Nasihat di Balik Kaligrafi

Orang Islam-Jawa mempunyai kedalaman nilai filsafat hidup yang sarat makna. Gagasan, pesan, serta nasihat disampaikan dengan indah dalam bentuk lisan (oral) maupun tulisan (teks). Salah satunya adalah nasihat yang tertuang di balik kaligrafi Al-Qur’an di Masjid Agung Surakarta.

Tujuan nasihat sejatinya sebagai pengeling-eling dan pengejawantahan lelaku untuk menggapai kesempurnaan hidup yang diwariskan kepada generasi setelahnya. Namun, masyarakat modern kini justru banyak yang tak menyadarinya, tak terkecuali nasihat di balik kaligrafi.

Sejarah kaligrafi Al-Qur’an dapat kita lihat dari sengkalan yang terpampang di beberapa bagian pintu masuk ruang utama yang bertuliskan ”izzu man qana’a, zullu man tama’a” artinya ‘beruntung bagi yang merasa puas, hina bagi yang tamak.’ Tulisan tersebut dibingkai dengan lafal “la ilaha illallah Muhammad Rasulullah, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali” dan tertera tahun 1313 H.

Tahun 1313 H menunjukkan masa kepemimpinan Pakubuwana X yang didampingi oleh penghulu tafsir Anom V. Sebagaimana seorang Raja yang memutuskan segala sesuatunya, selalu meminta pertimbangan kepada penasehatnya.

Seturut penjelasan KH Muhtaram (Ketua Ta’mir Masjid Agung Surakarta) bahwa dalam merepresentasikan nilai Islam-Jawa, seorang Raja toleh kanan kepada penghulu dan toleh kiri kepada pujangga.

Siti Fathonah dalam buku Melacak Akar Akulturasi  Islam dan Budaya Jawa[1] menyebut bahwa suatu simbol memiliki keselarasan antarsatu bagian dengan lainnya untuk menunjukkan kesempurnaan. Untuk itu, kita dapat membaca pesan dan nasihat, salah satunya adalah nasihat di balik kaligrafi, yang disuguhkan dalam tulisan tersebut berdasar tata letaknya.

Pertama, menghadirkan Allah Swt dalam kondisi apa pun. Pada bagian gapura utama, terpampang tulisan rabbi adkhilni mudkhala sidqin wa akhrijni mukhraja sidqin waj ‘alni min ladunka sultanan nasira (Q.S. al-Isra’ ayat 80).

Ayat ini berpesan pentingnya memanjatkan doa dalam setiap lelaku yang bertujuan meminta keselamatan kepada Allah.

Nasihat di Balik Kaligrafi
Gapura Sebelah Kiri: Q.S. al-Isra’: 80

Sebutan gapura diambil dari bahasa Arab yang berarti ‘ampunan’. Seseorang yang melewati gapura diharapkan selamat dalam menjalankan aktivitas. KH Muhtaram menjelaskan bahwa dulu, di gapura selalu dijaga oleh penjaga.

Sebelum orang memasukinya untuk salat maupun istirahat, diharuskan membaca 2 kalimat syahadat dan berdoa kepada Allah. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk uluk salam atau kula nuwun kepada Allah dan alam sekitar.

Orang Islam-Jawa menekankan pentingnya tata uri, tata krama, dan tata laku untuk terhindar dari hal-hal negatif. Seperti juga diamini oleh seorang dalang. Dikisahkan dalam buku Ungkapan Tradisional Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Jawa Tengah (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), ketika seorang Ki Dalang menggelar suatu pertunjukan wayang kulit yang diadakan di daerah lain. Ia mengawalinya dengan berdoa kepada Allah Swt yakni:

Sun nyebut asmaning Pangeran Kang Maha Murah lan Maha Asih. Duh Pangeran, nyuwun sih piwelas paduka, kaparingana tulus rahayu anggen kula pangkat andalang, saking dunung kula ing kampung…. (dusuning Ki Dalang), dumugi panggenan kula andalang ing kampung …. (dusuningpun ingkang kagungan kersa), kalisa ing sambekala, cinepakno ing basuki raharja. Amin, amin, amin!”

Hal ini selaras dengan ajaran dari Penghulu Tafsir Anom V dalam menafsirkan ayat tersebut,  “Duh Allah Pangeran kawulo, Tuan mugi nglebetne kawulo (datheng Negri Madinah) kelawan saha punapa dene mugi ngawedalna kawulo (saking Negri Makkah) tanpa mandhek tumalih, mekthen ugi kawulo, mugi tuwan paringi kakiyatan utawi wada meling mbantah engkang mitulungi datheng tiyang ingkang yulayani dateng kawulo”[2]

Pesan yang dapat kita ambil adalah sejatinya manusia  harus senantiasa menghadirkan Allah Swt di setiap ayunan langkah. Kita tidak akan berdaya tanpa kekuatan dari-Nya. Kesadaran seutuhnya bahwa aktivitas kita tidak lain untuk mencari ridha dan restu-Nya.

