
Kertomulyo merupakan salah satu desa yang masih merawat nilai akulturasi Islam-Jawa melalui sedekah bumi, kesenian, kirab budaya. Desa ini terletak di kecamatan Trangkil Kabupaten Pati. Desa tersebut menjadi wilayah pesisir yang berbatasan langsung dengan pantai utara Pati. Kondisi tersebut menjadikan daerah ini memiliki area pertambakan yang luas dan persawahan pada umumnya. Berdekatan dengan bibir pantai, menyebabkan kondisi tanah Kertomulyo berlumpur sehingga cocok ditanami tumbuhan mangrove.
Kusumasmanto (2006), mengungkapkan bahwa wilayah pesisir memiliki empat potensi yaitu sumber daya perikanan, energi dan mineral, perhubungan laut dan wilayah bahari sebagai wisata. Senada dengan pernyataan tersebut, fakta di lapangan membuktikan bahwa Kertomulyo memiliki kekayaan alam berupa ikan bandeng, garam, konservasi hutan mangrove pantai Kertomulyo, dan lain sebagainya.
Secara administratif, desa Kertomulyo berbatasan dengan desa Tlutup (Barat), desa Guyangan (Timur), Laut Jawa (Utara) dan desa Rejoagung (Selatan). Sedangkan dari kacamata sejarah, Kertomulyo yang akrab disapa Nggeneng Sendang atau Nggeneng Ndudak ini memiliki dua versi. Versi pertama ialah kehadiran Sunan Bonang di kediaman Mbah Sumilah untuk melepas dahaga, akan tetapi Mbah Sumilah hanya memiliki air yang sedikit.
Baca juga: Kiai Sholeh Darat: Ulama Intelektual Penyebar Islam di Jawa
Sebagai sosok wali, Sunan Bonang tidak tega jika harus meminum air tersebut untuk menghilangkan dahaganya. Melihat kejadian tersebut, suami Mbah Sumilah cemburu dan murka hingga memukul Sunan Bonang. Akan tetapi, Sunan Bonang mampu menangkisnya dengan tongkat yang dimiliki. Tongkat tersebut jatuh dan nancep ke tanah sehingga keluarlah air yang kini dikenal dengan “Sendang”, sumber mata air masyarakat desa Kertomulyo dan sekitarnya.
Versi cerita lain menyebutkan bahwa ketika Sunan Bonang mampir ke salah satu rumah warga Kertomulyo untuk melepaskan dahaganya, pada wanita tersebut bukan memberikan air melainkan penawaran berupa ciuman. Sontak membuat Sunan Bonang terkejut, karena sikap tersebut tidak layak untuk diimplementasikan. Seketika itu, Kertomulyo dijuluki “Nggeneng Ndudak” yang berarti tidak sopan karena ada sebagian warga yang bersikap “seenaknya” ketika ada yang menginginkan bantuan.
Versi kedua ialah ketika Sunan Bonang napak tilas di Kertomulyo. Saat itu, kondisi masyarakat Kertomulyo mengalami kekeringan dan masih memeluk agama Hindu-Budha. Dalam rangka syiar Islam, Mbah Sunan Bonang mengambil kesempatan tersebut sembari ngendikan : “Aku meminta kepada Allah SWT. Jika tongkat ini ku tancapkan di tanah keluar air. Maka kalian harus masuk Islam dengan ikhlas”. Qadarullah, keluarlah air yang dikenal dengan “Sendang”.
Seketika itu, masyarakat Kertomulyo mulai memeluk agama Islam, dan Islam pun menyelimuti tanah Kertomulyo. Agar eksistensi Islam tetap melekat tanpa melunturkan kebudayaan Jawa, akhirnya Sunan Bonang mengutus Sunan Kalijaga untuk menuntun masyarakat Kertomulyo. Ditempuhlah akulturasi Jawa-Islam melalui media wayang dan muncul nama “Tambak Dalang”.
Kebudayaan berjalan bersamaan dengan keagamaan. Kebudayaan diartikan sebagai hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dan tradisi kebudayaan yang masih dilestarikan adalah sedekah bumi. Sedekah bumi merupakan istilah yang digunakan masyarakat Kertomulyo sebagai bentuk syukur atas nikmat Tuhan dengan menjalankan ritual wajib berupa sesajen dan wayang kulit.
