara jeli bagaimana realita saat sekarang, sehingga mudah memaksakan Islam kepada siapa saja, itu pun Islam versi pemahaman mereka. Dengan sendirinya, mereka sudah berbuat ifrath. Kendati demikian, ada satu kekhawatiran yang mengendap dalam paradigma Islam transnasional yang tidak bisa disepelekan; jika muslim harus terus bersikap perlahan-lahan, tidakkah itu akan memperlama, bahkan memustahilkan penerapan Islam secara total? Tidakkah yang demikian artinya membiarkan sistem non-Islam memperlama kekuasaan, bahkan memberangus Islam itu sendiri? Poin berikut akan menjawabnya.

Dialektika Hukum ‘Azimah dan Rukhshah

Ushul Fiqih mengajukan dua tipe hukum Islam, yaitu ‘azimah dan rukhshah. ‘Azimah berarti hukum asli, sedangkan rukhshah berarti hukum dispensasi. Hukum asli makan babi adalah haram, namun berhak menuai dispensasi, jika seseorang berada dalam situasi kelaparan, sementara satu pun pangan halal tidak tersedia kecuali pangan haram, misal babi. Di situ, memakan babi menjadi halal, dengan catatan hanya cukup untuk mengganjal lapar.

Hukum ‘azimah menerapkan Islam secara total adalah wajib, akan tetapi menjadi rukhshah, jika keadaan tak memungkinkan. Dalam keadaan rukhshah, minimal standar keislaman seseorang ialah syahadat sebagaimana paparan al-Ghazali dalam Fayshal al-Tafriqah Bayn al-Islam wa al-Zandaqah. Selama dia masih memenuhi kriteria ini, selama itu pula ia muslim. Konsekuensinya, ia sama sekali tidak boleh dikafirkan, dinistakan, apalagi dikorbankan.

Berkenaan dengan formalisasi Islam, tantangan terbesar era sekarang ialah penguasa negara-negara dunia ialah mereka yang tidak berkiblat pada Islam, bahkan tidak berpilar pada agama. Dalam keadaan di mana penguasa dunia bukan lagi agama alias sekuler, hukum yang paling memungkinkan untuk diterapkan ialah hukum rukhshah, yakni hukum dispensasi.

Baca juga: Generasi Muda Muslim dan Tantangan Modernitas 

Tak ayal, taruhlah misal Yusuf Qardhawi menghalalkan bunga bank. Ia membagi bunga kepada dua, yaitu produktif dan non-produktif. Bunga bank tidak bertujuan memperkaya pemilik bank, melainkan untuk mempertahankan dan mengembangkan kualitas bank dalam melayani nasabah ke depan. Beda halnya dengan bunga perseorangan. Jika si B menetapkan bunga sekian kepada si A atas hutangnya, maka yang demikian sudah non-produktif, sehingga dengan sendirinya termasuk riba.

Persoalannya lagi, jika sekiranya harus terus berpatokan pada hukum rukhshah, bukankah kekhawatiran Islam transnasional di atas belum terjawab? Bagaimana menjawabnya dalam konteks Indonesia? Lebih tegasnya, jika Indonesia belum menobatkan Islam sebagai pengganti Pancasila seperti harapan HTI atau belum menerapkan Pancasila secara syariah seperti harapan FPI yang satu orientasi dengan Islam transnasioanl, bukankah hal itu akan mengurangi pamor Islam untuk selanjutnya menghapus Islam secara perlahan? Poin terakhir akan menjawabnya.

Restorasi Piagam Madinah

Piagam Madinah (Mitsaq Madinah) selaku Pancasilanya “negara” Madinah yang Nabi Saw dirikan – terlepas dari pro-kontra tentang statusnya sebagai negara atau bukan – sama sekali tidak mencantumkan term Islam, minimal Islam sebagai dasar berkehidupan di Madinah. Sebaliknya, Piagam Madinah malah berisi nilai-nilai yang bahkan senafas dengan nilai-nilai sekuler: kesetaraan, kebebasan dan persaudaraan.

Kesetaraan dan persaudaraan tercermin dari pasal piagam Madinah yang mengharuskan setiap individu di Madinah, baik muslim maupun non-muslim, misal Yahudi untuk bahu-membahu menjaga keamanan dan ketertiban Madinah. Bahkan, Dr. Muqtader Khan mewartakan hadits bahwa suatu ketika Kristen Najran meminta perlindungan kepada Nabi Saw. Beliau membalasnya dengan menyuruh muslim melindungi mereka, bahkan kalau perlu, dengan mengorbankan nyawa.

Lebih ekstrem lagi, pada perjanjian Hudaibiyah (Shulh al-Hudaybiyah), Nabi Saw menyetujui keputusan untuk membiarkan muslim murtad dari Islam untuk kemudian bergabung dengan kafir Quraisy. Sebaliknya, Nabi Saw menolak kedatangan muslim baru dari Mekkah. Terlepas dari berbagai motif di balik keputusan kontroversial ini, yang pasti, fenomena demikian menampilkan betapa Islam tidak boleh dipaksakan.

Mengacu pada uraian tadi, ayat udkhulu fi al-silm kaffah, selaku jargon utama Islam transnasional, malah lebih dekat pada tafsirnya Gus Dur dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jika Islam transnasional menafsirkannya sebagai berislam secara total, maka Gus Dur menafsirkannya sebagai perdamaian (silm) secara total.

Dan syarat utama dalam menciptakan perdamaian total di Indonesia ialah berpijak pada asas yang bisa merangkul semua. Itulah Pancasila. Itulah UUD 1945. Itulah Bhineka Tunggal Ika. Itulah pentingnya mengimbangi dalil dengan nalar supaya Islam tidak kaku dan kikuk dalam menghadapi kenyataan. Sekian.

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here