Manusia hanya bisa berharap kepada-Nya dengan senantiasa berdoa untuk ditunjukkan jalan yang terbaik. Sebab apa yang ada di bumi, adalah milik Allah dan kita ciptaan yang diamanati untuk merumatnya.

Kedua, bersikap adil dan beradab. Tertulis Q.S. al-‘Araf ayat 29 dan 31 pada bagian pintu timur ruang utama. Ruang utama, menurut keyakinan orang Jawa adalah ruang sakral yang digunakan sebagai peribadatan dan panyuwunan. Posisinya mempunyai pancaran energi posisitif yang mengandung nilai agung dan suci.

Baca juga: Jalan Menuju Slamet Dawah Wingking

Memasuki ruang utama butuh tata krama, dari cara berpakaian maupun tingkah laku. Kesakralan ini terbentuk dari keheningan dan ketentraman yang terpancar dari hubungan hamba dan penciptanya.

Nasihat di Balik Kaligrafi
Pintu timur urutan keempat dari utara. QS al-A’raf: 29


 Ayat 29 berbicara tentang perintah bersikap adil, berbunyi: qul amara rabbi bil qisti, wa aqimu wujuhakum inda kulli masjid (Katakanlah, “Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) pada setiap salat). Sebagai manusia, diciptakan oleh Allah untuk menjaga keseimbangan di muka bumi.

Sikap adil diibaratkan suatu timbangan yang tidak berat sebelah antara urusan dunia dan akhirat. Apabila kita telisik lebih dalam pada kata “Hadapkanlah wajahmu pada setiap salat”, menjadi pondasi bahwa keadilan harus ditegakkan atas dasar keikhlasan dan ridha Allah Swt.

Filsafat Jawa menandaskan bahwa ketika terjadi suatu konflik, mereka tidak berorientasi pada “benere piye(benernya bagaimana?), melainkan bersikap kepiye becike (bagaimana sebaiknya?).

Hal ini dilakukan untuk menyelesaikan masalah dengan lapang dada, ikhlas tanpa pamrih atau kecewa. Inilah salah satu cerminan spirit menciptakan harmoni dalam menyelesaikan segala problematika.

Orang Jawa juga memiliki aturan atau disebut angger-angger dan wewaler yang harus dijunjung tinggi untuk menjaga keharmonisan. Aturan dan larangan dalam masyarakat Jawa terdiri dari 3 nilai utama yang jadi landasan hidup, di antaranya 1) kebersamaan, 2) Kebatinan atau spiritualitas, dan 3) kemanusiaan.[3]

Orang Jawa juga memiliki aturan atau disebut angger-angger dan wewaler yang harus dijunjung tinggi untuk menjaga keharmonisan.

Nasihat di Balik Kaligrafi
Pintu timur urutan kedua dari utara. QS al-A’raf: 31

Kemudian ayat 31 berbuyi: ya bani adama huzu zinatakum ‘inda kulli masjidin (Wahai anak cucu Adam, kenakanlah pakaian yang terbaik, ketika memasuki masjid). Penggalan ayat tersebut menunjukkan perintah untuk mengenakan pakaian terbaik saat memasuki masjid, yang secara sempit adalah tempat ibadah, maupun hamparan bumi dan langit ciptaan Allah secara luas.

Ayat di atas mengingatkan kita atas ungkapan Jawa “ajining rogo ono ing busono” artinya ‘harga diri seseorang berasal dari pakaiannya.’[4] Pentingnya busana adalah bagaimana kita dapat menghargai diri kita dan orang lain.

Ketiga, menguatkan hubungan dengan Allah dan hubungan antar sesama manusia. Pada bagian mihrab sebelah kanan bertulis penggalan QS al-Maidah ayat 2 artinya (Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan serta takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa maupun permusuhan).

Sebelah kiri bertuliskan penggalan QS as-Saf ayat 13 artinya (pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya), dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman).

Kedua ayat di atas diyakini sebagai ayat pelindung atau proteksi. Secara bentuk, mihrab menyerupai sebuah goa yang biasa digunakan untuk berlindung. Hal ini mencandrakan bahwa hubungan baik dengan pencipta dan sesama manusia merupakan kunci mencapai keselamatan dan kemenangan.

Nasihat di Balik Kaligrafi
Mihrab sebelah kanan. QS. Al-Maidah: 2
Nasihat di Balik Kaligrafi
Mihrab sebelah kiri QS. as-Saf: 13

Hubungan antar sesama manusia tercermin dalam bentuk gotong royong. Dalam istilah Jawa disebut “sungkul sinungkul ing samubarang gawe hanjalari gampang tumindak” yang berarti tolong menolong dalam kebaikan menjadikan pekerjaan lebih mudah dilaksanakan.

sungkul sinungkul ing samubarang gawe hanjalari gampang tumindak”

Tujuan dari gotong royong adalah untuk mewujudkan kerukunan. Prinsip ini menjadi landasan orang Jawa untuk membangun keseimbangan hidup dalam rangka menuju keselamatan secara bersama-sama.