Kebudayaan berjalan bersamaan dengan keagamaan. Kebudayaan diartikan sebagai hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Menggunakan pendekatan islamisasi kultur Jawa, tradisi sesajen merupakan wujud akulturasi budaya Islam-Hindu-Budha yang di dalamnya dilantunkan do’a–do’a bernafaskan islami seperti tahlil dan manaqiban. Momen sedekah bumi dimanfaatkan oleh pemuda Kertomulyo untuk melakukan pengenalan dan pelestarian seni dan budaya melalui festival di era kontemporer, yaitu Kertomulyo Culture Festival.
Kertomulyo Culture Festival (KCF) dilaksanakan bebarengan dengan sedekah bumi yakni pasca kemerdakaan Republik Indonesia tepatnya akhir Agustus. “Bangsa yang besar ialah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan”, demikian tutur Soekarno. Oleh karena itu, pelaksanaan sedekah bumi dibarengkan dengan kemerdekaan Indonesia sebagai wujud cinta tanah air.
Pada kondisi ini, KCF berperan sebagai opening yang di dalamnya terdapat serangkaian kegiatan pengenalan seni, kebudayaan, agama, dan kekayaan alam. Pertama, Kesenian Baruno. Sekilas hampir sama dengan Barongan, akan tetapi istilah Baruno ini bukan makhluk hidup pada umumnya, melainkan lele berculo yang hidup di area Sendang dan keberadaannya diakui oleh masyarakat desa Kertomulyo sebagai pembawa aura positif. Kesenian ini mengaitkan unsur tarian dan doa yang diawali dengan ritual ukurambe sebagai simbol dimulainya kesenian tersebut.
Kedua, kesenian rebana klasik. Rebana berasal dari bahasa Arab “rabbana” yang berarti Ya Tuhan. Kertomulyo memiliki kesenian rebana dengan nama grup La Tansaa dan Al-Izzah. Dapat dikatakan bahwa rebana merupakan suatu karya seni dengan nilai tinggi, berlandaskan ajaran Islam, dan media pembangkit syiar Islam.
Ketiga, Kesenian Tongtek Tambak Dalang. Kesenian ini memiliki keunikan yaitu hadirnya Punakawan yang diiringi oleh musik dan tabuhan dari bambu, dan lain sebagainya. Keempat, Pasar Sendangan. Diberi nama tersebut karena terletak di area sendang balai desa Kertomulyo.
Pasar Sendangan merupakan upaya pemulihan ekonomi warga pasca pandemi yang diinisiasi oleh Karang Taruna Satria Mulya. Produk yang dijual saat pasar Sendangan ialah produk lokal Kertomulyo yang diiringi oleh akuistik musik untuk mempercantik suasana.
Baca juga: Perdebatan Akademik Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd
Kelima, Kirab Budaya. Kegiatan ini dikemas dalam konsep menarik, bersifat perlombaan, dan diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat dari jenjang PAUD hingga MA, jajaran pemerintah maupun organisasi, dan masing-masing RT yang mengitari jalan desa Kertomulyo.
Keenam, Festival Ambengan Bandeng. Ambengan merupakan tempat berisikan nasi, ikan bandeng, lalapan, sambal dan kendi air sendang. Festival tersebut merupakan sebuah penghormatan kepada alam semesta berkat hasil bumi dan laut kepada masyarakat Kertomulyo.
Keunikan dari ambengan Bandeng ialah dipimpin oleh seorang penari, penabur bunga, dan Baruno. Festival ini diyakini sebagai simbol kehidupan masyarakat yang berawal dari Sendang Geneng atau sumber air tawar menuju pantai Kertomulyo atau laut lepas.
Setelah serangkaian acara Kertomulyo Culture Festival, puncaknya ialah sedekah bumi. Ritual ini diawali dari proses peletakkan sesajen yang berisi bunga tujuh rupa, aneka jajan pasar, ayam, telur, nasi, pisang, air kendi, dan lain sebagainya di bawah pohon beringin oleh kepala desa Kertomulyo atau kasi kesra desa Kertomulyo.
Kemudian para perangkat desa melakukan pembacaan manaqib dan tahlil yang dipimpin oleh kasi kesra (Mbah Mudin) desa Kertomulyo. Berbarengan dengan kondangan yang dihadiri oleh seluruh masyarakat desa Kertomulyo.
Setelah upacara sesajen selesai, berkat dan sesajen dimakan bersama dengan beralaskan godong gedhang atau godhong jati. Di hari berikutnya, terdapat pagelaran wayang kulit sebagai syarat di sore hari. Dilanjutkan pementasan Ketoprak di malam hari.