Kegiatan gotong royong memuat tiga nilai dasar, yakni kesadaran bahwa manusia adalah makhluk sosial yang  harus menjalin kerja sama yang baik, kesediaan untuk membantu dalam kebaikan, serta menjaga keseimbangan sosial dalam tatanan komunitas masyarakat. Dengan begitu, wujud kepedulian yang nyata dan rasa empati antar sesama akan meningkatkan kualitas sosial-masyarakat.

Prinsip ini tidak untuk diaplikasikan dalam rangka ekses yang negatif. Sebab, dari memelihara suatu keburukan, seberapapun besarnya, tak pelak akan melahirkan kerugian yang berimbas pada orang lain.

Dalam etika Jawa kita mengenal “cecengilan iku ngedohne rejeki atau mereka yang berselisih, maka rejekinya akan menjauh. Hal tersebut, tentunya menyalahi aturan rukun agawe sentosa yang bermakna sebuah kerukunan atau persatuan akan membuat diri kita menjadi kuat.

Faktor penting untuk meraih kerukunan ketika kita mengesampingkan urusan pribadi dan mendahulukan kepentingan umum. Hal tersebut, berlaku bagi siapa pun agar kesatuan dan persatuan tetap terjaga. Dengan adanya gotong royong, solidaritas dan kebersamaan akan memperat citra kerukunan di masyarkat.

Hubungan horizontal tidak akan sempurna tanpa adanya hubungan vertikal, begitu pun sebaliknya.

Tulisan di Mihrab sebelah kiri menyebutkan bahwa kemenangan itu datangnya dari Allah dan hal ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Pangeran Kuwasa, Manungsa Bisa merupakan ungkapan masyarakat Jawa yang berarti Allah Swt adalah Maha Kuasa, sedang manusia hanya bisa berbuat atas kekuasaan Allah Swt.

Sejatinya, lelaku pada nasihat-nasihat sebelumnya merupakan proses untuk kita mencapai kemenangan. Artinya, keyakinan merupakan sumber utama, bahwa Allah Swt yang mengatur segala hal bagi hamba-Nya.

Sebagaimana keyakinan orang Jawa bahwa dalam menjalani kehidupan ini, mereka percaya bahwa Tuhan itu Maha Esa atau disebut “Yang Tunggal”. Untuk itu, manusia wajib berserah diri, bertawakkal, dan senantiasa berdoa kepada Allahatas apa yang ia usahakan.

Baca juga: Meninjau Perempuan Islam-Jawa dari Sisi Historis

Berserah diri ataupun tawakkal, bagi orang Jawa bukanlah tidak mau bekerja atau pun berusaha, melainkan setiap langkah ditujukan untuk mengabdikan diri kepada Allah. Dalam keadaan bahagia maupun sulit, seseorang hendaknya tidak melupakan bahwa Allah Swt Maha Kuasa, dan atas kekuasaan itulah akan memberikan pertolongan kepada hamba-Nya.

Pada dasarnya, hakikat hidup bagi orang Jawa adalah Kuasa dari Allah Swt yakni nrimo ing pandhum, menerima apa adanya’.

Ungkapan tersebut bagi orang Jawa merupakan kunci dalam merespons setiap ikhtiar dalam garis kehidupan, yakni bersikap tabah dan pasrah atas apa yang diberikan Allah Swt.

Nasihat-nasihat di balik kaligrafi al-Qur’an di Masjid Agung Surakarta, yang dititipkan oleh para leluhur, harus kita ikuti dengan baik dan khidmat. Hari ini, semakin terasa bahwa kita menjauh dari apa yang telah mereka ajarkan. Sebagai ahli warisnya, kita harus memegang kuat prinsip-prinsip tersebut dan menjalankannya dalam kehidupan, supaya wong Jawa iku ora ilang Jawane.


[1] Siti Fathonah, “Melacak Akar Akulturasi Islam dan Jawa”, (Surakarta: FUD Press, 2020), 140.

[2] Penghulu Tafsir Anom V, “al-Juz ar-Rabi’min Tafsir Qur’an al-‘adhim”, (Maktabah al-Mubhaniyyah), 31.

[3] Imam Budi Santosa, “Spiritualisme Jawa : Sejarah, Laku, Dan Inti Ajaran”, (Yogyakarta: Diva Press, 2012) 21.

[4] Alip Sugianto, “Kajian Etnolinguistik Terhadap Pakaian Adat Warok Ponorogo,” Jurnal Aristo 3, no. 1 (2015): 19–27

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here